Sirah Nabawiyah

Romantika Rumah Tangga Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad

Jum, 17 April 2020 | 05:45 WIB

Sayyidah Aisyah hidup bersama Nabi Muhammad SAW kurang lebih sembilan tahun—hingga Nabi wafat. Mereka mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh keridhaan dan kasih sayang. Sayyidah Aisyah memiliki kedudukan dan keistimewaan tersendiri di hati Nabi. Ia juga begitu dicintai Nabi sehingga sebagian sahabat menyebutnya dengan ‘kekasih Rasulullah’. 

Pada suatu kesempatan, Sayyidah Aisyah pernah bertanya perihal bagaimana cinta Nabi kepadanya. Beliau menjawab, cintanya kepada Sayyidah Aisyah itu seperti 'simpul tali' yang tidak pernah berubah. Atas hal itu, Nabi Muhammad meminta kepada para sahabatnya agar juga mencintai Aisyah dan tidak menyakitinya. 

Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad kerap kali bermanja-manjaan, baik melalui ucapan maupun tindakan. Misalnya, merujuk Kemesraan Nabi Bersama Istri (Adib al-Kamdani, 2007), Nabi seringkali memanggil Aisyah dengan panggilan sayang seperti Humaira—isim tasghir, bentuk kata yang bermakna sesuatu yang mungil untuk memanjakan dan menunjukkan kecintaan. Humairah berasal dari kata hamra yang berarti putih kemerah-merahan. Nabi terkadang juga menyapa Aisyah dengan ‘Aisy’, dengan gaya bahasa tarkhim—membuang huruf terakhir untuk menunjukkan kemanjaan dan kesayangan. Ketika istrinya tersebut marah, Nabi mencubit hidungnya dan memanggilnya dengan Uways (panggilan kecil Aisyah).

Dalam suatu hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hibban, Sayyidah Aisyah mengaku pernah mandi junub bersama dengan Nabi. Jadi tangan mereka bergantian mengambil air dari satu bejana. Nabi juga pernah mencium Aisyah padahal keduanya tengah berpuasa di siang hari bulan Ramadhan. Sayyidah Aisyah juga sering diajak Nabi Muhammad bermain-main. Teman-temannya didatangkan ke rumah untuk bermain bersama. Digendong Nabi di atas punggungnya ketika menonton pentas tari yang dimainkan Bani Arfadah pada hari raya.
 
Meski demikian, kehidupan rumah tangga Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad juga mengalami gelombang persoalan. Tidak romantis terus-terusan dan berjalan tanpa masalah. Karena cemburu, hoaks, hingga persoalan ekonomi menjadi bumbu rumah tangga mereka berdua. 

Sayyidah Aisyah menegaskan bahwa dirinya tidak pernah cemburu dengan istri-istri Nabi yang lainnya, kecuali Sayyidah Khadijah. Karena meskipun Sayyidah Khadijah sudah tiada, Nabi Muhammad masih sering menyebutnya. Beliau juga selalu bersemangat ketika bertemu dengan sahabat atau benda yang pernah dikenakan Khadijah.

Di sisi lain, Sayyidah Aisyah menjadi sumber kecemburuan bagi istri-istri Nabi yang lainnya. Bagaimana tidak, para sahabat sering kali memberi Nabi hadiah ketika beliau berada di rumah Aisyah. Sementara ketika di rumah istrinya yang lain, tidak. Atas hal itu, Ummu Salamah—yang mewakili ummul mukminin lainnya—mengadu kepada Nabi. Ia minta kepada Nabi agar memerintahkan orang-orang tidak hanya memberi hadiah ketika beliau berada di rumah Aisyah saja, tetapi juga ketika di rumah istrinya yang lain. 

"Hai Ummu Salamah, janganlah engkau sakiti aku dalam urusan Aisyah. Sebab, demi Allah, tidak ada wahyu yang turun kepadaku saat aku berada dalam selimut seorang istri di antara kalian kecuali dia," jawab Nabi.
 
