Sirah Nabawiyah

Integritas Kepemimpinan Umar bin Khattab

Rab, 30 November 2022 | 08:00 WIB

Integritas Kepemimpinan Umar bin Khattab

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online)

Riwayat mengisahkan bahwa suatu malam utusan dari Azerbaijan datang ke kota Madinah untuk menjumpai Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Namun, karena hari sudah larut malam, utusan tersebut memutuskan untuk tidur di Masjid Nabawi, agar keesokan harinya bisa segera menghadap Umar, ketika hendak tidur, ia dikejutkan oleh suara tangisan di keheningan malam, memohon kepada Allah swt.


“Ya Tuhanku, aku sedang berdiri di depan pintu-Mu. Apakah Engkau menerima taubatku supaya aku bisa mengucap selamat kepada diriku, atau Engkau menolaknya supaya aku menyampaikan ungkapan duka cita kepada diriku.”


Utusan dari Azerbaijan tersebut tertarik dengan kalimat yang ia dengar. Perlahan ia mendekat dan bertanya. “Wahai saudaraku, jika aku boleh tahu siapakah dirimu?” Di tengah heningnya malam orang tersebut menjawab, “Aku Umar bin Khattab”. Utusan Azerbaijan tersebut terkejut bukan kepalang. Ia tidak menyangka bahwa orang yang dijumpainya adalah Amirul Mukminin. Segera utusan itu memperkenalkan diri kepada Umar. (Baca Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab)


“Semoga Allah merahmatimu, Aku takut kalau aku tidur semalam suntuk akan menghilangkan diriku di hadapan Allah dan jika aku tidur sepanjang siang hari berarti menghilangkan diriku di hadapan rakyat,” jawab Khalifah Umar. 


Seusai shalat fajar, Umar mengajak tamunya itu singgah di rumahnya. Ia berkata kepada istrinya, “Wahai Ummu Kultsum, sugguhkan makanan yang ada. Kita kedatangan tamu jauh dari Azerbaijan.” 


“Kita tidak mempunyai makanan, kecuali roti dan garam,” jawab istri Umar. “Tidak mengapa,” kata Umar. Akhirnya mereka berdua makan roti dengan garam.


“Walikota Azerbaijan menyuruhku menyampaikan hadiah ini untuk Amirul Mukminin,” kata utusan Azerbaijan seusai makan, sembari menunjukan sebuah bungkusan.


“Bukalah bungkusan ini dan lihat apa isinya!” perintah Umar. Setelah dibuka, ternyata berisi gula-gula. “Ini adalah gula-gula khusus buatan Azerbaijan,” utusan itu menjelaskan. “Apakah semua kaum muslimin mendapatkan kiriman gula-gula ini?” tanya Umar. 


Utusan itu tertegun atas pertanyaan Umar, kemudian menjawab, “Oh tidak Baginda, gula-gula ini khusus untuk Amirul Mukminin”. Mendengar jawaban itu, Umar tampak amat marah. Segera ia memerintahkan kepada utusan Azerbaijan untuk membawa gula-gula tersebut ke masjid dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin.


“Barang ini haram masuk ke dalam perutku, kecuali jika kaum muslimin memakannya juga,” kata Umar dengan nada agak marah. “Dan engkau cepatlah kembali ke Azerbaijan, beritahukan kepada yang mengutusmu, bahwa jika ia mengulangi ini kembali, aku akan memecat dari jabatannya!”


Azerbaijan adalah sebuah wilayah di Iran. Kaum Muslim pertama kali memasuki wilayah tersebut antara 19-23 H/639-643 M. Gubernur pertamanya Hudzaifah bin Al-Yaman, lalu Umar mengangkat Utbah bin Farqad sebagai gubernur wilayah Tabriz/Azerbaijan, menggantikan Hudzaifah.


Kepemimpinan Umar bin Khattab yang menekankan kepentingan orang banyak juga terlihat ketika rumah gubuk seorang Yahudi berusaha digusur oleh Gubernur Mesir, Amr bin Ash.


Saat itu, Amr bin Ash berencana akan membangun sebuat masjid besar di tempat gubuk tersebut dan otomatis harus menggusur gubuk reot Yahudi itu. Lalu dipanggillah si Yahudi itu untuk diajak diskusi agar gubuk tersebut dibeli dan dibayar dua kali lipat.


Akan tetapi si Yahudi tersebut bersikeras tidak mau pindah karena dia tidak punya tempat lain selain di situ. Karena sama-sama bersikeras, akhirnya turun perintah dari Gubernur Amr bin Ash untuk tetap menggusur gubuk tersebut.


KH Abdurrahman Arroisi dalam salah satu jilid bukunya 30 Kisah Teladan (1989) menjelaskan, si Yahudi merasa dilakukan tidak adil, menangis berurai airmatanya, kemudian dia melapor kepada khalifah, karena di atas gubernur masih ada yang lebih tinggi. Dia berangkat dari Mesir ke Madinah untuk bertemu dengan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab.


Sepanjang jalan si Yahudi ini berharap-harap cemas dengan membanding bandingkan kalau gubernurnya saja istananya begitu mewah, bagaimana lagi istanya khalifahnya? Kalau gubernunya saja galak main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?”


Sesampai di Madinah dia bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran di bawah pohon Kurma, dia hampiri dan bertanya, bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab? Dijawab orang tersebut, ya saya tau, Di mana Istananya? Istananya di atas lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak mampu. 


Pakaian kebesarannya malu dan taqwa. Si Yahudi tadi malah bingung dan lalu bertanya sekarang orangnya dimana pak? Ya dihadapan tuan sekarang. Gemetar yahudi ini keringat bercucuran, dia tidak menyangka bahwa didepannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda dengan gubernurnya di Mesir.


Sayiddina umar bertanya, kamu dari mana dan apa keperluanmu? Yahudi itu cerita panjang lebar tentang kelakuan Gubernur Amr bin Ash yang akan menggusur gubuk reotnya di Mesir sana. Setelah mendengar ceritanya panjang lebar, Sayyidina Umar menyuruh Yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah didekat situ.


Lalu diambil pedangnya kemudian digariskan tulang tersebut lurus dengan ujung pedangnya, dan disuruhnya yahudi itu untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. Makin bingung si yahudi ini dan dia menuruti perintah Khalifah Sayyidina Umar tersebut.


Sesampai di Mesir, Yahudi inipun langsung menyampaikan pesan sayyidina Umar dengan memberikan sepotong tulang tadi kepada Gubernur Amr bin Ash. Begitu dikasih tulang, Amr bin Ash melihat ada garis lurus dengan ujung pedang, gemeter dan badannya keluar keringat dingin lalu dia langsung menyuruh kepala proyek untuk membatalkan penggusuran gubuk yahudi tadi.


Amr bin Ash berkata kepada Yahudi itu, ini nasihat pahit buat saya dari amirul mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah beliau bilang ‘hai Amr bin Ash, jangan mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang seperti ini.


Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis diatas tulang ini. Lurus, adil, jangan bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan dengan pedang ku. (Fathoni Ahmad)