Zainun Hisyam
Kolomnis
Salah satu di antara misteri ketuhanan adalah nama-Nya. Percakapan mengenai asal-usul nama Allah sebenarnya bukan hal yang baru. Belasan abad silam, para ulama telah mendedikasikan diri demi menguak misteri nama Tuhan yang agung.
Dari segi asal-usul, mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah sepakat bahwa nama-nama Tuhan yang valid bersifat tauqīfiyah, yaitu berdasarkan pada wahyu langsung dari-Nya. Artinya, dikenalnya Tuhan melalui nama-nama tersebut bukan melalui konstruksi sosial budaya. Karenanya, tidak sah bagi seseorang memanggil Tuhan dengan selain nama-nama yang sudah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw.
Syekh Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan:
واختار جمهور أهل السنة أن أسماءه تعالى توقيفية وكذا صفاته، فلا تثبت لله إسما ولا صفة إلا اذا ورد بذلك توقيف من الشارع
Artinya, "Mayoritas ulama Ahlussunnah memilih pendapat bahwa nama-nama Allah saw bersifat tauqīfiyah, begitu pula sifat-sifat-Nya. Karenanya janganlah kamu menetapkan suatu nama atau sifat bagi Allah swt kecuali ada kabar yang datang dari Sang Pemilik Syari'at mengenai hal tersebut." (Tuhfatul Murid, [Kairo, Darus Salam: 1422 H/2002 M], halaman 154).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana nama-nama Tuhan dikenal? Tuhan, baik dzat maupun sifat-Nya, ada tanpa awal (qadim), tetapi bagaimana dengan nama-Nya?
Dapatkah kita meyakini nama Allah itu sudah ada sejak azali, sedangkan nama itu disebut dengan huruf dan bahasa manusia yang lahir dari konstruksi sosial budaya?
Sebaliknya, pantaskah kita menyebut nama Allah itu baru (hadits) meskipun nama itu jelas-jelas merujuk pada dzat yang qadim?
Kita perlu terlebih dahulu memahami bagaimana suatu nama dicipta. Menurut Imam Al-Ghazali, kita perlu memerinci empat hal: nama (al-ismu), penamaan (at-tasmiyah), yang dinamakan (al-musamma), dan yang memberi nama (al-musammi).
Nama atau al-ismu adalah lafal yang dicipta untuk menunjukkan suatu dzat dalam realitas yang maujud dalam realitas. Dzat yang ditunjuk merupakan al-musamma. Si pencetus lafal penunjuk adalah al-musammi. Proses dalam pengaitan lafal dengan makna penunjukan merupakan at-tasmiyah.
Keempat konsep tersebut adalah hal yang berbeda. Misalnya, kata 'matahari' adalah nama (al-ism) bagi bintang yang bersinar dan menjadi pusat tata surya (al-musamma). Kata 'matahari' itu dibuat oleh para manusia Indonesia (al-musammi) yang selanjutnya dikonfirmasi oleh para ahli dalam KBBI (at-tasmiyah).
Imam Al-Ghazali menegaskan:
والحق أن الإسم غير التسمية وغير المسمى، وأن هذه الثلاثة أسماء متباينة غير مترادفة
Artinya, "Pendapat yang benar adalah bahwa nama, bukanlah penamaan, bukan pula yang dinamai. Tiga istilah ini adalah tiga istilah yang salih berbeda maknanya, bukan yang saling menyamai." (Al-Maqsidul Asna, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1424 H/2003 M], halaman 24).
Namun demikian, ketiganya memiliki keterkaitan pada wujud yang dirujuk. Menurut Imam Al-Ghazali, al-musamma adalah wujud yang ada sebagai dzat yang nyata dalam realitas.
Setelah dzat tersebut kita ketahui keberadaan dan sifat-sifatnya, terciptalah wujudnya sebagai ilmu di alam pikiran kita. Lalu, kita mengekspresikan ilmu kita mengenai dzat tersebut dalam wujud nama berupa kata-kata pada lisan ataupun tulisan.
Kembali pada contoh matahari, ia sebagai al-musamma adalah wujud dzat bulat yang bersinar di pusat tata surya. Setelah kita mengetahui keberadaan dan sifat-sifatnya, terlukislah ilmu mengenai dzat bulat itu di pikiran kita.
Sebagai orang Indonesia, saat kita hendak mengungkapkan ilmu tentang dzat bulat itu, kita lalu mengucapkan kata dengan susunan huruf 'm-a-t-a-h-a-r-i' sebagai al-ism. Proses menyambungkan antara wujud ilmu dalam pikir dengan wujud nama dalam kata adalah at-tasmiyah.
Dari konstruksi konsep-konsep tersebut kita bisa memahami alasan para ulama memutuskan untuk menyebutkan bahwa nama-nama Allah itu adalah qadim, meskipun diungkapkan dalam bentuk kata-kata yang hadits.
Nama Allah memang berbeda dengan dzat Allah yang dinamai. Nama-nama Allah yang merupakan kata-kata dalam bahasa manusia jelas baru adanya, tetapi dzat-Nya sebagai rujukan nama tetaplah azali. Begitu pula, proses pemberitahuan nama-Nya melalui wahyu adalah peristiwa yang baru, tetapi penamaannya berdasarkan ilmu Allah mengenai nama-nama diri-Nya yang telah ada sejak azali.
Karena itu, Syekh Ibrahim Al-Baijuri menerangkan:
فيجب على الإنسان أن يقتقد أن أسماءه العظيمة قديمة وكذا صفات ذاته... بأنها قديمة لا باعتبار ذاتها، بل باعتبار التسمية بها
Artinya, "Wajib atas manusia untuk meyakini bahwasanya nama-namaNya yang agung itu ada tanpa awal (qadīmah) sebagaimana sifat-sifatNya... Dan bahwasanya nama-nama itu qadīmah bukan dari segi dzat kata-katanya, tetapi dari segi penamaannya." (Halaman 151).
Walhasil, sebagaimana dzat dan sifat-sifat-Nya, kita juga menyebutkan bahwa nama-nama Allah itu qadim sebagai bentuk dari adab. Namun yang kita yakini sebagai qadim bukanlah kata-kata yang kita ucapkan, tetapi keterlekatan nama-nama agung tersebut dalam ilmu Allah yang azali. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy, Banyumas
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
6
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
Terkini
Lihat Semua