Ilmu Hadits

Mengenal Sejarah Kritik Hadits dari Masa ke Masa

Rab, 11 Oktober 2023 | 09:00 WIB

Mengenal Sejarah Kritik Hadits dari Masa ke Masa

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Sejak awal sejarah Islam, para ulama telah menyadari pentingnya memastikan keandalan atau keshahihan hadits. Pasalnya hadits adalah salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an. Berikut penulis paparkan masa-masa kritik hadits sebagai upaya menggali kebenarannya sejak Nabi Muhammad hingga masa kodifikasi hadits.


Kritik hadits di masa Nabi

Ketika Nabi saw. berada di tengah-tengah umatnya, setiap ucapan, perkataan, perbuatan dan pernyataan beliau menjadi aturan dan otoritas bagi para sahabat dalam kehidupan. Pada masa itu, kritik hadits sudah muncul, hanya saja dalam wujud penjelasan-penjelasan ajaran Islam yang ditanyakan para sahabat. 


Kritik hadits pada masa itu dapat disimpulkan hanya berupa pertanyaan dari para sahabat kepada Rasulullah saw. kemudian beliau menjawabnya. Misalnya adalah pertanyaan sahabat Nabi saw. soal amalan apa yang paling utama yang ditanyakan ‘Abdullah bin Mas’ud kepada Nabi saw.:


سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ: “الصَّلاَةُ عَلىَ وَقْتِهَا “. قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: ثُمَّ “بِرُّ الْوَالِدَيْنِ ” قُلْتُ ثُمَّ أَىُّ ؟ قَالَ: ((ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ)) قَالَ: حَدَّثَنِيْ بِهِنَّ وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِى


Artinya, “’Aku bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai amalan yang paling dicintai Allah?’ Maka beliau menjawab, ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya  lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau berkata, ‘Berjihad di jalan Allah.’ Ibnu Mas’ud berkomentar, ‘Beliau (hanya) menyebutkan perkara tersebut, jika sekiranya aku bertanya lebih banyak, maka tentu beliau akan menambahnya’.” (HR. al-Bukhari).


Pada hadits di atas kita mendapatkan gambaran berupa kritik pada masa Nabi saw. yang sangat sederhana. Meski sederhana, substansi yang ditanyakan para sahabat Nabi saw. ini menjadi dasar dan pondasi ajaran Islam di kemudian hari. 


Bentuk konfirmasi seperti inilah yang menjadi cikal bakal kritik matan hadits. Maka dapat disimpulkan bahwa kritik matan muncul lebih awal dibanding kritik sanad. Lantas apakah ada bentuk kritik sanad di masa Rasul saw.?


Jawabannya, ada. Bentuknya memang tidak seformal sebagaimana masa-masa setelahnya. Akan tetapi berdasar riwayat bentuk konfirmasi validasi suatu kabar juga sudah ada di masa Nabi saw. Hal ini dibuktikan dengan ayat Al-Quran yang menegaskan untuk mengecek suatu informasi yang berasal dari orang munafik, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hujurat ayat 6:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ


Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.


Era sahabat

Pasca wafatnya Nabi saw. barulah benih-benih kritik hadits muncul ke permukaan. Bentuk kritik hadits di era sahabat pasca wafatnya Nabi saw. masih belum serumit masa-masa setelahnya. Namun boleh dibilang bahwa otoritas terkait perkataan Nabi saw. yang kuat pengaruhnya di tengah masyarakat perlu dicek kembali kebenaran sumbernya oleh sahabat senior terkhusus Abu Bakar.


Abu Bakar sebagai sahabat Nabi yang senior dan juga seorang khalifah pasca Nabi saw. dapat disebut sebagai orang yang pertama yang mempertegas manhaj atau metode kritik pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw. Mengenai hal tersebut, al-Hakim, seorang ahli hadits yang hidup pada abad ke-4 mengatakan:


أَوَّلُ مَنْ وَقَى الكِذْبَ عَنْ رسول الله صلى الله عليه وسلم


Artinya: "[Abu Bakar] adalah orang pertama yang mencegah kedustaan atas nama Nabi saw." (Al-Hakim, al-Madkhal ila al-Shahih, [Beirut: Muassasah al-Risalah], hal. 46).


Pengakuan tersebut bukan hanya berasal dari al-Hakim saja, al-Dzahabi pun pernah mengomentarinya dan menuliskan komentarnya dalam karyanya, Tadzkirah al-Huffazh:


وكان أول من احتاط في قبول الأخبار


Artinya: "Abu Bakar adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima kabar [riwayat-riwayat dari Nabi]”. (Al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffazh, [Dar Ihya al-Turats, t.t], jilid I, hal. 7).


Abu Bakar, sebagai orang yang pertama mengantisipasi riwayat yang tidak valid dari Nabi saw, menginspirasi generasi-generasi setelahnya terhadap lahirnya metode al-muqaranah bayna al-riwayah (perbandingan antara riwayat-riwayat hadits). 


Selain Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali dan Aisyah pun turut aktif dalam menyaring riwayat-riwayat secara kritis. Banyak riwayat dan informasi yang bersumber dari Nabi saw. yang bertebaran di tengah masyarakat dan dikritisi kebenarannya oleh Aisyah. Di antara hadits yang sempat dikritisi oleh ‘Aisyah adalah riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar mengenai mayat yang disiksa sebab tangisan keluarganya. Haditsnya adalah:


إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ


Artinya: “Sesungguhnya mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya” (HR. al-Bukhari).


