Sirah Nabawiyah

Kota Damaskus di Era Muawiyah, dari Pendidikan hingga Keamanan

Sabtu, 28 Desember 2024 | 15:00 WIB

Kota Damaskus di Era Muawiyah, dari Pendidikan hingga Keamanan

Ilustrasi Muawiyah bin Abi Sufyan. (Foto: NU Online)

Damaskus, kota yang berjuluk “Sang Permata dari Timur” merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah Islam, khususnya pada periode pemerintahan Dinasti Umayyah (41-132 H / 661-750 H). Sebelum ditaklukkan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab di tahun 635 M, Damaskus sudah menjadi salah satu kota dengan peradaban yang pesat karena menjadi Ibukota Bizantium di Asia, juga menjadi salah satu kota penting yang menghubungkan jalur perdagangan dunia, antara Asia, Eropa dan Afrika.

 

Dalam catatan Al-Waqidi, setelah meletusnya perang Yarmuk pada tahun 13 Hijriah, pasukan Muslimin melanjutkan ekspedisi mereka dan berhasil menaklukkan kota Damaskus. Penaklukan ini dilakukan dengan cara damai setelah beberapa hari pengepungan, tepatnya pada tahun 14 Hijriah. (Muhammad bin ‘Amr Al-Waqidi, Futuhus Syam, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H], Juz 1,hal 83)

 

Di era berikutnya, peran Damaskus semakin penting ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah setelah Hasan bin Ali menyerahkan kepemimpinan pada tahun persatuan (‘Amul Jama’ah) pada tahun 41 H. Mu’awiyah yang sebelumnya menjadi Gubernur Syam pada masa Umar dan Utsman, memindahkan ibukota pemerintahan dari Kufah ke Damaskus dengan alasan basis pendukungnya berada di Damaskus. (Jalaluddin As-Suyuti, Tarikhul Khulafa, [Kairo : Maktabah Nizarul Musthafa al-Baz, 1425 H], hal 149)

 

Pada masa pemerintahan Muawiyah (41-60 H), Damaskus mengalami perkembangan yang cukup pesat, khususnya di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi kemasyarakatan. Muawiyah mendirikan banyak pos jawatan untuk mempercepat penyampaian informasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga pemerintah dapat merespons dengan cepat berbagai kejadian atau kendala yang terjadi di masyarakat. Dia juga memanfaatkan Baitul Mal dengan baik sehingga banyak masyarakat miskin yang mendapatkan bantuan.

 

Tarikhuddin menjelaskan kebijakan yang diambil oleh Mu’awiyah. Di bidang keamanan, Muawiyah membentuk pasukan polisi khusus yang bertugas mengawal khalifah sekaligus melakukan patroli di berbagai wilayah untuk menjaga stabilitas dan ketertiban masyarakat.

 

Di bidang sosial, Muawiyah adalah khalifah pertama yang menjadikan orang-orang kristen menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, khususnya dalam bidang ekonomi dan sains. Kebijakan ini tidak hanya membangun kepercayaan dan legitimasi dari kalangan Kristen terhadap kepemimpinannya, tetapi juga berfungsi sebagai bentuk diplomasi strategis terhadap Kekaisaran Bizantium di Konstantinopel.

 

Di bidang militer, Muawiyah membangun basis angkatan laut yang kuat di dekat Damaskus untuk melindungi umat Islam dari ancaman yang datang dari Bizantium. Selain untuk kepentingan pertahanan, pangkalan militer ini juga berfungsi sebagai pelabuhan untuk mempercepat distribusi pangan dan kegiatan ekonomi lainnya. (Tarikuddin bin Haji Hassan, Pemerintahan Kerajaan Bani Umayyah, [Kuala Lumpur: Jahabersa, 2012], hal 48-49)

 

Selanjutnya, perkembangan pendidikan dan keagamaan di Damaskus pada masa Muawiyah diarahkan untuk menjadikannya sebagai pusat pendidikan Islam. Ia mulai membangun masjid, madrasah, dan kuttab sebagai fondasi pendidikan generasi muda yang kemudian mencapai puncaknya pada masa Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.

 

Pada masa ini, kajian dan periwayatan hadits dari sahabat ke tabi’in berkembang sangat pesat. Damaskus menjadi salah satu kota yang dihuni oleh banyak sahabat, sehingga menarik para tabi’in untuk datang ke Damaskus dan menimba ilmu hadits dari mereka. Keberadaan para ulama dan aktivitas keilmuan ini semakin mengukuhkan Damaskus sebagai salah satu pusat khazanah keislaman yang penting.

 

Di masa Muawiyah juga diberlakukan protokol keamanan shalat berjamaah, khususnya di masjid-masjid yang banyak jamaahnya. Kebijakan ini dilandasi oleh peristiwa wafatnya Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib yang terbunuh ketika menjalankan ibadah shalat berjamaah. Kekhawatiran akan terjadinya percobaan pembunuhan ketika shalat berjamaah membuat Mu’awiyah memberlakukan keamanan ketat di masjid-masjid utama, khususnya di Damaskus. (Tarikuddin bin Haji Hassan, Pemerintahan Kerajaan Bani Umayyah..., hal 52)

 

Di bidang infrastruktur, selama 20 tahun kepemimpinan Muawiyah, tidak banyak perubahan besar yang terjadi di Damaskus. Hal ini disebabkan oleh infrastruktur kota yang sudah sangat baik sejak masa kekuasaan Bizantium dan pemerintahan Umar bin Khattab, sehingga tidak memerlukan pembangunan besar-besaran. Muawiyah lebih fokus menjadikan Damaskus sebagai ibukota yang stabil dari segi politik dan keamanan, sehingga tidak terjadi pemberontakan atau perang yang mengancam pemerintahan seperti yang terjadi pada masa Utsman dan Ali.

  

Dari sejarah perkembangan Damaskus pada masa Muawiyah, dapat disimpulkan bahwa sebelum memajukan pendidikan dan infrastruktur, prioritas utama dalam membangun ibukota pemerintahan dan peradaban adalah memastikan stabilitas politik dan keamanan. Muawiyah tidak terburu-buru dalam meningkatkan infrastruktur Damaskus, melainkan fokus untuk menjamin keamanan kota dari berbagai ancaman, sehingga tercipta fondasi yang kokoh bagi perkembangan di masa mendatang. Wallahu a‘lam

 

Muhamad Iqbal Akmaludin, Alumni Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences dan UIN Jakarta