Sirah Nabawiyah

Kemenangan Umat Islam di Khaibar pada Bulan Safar

Sab, 2 September 2023 | 09:00 WIB

Kemenangan Umat Islam di Khaibar pada Bulan Safar

Ilustrasi (Wikipedia).

Perang Khaibar berlangsung di awal tahun 7 Hijriah, yakni pada pertengahan bulan Muharram dan kemenangan diraih pada bulan Safar. Peperangan ini terjadi setelah terjalin Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad Saw dan kaum kafir Makkah. Sebulan setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut, Rasulullah yang sudah tiba di Madinah tak lama kemudian berangkat menuju Khaibar bersama pasukannya.


Khaibar adalah satu wilayah pertanian yang terletak sekitar 165 km sebelah utara Madinah. Wilayah ini terkenal subur dan memiliki banyak sumber air dan perkebunan yang melimpah, seperti kurma dan buah-buahan lainnya. Wilayah ini dihuni oleh gabungan orang-orang Arab dan Yahudi, kendati suku Arab Gathafan menganggap wilayah ini adalah wilayah mereka.


Peperangan ini dilatarbelakangi akibat terusirnya orang-orang Yahudi Bani an-Nadhir yang diusir oleh Nabi Muhammad saw dari perkampungan mereka di Madinah sebagai hukuman atas aneka pengkhianatan yang mereka lakukan. Banyak tokoh menonjol Bani an-Nadhir yang bermukim di Khaibar melakukan beberapa kegiatan yang menghasut dan memperburuk citra Nabi Muhammad.


Di samping itu, penduduk Khaibar adalah orang-orang yang menghimpun pasukan untuk memerangi kaum Muslimin dan mendorong Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian dan berkhianat, menjalin kontak dengan orang-orang munafik yang merupakan duri dalam masyarakat Islam, berhubungan dengan penduduk suku Gathafan dan orang-orang Arab Badui, yang merupakan sayap ketiga dari pasukan musuh.


Hal demikian membuktikan bahwa mereka sudah mempersiapkan diri untuk berperang. Bahkan mereka pernah menyusun rencana untuk membunuh Nabi Muhammad.


Gerakan membahayakan mereka akan mengancam keamanan kaum Muslimin di Madinah. Selain faktor keamanan, Rasulullah juga melihat bahwa akses dakwah Islam akan tersendat jika membiarkan para pemuka Yahudi di Khaibar memainkan peran mereka. Atas pertimbangan itu, langkah terbaik yang harus dilakukan adalah mengepung Khaibar yang merupakan benteng terakhir orang-orang Yahudi di Jazirah Arabia agar bisa memastikan dua hal tersebut berjalan lancar.


Peristiwa peperangan ini terekam dalam Al-Qur’an surat al-Fath ayat 20 sebagai janji Allah kepada kaum Muslimin yang ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah, bahwa mereka akan mendapatkan harta rampasan yang banyak. Allah Swt berfirman:


وَعَدَكُمُ اللّٰهُ مَغَانِمَ كَثِيْرَةً تَأْخُذُوْنَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هٰذِهٖ وَكَفَّ اَيْدِيَ النَّاسِ عَنْكُمْۚ وَلِتَكُوْنَ اٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ


Artinya: “Allah telah menjanjikan kepadamu rampasan perang yang banyak yang (nanti) dapat kamu ambil, maka Dia menyegerakan (harta rampasan perang) ini untukmu. Dia menahan tangan (mencegah) manusia dari (upaya manganiaya)-mu (agar kamu mensyukuri-Nya), agar menjadi bukti bagi orang-orang mukmin, dan agar Dia menunjukkan kamu ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fath ayat 20).


Rasulullah berangkat ke Khaibar dengan jumlah antara 1.400-1.600 balatentara. Pasukan tersebut adalah orang-orang yang ikut Rasulullah untuk melaksanakan umrah, meski terhadang oleh kaum kafir Makkah sehingga terbentuk Perjanjian Hudaibiyah. Tentang jumlah pasukan antara 1.400-1.600, Muhammad Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih (2018) menjelaskan bahwa jumlah itu sesuai dengan perbedaan pendapat riwayat hadis.


Pasukan kaum Muslimin yang dipimpin Rasulullah terdiri dari dua ratus ekor kuda serta beberapa orang wanita. Rasulullah juga menyertakan istri beliau, Ummu Salamah atau Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah al-Qurasyiyah al-Makhzumiyah, karena sebelumnya telah ikut ke Hudaibiyah.


Strategi Rasulullah sebelum tiba di Khaibar adalah menghalau suku Arab Ghathafan yang menjalin kerja sama dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011) menjelaskan bahwa Khaibar adalah pemukiman yang sangat kuat dan konon sulit untuk dikalahkan. Meski terlihat kuat, pada kenyataannya mereka terpecah belah di dalam. Ternyata setiap suku di pemukiman itu memiliki otonomi, dan mereka sulit bersatu untuk melawan satu musuh bersama.


Kelemahan itu dimanfaatkan Rasulullah Saw untuk memecah belah mereka lebih dalam lagi, salah satunya dengan menghalau suku Arab Ghathafan. Rasul Saw dan pasukannya dalam perjalanan ini akhirnya bermarkas di satu tempat yang dapat menghalangi mereka menuju Khaibar. Setelah terhalang, mereka juga mendengar kegaduhan di pemukiman mereka dan menduga bahwa Nabi Saw dan pasukannya sedang menyerang pemukiman mereka.