‘Aisyah tidak serta merta menerima riwayat ini secara langsung, akan tetapi menakwil dan mendetailkan maksudnya, alih-alih memahaminya secara gamblang. Menurut ‘Aisyah, maksud dari hadits itu adalah seorang yang kafir akan ditambah siksanya sebab tangisan keluarganya. ‘Aisyah menyadari ada konteks yang hilang dari pada hadits yang disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar.


Era tabi'in

Tatkala hadits menyebar ke beberapa daerah lainnya seiring berkembangnya Islam, metode yang telah dilakukan para sahabat diikuti oleh para sahabat Nabi saw. yang ikut dalam persebaran tersebut. Para ahli kritik hadits pun lahir dari kalangan tabi’in dan kebanyakan dari mereka tinggal di Madinah. Di antara mereka adalah adalah Sa’id bin al-Musayyib, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali dan lain-lain.


Para kritikus Madinah tersebut tampaknya berhasil mengader para ahli riwayat seperti Hisyam bin ‘Urwah, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sa’d bin Ibrahim dan yang paling menonjol adalah al-Zuhri.


Kendati terpusat di Madinah, Irak kala itu pun produktif dalam melahirkan beberapa ahli kritik hadits yang cukup kritis dalam menerima riwayat dari orang lain. Misalnya adalah al-Hasan al-Bashri, Thawus, Sa’id bin Jubair, Ibrahim al-Nakha’i dan yang sangat masyhur juga adalah Ibnu Sirin.


Ibnu Rajab al-Hanbali menyebut bahwa Ibnu Sirin adalah yang pertama kali mengritik para periwayat dan menyeleksi beberapa dari mereka yang tsiqah atau kredibel. Pengakuan tersebut didukung oleh pertanyaan Ya’qub bin Syaibah kepada Yahya bin Ma’in terkait tabi’in yang dapat menyeleksi kualifikasi periwayat sebagaimana Ibnu Sirin. Yahya bin Ma’in pun menjawab tidak ada, dan Ibnu Sirin lah pelopor kritikus hadits [di era tabi’in].


Perkataan Yahya bin Ma’in yang menyebut Ibnu Sirin sebagai pelopor tampaknya kurang tepat sebab ada beberapa tokoh yang mendahuluinya di Madinah yang dapat disebut sebagai pelopor juga. Di sisi lain, apabila disebut sebagai pelopor di Irak, ada al-Sya’bi yang lebih mendahului Ibnu Sirin dalam soal kritik hadits. Barangkali, ucapan Yahya bin Ma’in maksudnya adalah pelopor dalam keluasan dan kedalaman kritik dalam hadits. (Mustafa Azami, Manhaj Naqd ‘inda al-Muhadditsin, [Lebanon: Maktabah al-Kautsar, 1990], hal. 13). 


Pada era tabi’in dan setelahnya, menuntut ilmu dan mencari riwayat adalah suatu aktivitas yang sangat penting bagi mereka. Urgensi tersebut disebutkan oleh al-Sya’bi, “Seandainya seseorang bepergian dari ujung Syam hingga ujung Yaman, ia menghafal satu kalimat yang bermanfaat baginya dalam menjalani kehidupan, menurutku perjalanan yang dilakukannya tidak lah sia-sia.”


Perjalanan untuk menuntut ilmu di masa itu merupakan sebuah keniscayaan dan kelaziman, hingga didapati adanya pusat-pusat penyebaran riwayat dan para perawi dapat mengomentari hal seputar periwayatan secara komprehensif.


Penyebaran kritikus pasca orang-orang berlomba dalam mencari riwayat pun terjadi, hingga para ahli tidak hanya berada di Madinah atau Kufah atau Bashrah saja. Beberapa di antaranya terdapat di Syam, Hijaz dan Mesir. 


Bahkan kian tahun perkembangannya semakin pesat hingga penyaringan riwayat-riwayat yang dha’if pun dapat dilakukan oleh para kritikus, di antaranya adalah ‘Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qatthan, Waki’ bin al-Jarrah dan yang paling menonjol adalah Imam al-Syafi’i.


Hingga mencapai pada masa kodifikasi dan pembukuan hadits, kritik hadits tetap berjalan dan hidup di tengah para cendekiawan. Para ahli hadits yang aktif dalam membukukan hadits juga merupakan seorang yang ahli dalam kritik, misalnya adalah al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i dan lain-lain.


Masa kodifikasi hadits (IV - VII)

Periode kodifikasi hadits pada abad IV hingga VII merupakan masa-masa produktif bagi para ahli hadits. Mereka banyak melahirkan karya-karya bukan hanya berupa Jami’, Sunan, al-Mustadrak dan sejenisnya, akan tetapi mulai menyusun kaidah-kaidah dan membukukannya. 


Sebagai misal adalah al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) yang menyusun karya dalam ilmu hadits berjudul al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, al-Hakim (w. 405 H) dengan karyanya Ma’rifah fi ‘Ulum al-Hadits dan pada abad keenam Ibnu Shalah menyusun buku fenomenal dalam bidang ilmu hadits, yaitu ‘Ulum al-Hadits yang menjadi penyempurna bagi karya-karya sebelumnya dalam bidang kritik hadits.


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences