Sirah Nabawiyah

Kepemimpinan Moral Rasulullah dalam Perjanjian Hudaibiyah

Ahad, 30 Juli 2023 | 20:30 WIB

Kepemimpinan Moral Rasulullah dalam Perjanjian Hudaibiyah

Nabi Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Nabi Muhammad saw punya rencana untuk melakukan rihlah ibadah haji ke Makkah Sebagai langkah ibadah, Nabi tidak sama sekali berniat membawa sepucuk senjata. Hal ini ditentang sejumlah pengikutnya karena suasana masih memanas antara penduduk Madinah dan Makkah. Ada bayangan kecemasan, bahkan ketakutan menghantui umat Islam saat itu. Bahkan bagi Umar bin Khattab, perjalanan ke Makkah tanpa senjata bagaikan domba menuju tempat penjagalan. Cerita ini dikisahkan Karen Amstrong dalam buku Muhammad of Prophet for Our Time (Bandung: 2013).


Hal itu tidak dipedulikan Nabi. Baginya, ibadah ke kota kelahirannya itu mutlak dilakukan tanpa senjata barang sepucuk pun. Sebab, niatnya tunggal dan murni, ibadah haji. Tidak ada lain, apalagi ekspedisi militer dengan niat menguasai Makkah. Tidak sama sekali.


Meskipun dalam hati sebagian di antara sahabat itu menentang, tapi apa boleh buat. Mereka pun turut juga dalam perjalanan ziarah itu sesuai perintahnya.


Berita tentang perjalanan Rasulullah ke Makkah bersama para sahabatnya itu menyebar. Terdengar pula oleh Kaum Quraisy yang segera mengutus pasukannya untuk menghadang mereka. Adalah Khalid bin Walid yang bergerak bersama 200 kavaleri guna menyerang kelompok tak bersenjata itu.


Saat Rasulullah saw tiba di Hudaibiyah, selatan Makkah, unta Qaswa yang dikendarai Rasulullah berlutut dan menolak untuk kembali beranjak. Para sahabatnya pun meneriaki unta itu agar dapat bergerak kembali. Namun, Rasulullah mengartikan hal tersebut sebagai ‘tanda’ untuk kembali tanpa berperang. Ia mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa perjalanan ini dilakukan dengan semangat damai.


Nabi Muhammad saw saat itu menegaskan bahwa dalam perundingan dengan Quraisy nanti, apapun yang mereka minta akan disetujuinya. Sebab, ia tidak sama sekali memiliki niatan untuk menginvasi Makkah, menaklukkan Quraisy. Di sini, Nabi Muhammad saw menunjukkan sikapnya untuk rendah hati, bukan rendah diri.


Ketika Hulais, seorang Badui yang diutus Quraisy untuk berunding, Nabi Muhammad saw mengirimkan unta-unta yang siap untuk dikorbankan untuk hajinya itu dengan penuh hiasan. Hulais pun terkesan dengan sambutan itu. Karenanya, ia tak sempat berbincang, tetapi langsung melapor bahwa rombongan itu harusnya diperbolehkan masuk Haram.


Namun, laporan itu ditolak Safwan bin Umayyah, bagian dari pimpinan Quraisy selain Suhail dan Ikrimah. Mereka pun mengutus Urwah bin Masud dari Thaif untuk kembali menemui rombongan tersebut. Utusan ini justru terkesan dengan Nabi Muhammad dan umatnya yang setia. Dia menyampaikan bahwa mereka harus membuat semacam perjanjian dengan Quraisy.


Nabi Muhammad saw pun mengutus Utsman bin Affan untuk melobi petinggi Quraisy agar dapat memberikan mereka izin memasuki Kota Haram untuk dapat beribadah. Namun, upaya ini bertepuk sebelah tangan. Naasnya, justru kabar yang diterima adalah penahanan Utsman, bahkan selentingan lain menyebut ia dibunuh.


Nabi Muhammad saw pun mengambil sumpah setia para pengikutnya terhadap segala kebijakan yang diputuskannya. Kabar bahwa Ustman belum dibunuh pun datang. Kemudian Suhail tampak mendekat ke perkemahan Rasulullah. Hal ini menjadi penanda bahwa bakal ada perundingan serius.


Di saat itulah, Nabi Muhammad saw dan Suhail membuat kesepakatan yang disebut sebagai dengan Perjanjian Hudaibiyah. Kesepakatan ini dinilai banyak sahabat sangat merugikan umat Islam. Namun, bagi Nabi, hal tersebut demi kemenangan yang akan diperoleh di kemudian hari.


Pasalnya, Suhail beberapa kali menganulir usulan Rasulullah saw, mulai dari tidak menghendaki tulisan basmalah dan meminta untuk diganti dengan nama Allah saja, tanpa al-Rahman dan al-Rahim, hingga penggantian gelar Muhammad Rasulullah menjadi Muhammad bin Abdullah. Rasulullah sebagaimana di awal disebutkan, apa yang diminta Quraisy akan dipenuhinya. Ia pun tak memprotes itu sama sekali.


Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menulis perjanjian tersebut enggan melakukan penghapusan dan penggantian frasa itu. Namun, Rasulullah saw langsung meminta petunjuk sepupu sekaligus menantunya itu frasa yang dimaksud dan menghapusnya sendiri. Kemudian, ia meminta Sayyidina Ali untuk membubuhi apa yang diminta Suhail, yakni mengganti Rasulullah dengan Muhammad bin Abdullah.


Suhail mengatakan bahwa kalau dia percaya atau menerima Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah, buat apa dia selama ini memusuhinya. (Munawwir Sjadzali, Islam and Governmental System: Teachings, History, and Reflections, Jakarta: INIS. 1991, h. 14).


Setelah kesepakatan itu diteken, mereka pun kembali ke Madinah. Sebab, di antara poin kesepakatannya adalah Rasulullah saw dan seluruh sahabatnya tidak diperkenankan untuk masuk Kota suci Makkah pada tahun itu, tetapi baru boleh diizinkan pada tahun berikutnya. Pun saat nanti tiba di Makkah, mereka hanya dibolehkan tinggal selama tiga hari saja, tidak lebih. Juga tidak boleh membawa senjata kecuali sebuah pedang yang disarungkan.


Nabi juga tidak membawa serta Muslim yang ditawan Quraisy. Abu Jandal, putra Suhail yang telah menyatakan diri beriman kepada Rasulullah, pun tidak diupayakan untuk turut bersama ke Madinah. Ia dibiarkan tetap di tangan Suhail sekalipun sudah berusaha mati-matian agar dapat ikut bersama Rasulullah. Sebab, sebagai seorang utusan Allah, pantang dia mengingkari sebuah kesepakatan perjanjian.


Pada akhirnya, tahun berikutnya, Rasulullah saw pun berangkat lagi ke Makkah dengan rombongan yang lebih besar. Sejak awal, ia pun berpesan kepada para sahabatnya agar tidak menunjukkan sikap berlebih-lebihan saat tiba di Makkah nantinya. Sebab, hal tersebut dapat mengundang kebencian dan timbul fitnah. Mereka pun menjalankan ibadah dengan tenang tanpa gegap gempita berlebihan.


Bahkan, perjalanan ziarah ibadah ke Makkah itu pun mengundang banyak simpatik dari Quraisy. Sejumlah petinggi mereka pun menyatakan diri beriman kepadanya dan mengakui kerasulannya, tak terkecuali Ikrimah dan Suhail yang sebelumnya menjadi penentang di garda terdepan.


Kesepakatan Hudaibiyah menunjukkan keteladanan Rasulullah saw sebagai seorang pemimpin yang mencintai kedamaian, memegang teguh perjanjian, tidak mengingkari kesepakatan, dan yang tidak kalah penting adalah sikap rendah hati dalam menghadapi segala percobaan, tak terkecuali orang-orang yang memusuhinya. Itulah poin-poin penting kepemimpinan moral yang ditunjukkan Rasulullah saw dalam Perjanjian Hudaibiyah.