Hal demikian membuat mereka mengurungkan niatnya untuk membantu orang-orang Yahudi Khaibar, mereka terpaksa kembali guna mempertahankan harta, benda, dan keluarga mereka. Menurut Quraish Shihab (2018), tidak mustahil bahwa kegaduhan itu dilakukan oleh kaum Muslimin, atas perintah Nabi Saw, untuk mengelabui Ghathafan, sehingga mereka membiarkan orang-orang Yahudi menghadapi sendiri Nabi Saw dengan pasukan beliau.


Setelah tiba di Khaibar, tepatnya sebelum fajar, Rasulullah Saw dan pasukan melaksanakan Shalat Subuh di pinggiran kota dan begitu matahari terbit, Khaibar diserang. Kebiasaan Rasulullah jika hendak menyerbu suatu wilayah tidak di malam hari untuk menghindari mereka yang tidak mengangkat senjata. Ketika pagi hari penduduk Khaibar keluar dari rumah sambil membawa sekop dan keranjang menuju kebun, mereka dikejutkan oleh serangan mendadak itu.


Rasulullah Saw memulai gerakan, mereka berlarian ke benteng mereka sambil berteriak: “Muhammad datang dengan balatentara.” Dalam riwayat Anas bin Malik, Rasulullah bersabda dengan lantang:


الله أكبر , خربت خيبر , إنّا إذا نزلنا بساحة قوم فساء صباح المنذرين 


Artinya: “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami jika turun menyerang di halaman satu kaum, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.” (HR. Bukhari. Lihat juga, Abd al-Qadir Syaibah al-Hamd, al-Qashash al-Haq fi Sirah Sayyid al-Khalq Muhammad Saw, [Riyadh, 2013] halaman 337).


Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah memaparkan nama-nama benteng besar yang mengamankan wilayah Khaibar. Satu paruh wilayah Khaibar memiliki lima benteng, yaitu Benteng Na’im, Benteng Ash-Shab bin Muadz, Benteng Qal’ah az-Zubair, Benteng Ubay, Benteng An-Nizar.


Tiga benteng yang pertama terletak di wilayah Nathat, sedangkan dua benteng yang terakhir berada di wilayah Asy-Syiq. Sedangkan paruh kedua wilayah Khaibar yang juga disebut al-Katibah, memiliki tiga benteng, yaitu Benteng al-Qamush, benteng milik Bani Abul Huqaiq dari Bani an-Nadhir, Benteng Al-Wathit, Benteng As-Sulalim.


Pasukan Islam pertama kali menyerang Nathat di mana terdapat benteng Na’im. Selama dua hari kaum Muslimin berusaha menerobos benteng ini, tetapi selalu gagal. Saat itu, panji Rasulullah dipegang oleh Sayyidina Abu Bakar. Keesokan harinya Nabi Saw menyerahkan panji tersebut kepada seseorang yang bahkan beliau menjamin dengan ucapannya: “Kemenangan akan dianugerahkan Allah melalui dia,” yaitu Sayyidina Ali Ra.


Quraish Shihab menyebutkan riwayat hadis dari Bukhari-Muslim tentang salah satu pesan Nabi Saw kepada Sayyidina Ali, Nabi bersabda:


ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله تعالى , فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم


Artinya: “Ajaklah mereka kepada Islam. Sampaikanlah kepada mereka apa yang diwajibkan atas mereka dari hak-hak Allah. Demi Allah bahwa Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui Engkau, maka itu lebih baik dari Humr an-Ni’am (harta benda yang amat bernilai).” (HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (2018: 807).


Ketangkasan Sayyidina Ali sebagai pemegang panji Rasulullah ditunjukkan ketika beliau dihadang oleh Marhab, tokoh Yahudi yang dikenal gagah berani. Namun, Marhab orang yang sombong dan membanggakan diri.


Terjadilah duel antara Sayyidina Ali dan Marhab. Marhab kalah dan tewas di tangan Ali. Setelah kemenangan itu, akhirnya benteng Na’im bisa ditaklukkan. Lalu, tampil Yasir, saudara Marhab, tetapi dengan sigap Zubair ibn al-Awwam tampil ke depan dan berhasil mengalahkannya.


Satu persatu benteng Yahudi ditaklukkan yang mengakibatkan bahan makanan dan harta benda dikuasai oleh pasukan Islam. Mereka akhirnya berlarian menuju wilayah Khaibar paruh kedua yang disebut al-Katibah untuk berlindung di benteng-benteng al-Qamush dan Sulalim. Pasukan Islam mengepung mereka selama 14 hari lamanya dan kemudian menyerah dan meminta berdamai. Korban yang gugur dari pasukan Islam sebanyak 20 orang, Quraish Shihab (2018) menyebut riwayat lain 25 orang, sedang yang tewas dari kelompok Yahudi 93 orang.


Dampak dari kemenangan ini, kaum Muslimin yang sebelumnya batal umrah karena dihadang penduduk kafir Makkah dalam peristiwa Hudaibiyah, akhirnya merasakan janji Allah pada QS al-Fath ayat 20. Mereka meraih banyak harta rampasan, baik makanan maupun persenjataan, dari penaklukan Khaibar.


Tidak hanya itu, akses dakwah Islam juga semakin melebar karena kondisi keamanan Madinah meningkat, hal itu menumbuhkan ekonomi masyarakat Islam. Kaum Muhajirin yang sebelumnya telah banyak menerima bantuan dari Anshar semisal pohon-pohon kurma, akhirnya sangat berterima kasih kepada mereka. Sebab, harta yang dibagikan Nabi Saw kepada para Muhajir dari rampasan perang telah mencukupi kebutuhan mereka.