Persoalan nafkah juga menjadi bumbu bahtera rumah tangga Nabi. Jadi suatu ketika, diceritakan Said Ramadhan al-Buthy dalam Sayyidah Aisyah (2019), istri-istri Nabi—termasuk Sayyidah Aisyah—menemui Nabi Muhammad dan meminta tambahan nafkah. Mereka mengadu perihal kehidupan mereka yang sangat berat. Bahkan, Sayyidah Aisyah bercerita bahwa pernah suatu waktu dirinya tidak pernah melihat nyala api di rumah para istri Nabi Muhammad selama tiga bulan. Dalam kurun waktu itu, mereka bertahan hidup dengan kurma dan air saja.

Kesempitan hidup itulah yang memberikan mereka untuk mengadu kepada Nabi. Meminta tambahan nafkah untuk menghias diri dan berpakaian yang lebih layak. Mendengar tuntutan tersebut, Nabi Muhammad marah. Beliau kemudian menundukkan wajah dan tidak menemui mereka untuk beberapa saat. Hingga turun wahyu dari Allah QS. al-Ahzab ayat 28 hingga 29:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasaannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (ridha) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar."
 
Nabi Muhammad langsung mengumpulkan istri-istrinya dan membacakan ayat tersebut. Mereka disuruh memilih: hidup sederhana bersama beliau atau diceraikan secara baik-baik agar mereka memperoleh nafkah yang lebih banyak. Sebetulnya Nabi Muhammad memberi waktu kepada para istrinya untuk memikirkan dan memutuskan hal itu. Namun Sayyidah Aisyah tanpa ragu dan pikir panjang langsung memilih yang pertama, yakni tetap hidup bersama Nabi Muhammad. Keputusan ini kemudian diikuti istri Nabi yang lainnya.

Fitnah atau kabar bohong (hadits al-ifki) juga pernah mengganggu kehidupan rumah tangga Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad. Dikisahkan, sepulang dari Bani Musthaliq pasukan umat Islam berhenti di suatu wilayah—beberepa kilometer dari Madinah—untuk beristirahat. Ketika malam tiba, Sayyidah Aisyah minta izin keluar dari sekedupnya untuk buang hajat. Tak lama kemudian, dia menyadari kalai kalungnya hilang, tidak ada lagi di lehernya. Ia kemudian turun dari sekedupnya dan kembali ke tempat dia buang hajat untuk mencari kalungnya.

Ia cukup lama mencari kalung di tempat itu. Hingga ketika dia kembali ke tempat umat Islam beristirahat, mereka sudah tidak ada. Mereka sudah melanjutkan perjalanan, tanpa menyadari bahwa Sayyidah Aisyah tidak ada di sekedupnya. Ia menunggi hingga kemudian ketiduran. Menjelang waktu subuh, Shafwan ibn Muaththal yang bertugas sebagai petugas penyapu—bertugas memungut barang-barang pasukan umat Islam yang kececer dan jatuh- menemukan Sayyidah Aisyah. Singkat cerita, Shafwan mengantar Sayyidah Aisyah hingga bertemu dengan rombongan pasukan umat Islam yang baru saja memasuki Kota Madinah.

Kejadian ini dimanfaatkan betul oleh musuh-musuh Nabi Muhammad. Mereka menuduh Sayyidah Aisyah—yang datang terlambat dan tidak bersama rombongan pasukan umat Islam—telah melakukan perselingkuhan dengan Shafwan. Salah seorang yang paling getol menghembuskan kabar dusta tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. 

Hal itu cukup mengganggu kehidupan rumah tangga Sayyidah Aisyah dengan Nabi Muhammad. Tidak seperti biasanya, Nabi Muhammad bersikap dingin kepada Sayyidah Aisyah setelah kabar dusta tersebut tersebar luas. Bahkan, Nabi Muhammad sampai mengumpulkan para sahabatnya untuk mendiskusikan apa dan bagaimana seharusnya beliau menghadapi hal itu. 

Sebulan berlalu, Allah membela dan menyucikan Sayyidah Aisyah dari segala tuduhan yang tidak benar tersebut dengan menurunkan QS an-Nur ayat 11 hingga 21. Barangkali ini merupakan salah satu kisah paling masyhur terkait dengan Sayyidah Aisyah. 
 
Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Kendi Setiawan