Ilmu Hadits

Syarat Mengamalkan Hadits Dhaif Bulan Rajab Perspektif Al-Hafizh Ibnu Hajar

Jum, 27 Januari 2023 | 14:00 WIB

Syarat Mengamalkan Hadits Dhaif Bulan Rajab Perspektif Al-Hafizh Ibnu Hajar

Ilustrasi: Rajab (nU Online).

Bulan Rajab adalah salah satu bulan istimewa dalam Islam, sebab termasuk dari satu dari empat bulan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur'an, surat At-Taubah ayat 36 dengan sebutan ashurul hurum.
 

Ulama telah menyepakati yang dimaksud dengan ashurul hurum adalah Dzul Qadah, Dzul Hijah, Muharram dan Rajab. Kata hurum itu sendiri adalah jamak dari kata haram yang diambil dari kata hurmah, yang berarti suci. Demikian Itu karena Allah mewajibkan manusia untuk menyucikan atau menghormati bulan-bulan tersebut dengan tidak berperang di dalamnya dan men​​​​​gisnya dengan ibadah dan ketaatan.
 

Khusus bulan Rajab, banyak ungkapan yang diklaim sebagai hadits yang menjelaskan amal-amal utama di dalamnya secara khusus seperti puasa. Namun, harus diakui memang tidak, menurut Al-Hafizh Ibnu Hajal Al-'Asqalani (wafat 852 H) tidak ada hadits shahih yang menjelaskan keutamaan-keutamaan tersebut secara jelas. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Tabyinul 'Ajab bima Warada fi Syahri Rajab men​​​​​jelaskan:
 

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة
 

Artinya,  “Tidak terdapat riwayat yang shahih yang layak dijadikan dalil atas keutamaan bulan Rajab, tidak pula riwayat shahih tentang puasa Rajab, puasa di tanggal tertentu bulan Rajab, atau shalat malam pada malam tertentu bulan Rajab.” (Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Tabyinul 'Ajab bima Warada fi Syahri Rajab, [Madinah, Muassasah Qurthubah], halaman 23).
 

Bahkan dalam kitab yang sama ia mengategorikan kwalitas sanad hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan Rajab secara khusus adalah dha'if dan maudhu'. Berikut jelasnya: 
 

وأما الأحاديث الواردة في فضل رجب، أو فضل صيامه، أو صيام شيء منه صريحة، فهي على قسمين: ضعيفة، وموضوعة
 

Artinya, “Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan bulan Rajab, keutamaan berpuasa di dalamnya, atau berpuasa pada hari tertentu darinya secara jelas, maka hadits-hadits tersebut terbagi menjadi dua macam: lemah dan palsu.” (Al-'Asqalani, Tabyinul 'Ajab, halaman 33). 
 

Telah maklum diketahui untuk fadhail amal maka hadits dha'if sudah cukup digunakan sebagai landasannya. Hal ini bahkan disebut ijmak atau telah menjadi kesepakatan ulama, tutur Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 1566 M)> Dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra ia menjelasakan sebagai berikut:
 

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضِلَ، وَالْمَوْقُوفَ يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا وَلَا شَكَّ أَنَّ صَوْمَ رَجَبٍ مِنْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ فَيُكْتَفَى فِيهِ بِالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَنَحْوِهَا وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ
 

Artinya, “Dan telah menjadi ketetapan bahwa hadits dha’if, mursal, munqathi’, mu’dhal dan mauquf dapat dipakai untuk keutamaan amal menurut kesepakatan ulama. Tidak diragukan lagi bahwa berpuasa Rajab termasuk dalam keutamaan amal, maka cukup memakai hadits-hadits dha’if dan sesamanya. Tidak mengingkari kesimpulan ini kecuali orang bodoh yang tertipu.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatâwâ Al-Fiqhiyah Al-Kubrâ, [Beirut, Darul Fikr:1983 M], juz II, halaman 53).
 

Sebagai pakar hadits Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani tampaknya lebih berhati-hati dalam menyikapi pengamalan hadits-hadits dha’if sebagai landasan dalam fadhailul amal.
 

Berikut anjuran beliau terkait ahli ilmu yang memberikan toleransi dalam pengunaan hadits-hadits dha’if selama tidak maudhu’ atau palsu.


ولكن اشتهر أن أهل العلم يتسمحون في إيراد الأحاديث في الفضائل، وإن كان فيها ضعف، ما لم تكن موضوعة. وينبغي مع ذلك اشتراط أن يعتقد العامل كون ذلك الحديث ضعيفًا، وأن لا يشهر ذلك؛ لئلا يعمل المرء بحديث ضعيف، فيشرع ما ليس بشرع، أو يراه بعض الجهال فيظن أنه سنة صحيحة
 

Artinya, "Meskipun telah masyhur para ulama atau ahli ilmu  menoleransi penggunaan hadits-hadits dha’if dalam hal fadhail amal selama tidak maudhu’  atau palsu. Seyogianya itu dengan syarat setiap orang yang mengamalkannya meyakini bahwa hadits tersebut dha’if dan tidak dipopulerkan, supaya orang tidak beramal hanya berdasar pada hadits dha’if, sehingga lahirlah syariat yang sebetulnya bukan syariat, atau dampak lebih parahnya orang-orang jahil atau bodoh akan menilainya sebagai sunah yang shahih." (Al-'Asqalani, Tabyinul 'Ajab, halaman 23).
 

Hemat kami, dari penjelasan di atas tidak bisa difahami bahwa Al-Hafizh Ibnu Hajar melarang untuk mengamalkan hadits dha’if sama sekali. Hanya saja karena kepakarannya dalam bidang hadits, tampaknya mendorongnya untuk lebih berhati-hati dalam mengamalkan hadits dha’if dengan memberikan persyaratan tamb​​​​​​​ahan​​​​​​, yaitu pengamalnya harus menyakini bahwa haditsnya itu dha’if dan tidak memasyhurkan atau mempopulerkannya melihat dampak yang ditimbulkan. Nantinya akan melahirkan syariat yang sebetulnya bukan syariat. Atau dampak yang lebih parah, orang awam akan menilai ibadah ya​​​​​​​ng disandarkan pada hadits dha’if sebagai sunah yang shahih, padahal dha’if. Namun rekomendasi Al-Hafizh ini sifatnya han​​​​​​​ya anjuran. Wallahu a'lam.


 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo