Nikah/Keluarga

Teladan Nabi Ibrahim dalam Mencetak Keturunan Sukses Dunia-Akhirat

Sen, 6 November 2017 | 08:00 WIB

Teladan Nabi Ibrahim dalam Mencetak Keturunan Sukses Dunia-Akhirat

Kesalehan dan ketaatan orang tua kepada Allah merupakan modal besar bagi terbentuknya generasi yang berkualitas baik duniawi maupun ukhrawi.

Setiap orang yang membangun rumah tangga dalam sebuah ikatan perkawinan dapat dipastikan ingin mendapatkan keturunan. Dan kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga adalah sesuatu yang paling diharapkan lebih dari lainnya. Ini bisa di lihat dalam pergaulan kehidupan sehari hari, di mana ketika seseorang bertemu dengan temannya maka pertanyaan yang pertama kali dilontarkan adalah “anakmu sudah berapa?”. Juga ketika sepasang suami istri telah sekian lama menikah, harta telah melimpah dan hidup dalam kecukupan namun belum juga dikaruniai momongan, kenikmatan hidup berumah tangga itu belum lengkap dirasakan. Keduanya akan rela mengeluarkan biaya berapa pun banyaknya demi mendapatkan momongan, anak keturunan.
 
Dan ketika anak keturunan telah didapatkan orang tua masih memiliki harapan agar kelak anak-anaknya menjadi orang-orang yang sukses, bukan saja di dunia tapi juga kelak di akhirat. Ini adalah harapan ideal yang sudah semestinya dimiliki oleh setiap keluarga Muslim.
 
Di dalam Al-Qur’an secara tersirat maupun tersurat Allah banyak memberikan ajaran bagaimana menciptakan keturunan generasi penerus yang saleh, berkualitas, sukses dunia dan akhirat. Dari banyak ajaran itu salah satu yang menjadi kunci pokoknya adalah kesalehan dan ketaatan orang tua kepada Tuhannya.
 
Secara tersirat pesan ini disampaikan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 124 yang menceritakan perihal bagaimana Nabi Ibrahim melakukan ketaatan hingga berbuah keturunan yang dianugerahi kesuksesan. Allah berfirman:
 
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
 
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa perintah, maka ia melaksanakan perintah itu dengan sempurna. Tuhannya berkata, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai pemimpin bagi umat manusia.” Ibrahim berkata, “(demikian pula) sebagian anak turunku.” Tuhannya berkata, “Janjiku tidak berlaku bagi orang-orang yang berbuat aniaya.”
 
Secara garis besar ayat tersebut menceritakan tentang ujian yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang macam ujian yang diberikan Allah kepada nabi-Nya tersebut. Ada yang berpendapat bahwa ujian itu berupa perintah menyembelih putra beliau Nabi Ismail. Ulama yang lain mengatakan ujian itu berupa rangkaian ibadah mansik haji. Pun ada yang menuturkan bahwa Nabi Ibrahim diuji oleh Allah dengan berbagai perintah yang berkaitan dengan kebersihan diri seperti memotong kuku, mencukur bulu ketiak, memotong kuku dan lain sebagainya.
 
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut yang jelas pada ayat di atas dituturkan bahwa pada akhirnya Nabi Ibrahim dapat melaksanakan perintah-perintah Allah yang diujikan kepadanya dengan sempurna, tanpa ada ada kekurangan juga tanpa berlebihan (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tafsir Al-Munir [Beirut: Darul Fikr, 2008], jil. 1, hal. 37).
 
Imam Ibnu Kasir menuturkan bahwa atas prestasi ini maka kemudian Allah memberikan balasan dengan menjadikan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin bagi umat manusia (Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an AL-‘AdhimI [Semarang: Toha Putra, tt], juz 1, hal. 165). Beliau menjadi panutan yang diikuti oleh siapapun dalam hal kebaikan. Namun rupanya Nabi Ibrahim belum benar-benar puas atas penghargaan yang diberikan Allah. Kepada Tuhannya beliau meminta agar tidak dirinya saja yang dijadikan pemimpin bagi umat manusia tapi juga sebagian dari anak keturunannya diberi kehormatan serupa. Kiranya Allah mengabulkan permohonan Nabi Ibrahim. Hanya saja janji anugerah Allah ini tidak berlaku bagi siapa saja yang berbuat aniaya atau zalim.
 
Dalam sejarah bisa dilihat bahwa para rasul yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah setelah masa Nabi Ibrahim mereka semua adalah anak-anak keturunan beliau. Bahkan sebagian di antaranya ada yang tidak hanya diberi kenabian namun juga kekuasaan sebagai seorang raja. Nabi Dawud, Sulaiman dan Yusuf adalah contohnya.
 
Dari kajian di atas bisa diambil pendidikan luhur bahwa kesalehan dan ketaatan orang tua kepada Allah merupakan modal besar bagi terbentuknya generasi yang berkualitas baik duniawi maupun ukhrawi. Adanya anak keturunan Nabi Ibrahim dianugerahi Allah kemuliaan dengan diangkat sebagai nabi dan raja adalah tidak lepas dari bagaimana Nabi Ibrahim sebagai leluhurnya menjalankan dan mentaati perintah-perintah Allah secara sempurna. 
 
Berangkat dari itu bila orang tua menghendaki generasi penerusnya mendapatkan kesuksesan di dunia dan akhirat, menjadi anak-anak yang berkualitas lahir dan batin, maka semestinya orang tua mau mengawalinya dengan membentuk kesalehan diri sendiri. Ketaatan orang tua dalam menjalani perintah-perintah Tuhannya dan menjauhi setiap larangan-Nya memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk dan mencapai harapan itu. Allah tidak hanya memberikan balasan kebaikan bagi pelakunya saja namun juga bagi generasi penerusnya.
 
Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 7 Allah juga berfirman:
 
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
 
Artinya: “Bila kalian melakukan kebaikan maka kalian melakukan kebaikan bagi diri kalian sendiri, dan bila kalian melakukan kejelekan maka kejelekan itupun untuk diri sendiri”. 
 
Imam Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya Mafâtihul Ghaib mengutip penjelasan Al-Wahidi tentang ayat di atas bahwa apabila kalian melakukan ketaatan kepada Allah maka dengan ketaatan kalian itu Allah akan membukakan pintu-pintu kebaikan dan keberkahan bagi kalian. Sebaliknya bila kalian melakukan kejelekan maka dengan jeleknya kemaksiatan yang kalian lakukan itu Allah akan membukakan pintu-pintu keburukan bagi kalian (Fakhrudin Al-Razi, Mafâtihul Ghaib [Beirut: Darul Fikr, 1981], juz 20, hal 159).
 
Bila ayat tersebut diterapkan dalam kaitan sebab akibat antara ketaatan orang tua dan kesuksesan anaknya maka bisa diambil satu pemahaman bahwa ketaatan seseorang kepada aturan-aturan Allah akan mewujudkan kebaikan dan keberkahan bagi dirinya sendiri yang salah satunya berupa kesuksesan anak-anak keturunan di bidang duniawi maupun ukhrawi. Ya, saat orang tua memandang anak-anaknya menjadi orang yang sukses bukankah itu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya? Maka itu berarti ketaatannya membuahkan kebaikan bagi dirinya sendiri.
 
Satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya menyebutkan sabda Rasulullah yang menyatakan, “Sesungguhnya anak-anakmu adalah dari hasil usahamu” (Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad [Muassasah Al-Risalah, 2001], jil. 42, hal. 176). Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)