Romantika Rumah Tangga Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad
Jumat, 17 April 2020 | 05:45 WIB
Pada suatu kesempatan, Sayyidah Aisyah pernah bertanya perihal bagaimana cinta Nabi kepadanya. Beliau menjawab, cintanya kepada Sayyidah Aisyah itu seperti 'simpul tali' yang tidak pernah berubah. Atas hal itu, Nabi Muhammad meminta kepada para sahabatnya agar juga mencintai Aisyah dan tidak menyakitinya.
Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad kerap kali bermanja-manjaan, baik melalui ucapan maupun tindakan. Misalnya, merujuk Kemesraan Nabi Bersama Istri (Adib al-Kamdani, 2007), Nabi seringkali memanggil Aisyah dengan panggilan sayang seperti Humaira—isim tasghir, bentuk kata yang bermakna sesuatu yang mungil untuk memanjakan dan menunjukkan kecintaan. Humairah berasal dari kata hamra yang berarti putih kemerah-merahan. Nabi terkadang juga menyapa Aisyah dengan ‘Aisy’, dengan gaya bahasa tarkhim—membuang huruf terakhir untuk menunjukkan kemanjaan dan kesayangan. Ketika istrinya tersebut marah, Nabi mencubit hidungnya dan memanggilnya dengan Uways (panggilan kecil Aisyah).
Dalam suatu hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hibban, Sayyidah Aisyah mengaku pernah mandi junub bersama dengan Nabi. Jadi tangan mereka bergantian mengambil air dari satu bejana. Nabi juga pernah mencium Aisyah padahal keduanya tengah berpuasa di siang hari bulan Ramadhan. Sayyidah Aisyah juga sering diajak Nabi Muhammad bermain-main. Teman-temannya didatangkan ke rumah untuk bermain bersama. Digendong Nabi di atas punggungnya ketika menonton pentas tari yang dimainkan Bani Arfadah pada hari raya.
Sayyidah Aisyah menegaskan bahwa dirinya tidak pernah cemburu dengan istri-istri Nabi yang lainnya, kecuali Sayyidah Khadijah. Karena meskipun Sayyidah Khadijah sudah tiada, Nabi Muhammad masih sering menyebutnya. Beliau juga selalu bersemangat ketika bertemu dengan sahabat atau benda yang pernah dikenakan Khadijah.
Di sisi lain, Sayyidah Aisyah menjadi sumber kecemburuan bagi istri-istri Nabi yang lainnya. Bagaimana tidak, para sahabat sering kali memberi Nabi hadiah ketika beliau berada di rumah Aisyah. Sementara ketika di rumah istrinya yang lain, tidak. Atas hal itu, Ummu Salamah—yang mewakili ummul mukminin lainnya—mengadu kepada Nabi. Ia minta kepada Nabi agar memerintahkan orang-orang tidak hanya memberi hadiah ketika beliau berada di rumah Aisyah saja, tetapi juga ketika di rumah istrinya yang lain.
"Hai Ummu Salamah, janganlah engkau sakiti aku dalam urusan Aisyah. Sebab, demi Allah, tidak ada wahyu yang turun kepadaku saat aku berada dalam selimut seorang istri di antara kalian kecuali dia," jawab Nabi.
Kesempitan hidup itulah yang memberikan mereka untuk mengadu kepada Nabi. Meminta tambahan nafkah untuk menghias diri dan berpakaian yang lebih layak. Mendengar tuntutan tersebut, Nabi Muhammad marah. Beliau kemudian menundukkan wajah dan tidak menemui mereka untuk beberapa saat. Hingga turun wahyu dari Allah QS. al-Ahzab ayat 28 hingga 29:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasaannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (ridha) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar."
Fitnah atau kabar bohong (hadits al-ifki) juga pernah mengganggu kehidupan rumah tangga Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad. Dikisahkan, sepulang dari Bani Musthaliq pasukan umat Islam berhenti di suatu wilayah—beberepa kilometer dari Madinah—untuk beristirahat. Ketika malam tiba, Sayyidah Aisyah minta izin keluar dari sekedupnya untuk buang hajat. Tak lama kemudian, dia menyadari kalai kalungnya hilang, tidak ada lagi di lehernya. Ia kemudian turun dari sekedupnya dan kembali ke tempat dia buang hajat untuk mencari kalungnya.
Ia cukup lama mencari kalung di tempat itu. Hingga ketika dia kembali ke tempat umat Islam beristirahat, mereka sudah tidak ada. Mereka sudah melanjutkan perjalanan, tanpa menyadari bahwa Sayyidah Aisyah tidak ada di sekedupnya. Ia menunggi hingga kemudian ketiduran. Menjelang waktu subuh, Shafwan ibn Muaththal yang bertugas sebagai petugas penyapu—bertugas memungut barang-barang pasukan umat Islam yang kececer dan jatuh- menemukan Sayyidah Aisyah. Singkat cerita, Shafwan mengantar Sayyidah Aisyah hingga bertemu dengan rombongan pasukan umat Islam yang baru saja memasuki Kota Madinah.
Kejadian ini dimanfaatkan betul oleh musuh-musuh Nabi Muhammad. Mereka menuduh Sayyidah Aisyah—yang datang terlambat dan tidak bersama rombongan pasukan umat Islam—telah melakukan perselingkuhan dengan Shafwan. Salah seorang yang paling getol menghembuskan kabar dusta tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Hal itu cukup mengganggu kehidupan rumah tangga Sayyidah Aisyah dengan Nabi Muhammad. Tidak seperti biasanya, Nabi Muhammad bersikap dingin kepada Sayyidah Aisyah setelah kabar dusta tersebut tersebar luas. Bahkan, Nabi Muhammad sampai mengumpulkan para sahabatnya untuk mendiskusikan apa dan bagaimana seharusnya beliau menghadapi hal itu.
Sebulan berlalu, Allah membela dan menyucikan Sayyidah Aisyah dari segala tuduhan yang tidak benar tersebut dengan menurunkan QS an-Nur ayat 11 hingga 21. Barangkali ini merupakan salah satu kisah paling masyhur terkait dengan Sayyidah Aisyah.
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
2
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
5
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua