Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang abai dalam kemampuan mengelola keuangan. Padahal, salah satu skill yang mampu menunjang kehidupan seseorang adalah management financial. Sayangnya, tidak semua orang diberi anugerah berupa kemampuan atau kesempatan untuk mengelola finansial dengan baik, bahkan sampai mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Tentu, konsekuensi ketidakmampuan seseorang dalam mengelola keuangan sendiri akan menimbulkan risiko bagi dirinya sendiri bahkan orang lain. Fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan manusia. Namun, Islam mengambil keputusan dengan menangguhkan hak tasaruf harta (hajru) bagi orang-orang yang tidak mampu mengelola hartanya sendiri.
Ketentuan seperti ini terkonsep secara rapi dalam fiqih muamalah, dengan tujuan agar umat Islam dapat menjalani kehidupan dengan adil dan bijaksana, terutama dalam hal keuangan. Pun dapat terhindar dari tangan-tangan yang merampas hartanya secara batil, curang atau menipu. (Ahmad bin Ali Al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, [Beirut, Darul Fikr; 1997], jilid II, halaman 170).
Definisi Hajru: Penangguhan Hak Tasaruf Harta
Hajru dalam terminologi (bahasa) diartikan pencegahan. Dalam terminologi syariat Syekh Nawawi Al-Bantani menejelaskan:
وَهُوَ الْمَنْع من التَّصَرُّفَات الْمَالِيَّة وَشرع إِمَّا لمصْلحَة النَّفس والغير كَالْمكَاتبِ فَيمْتَنع على السَّيِّد بَيْعه بِلَا إِذن مِنْهُ لأجل حق السَّيِّد وَحقّ الله تَعَالَى أَو الْغَيْر فَقَط كالمفلس فَيمْنَع تصرفه فِي عين مَاله مِمَّا يضر الْغُرَمَاء كوقف وَهبة وَبيع
Artinya, “Pencegahan atas pengelolaan aset harta berdasarkan syari’at. Adakalanya berlandaskan maslahat individual sekaligus pihak lain, seperti Mukatab (budak yang melakukan perjanjian untuk membebaskan dirinya). Karenanya majikannya dilarang menjualnya tanpa izin darinya untuk melindungi hak majikan dan hak Allah.
Adakalanya maslahat untuk pihak lain saja seperti orang yang mengalami kebangkrutan. Karenanya ia dilarang mengelola harta miliknya yang dapat merugikan para kreditor, seperti memberikan hadiah, menjual, atau mewakafkan hartanya.” (Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr], halaman 247).
Konsep penangguhan hak tasaruf harta (hajru) dalam Islam memiliki dua bagian, hajir alaih (pihak yang menangguhkan) dan mahjur alaih (pihak yang ditangguhkan).
Pihak yang menangguhkan hak tasaruf harta pihak yang ditangguhkan secara syariat adalah hakim.
Adapun pihak yang ditangguhkan terbagi menjadi dua golong. Golongan pertama orang yang hak tasaruf hartanya dicegah untuk kepentingan sendiri, yaitu anak kecil, orang gila, orang bodoh (safih) yang tidak cakap mengelola hartanya.
Sedangkan golongan kedua orang yang hak tasaruf hartanya dicegah untuk kepentingan orang lain, yaitu orang bangkrut (muflis); orang sakit kronis (maridh); hamba sahaya ('abdun qin); budak yang sedang dalam proses pembebasan (mukatab), dan orang murtad.
Implementasi penanggungan hak tasaruf harta dapat diterapkan di kehidupan modern. Justru, pada masa kini, yang mana tekanan biaya hidup semakin menyulitkan setiap orang, penerapan hak tasaruf harta akan memberikan kemaslahatan bagi individu sekaligus masyarakat secara kolektif.
Acapkali orang tidak mampu menentukan prioritas kebutuhan mana yang harus dipenuhi. Akhirnya, ditemukan banyak sekali kasus orang yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang mapan, namun memiliki tanggungan kredit kendaraan, cicilan rumah, cicilan elektronik yang tersebar di mana-mana.
Sementar di sisi lain karena secara daya ekonomi lemah, tanggungan-tanggungan yang menjadi beban tidak dapat terlunasi dan menyebabkan banyak pihak dirugikan.
Dalil Hajru: Penangguhan Hak Tasaruf Harta
Penangguhan hak harta (hajru) berlandaskan dalil yang jelas, baik dari Al-Qur’an dan hadits. Surat An-Nisa’ ayat 5 menyinggung pihak-pihak yang ditangguhkan (mahjur 'alaih).
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya, “Jangan berikan harta-harta (mereka yang diurus oleh) kalian, yaitu harta yang Allah jadikan untuk kalian sebagai biaya hidup kepada anak-anak yatim yang masih bodoh itu. Berikanlah mereka rezeki dalam harta tersebut; berikanlah pakaian mereka; dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik.”
Imam Al-Qurthubi mengatakan, ayat ini menunjukkan kebolehan menangguhkan hak tasaruf harta orang yang bangkrut (muflis). Ketika seseorang dalam kehidupannya mengalami kebangkrutan, sehingga tidak mampu membayar utang ataupun tanggungan yang lain, maka kondisi tersebut menjadi dasar penangguhan hak tasaruf harta atas aset yang dimilikinya. (Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo, Dar Mishriyah: 1964], juz V, halaman 29).
Hadits riwayat Imam Al-Baihaqi oleh para ulama dijadikan sumber primer penangguhan hak tasaruf harta (hajru):
عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ حَجَرَ عَلَى مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ مَالَهُ وَبَاعَهُ فِي دَيْنٍ كَانَ عَلَيْهِ
Artinya, "Diriwayatkan dari Ibnu Ka'b bin Malik, dari ayahnya, sungguh Nabi saw telah menangguhkan (tasaruf) Mu'adz bin Jabal atas hartanya dan menjualnya untuk membayar utang yang menjadi tanggungannya." (HR Al-Baihaqi).
Demikian penjelasan penangguhan hak tasaruf harta dalam fiqih Islam. Semoga bisa menjadi pengantar pembaca dalam memahami konsep penangguhan hak tasaruf harta secara lebih mendalam. Wallahu a’lam.
Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Kampus Ainul Yaqin Malang.
Terpopuler
1
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
2
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
3
Gus Miftah Sambangi Kediaman Bapak Penjual Es Teh untuk Minta Maaf
4
LD PBNU Ingatkan Etika dan Guyon dalam Berdakwah, Tak Perlu Terjebak Reaksi Spontan
5
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
6
Respons Pergunu soal Wacana Guru ASN Bisa Mengajar di Sekolah Swasta
Terkini
Lihat Semua