Zainuddin Lubis
Penulis
Kemiskinan struktural merupakan persoalan mendasar yang telah lama menghantui Indonesia, sebuah negara yang sejatinya diberkahi dengan sumber daya alam melimpah dan potensi ekonomi besar. Sayangnya, kenyataan ini bertolak belakang dengan kondisi sebagian besar rakyat yang hidup dalam kemiskinan, bahkan dalam situasi yang menggenaskan.
Kemiskinan di bangsa ini telah menjadi warisan lintas generasi, membentuk lingkaran setan yang sulit diputuskan; keterbatasan akses terhadap pendidikan, peluang kerja sulit, dan sumber daya terus memperburuk kondisi, sehingga upaya untuk keluar dari jeratan ini memerlukan langkah komprehensif yang melibatkan semua pihak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2024 mencapai 9,03 persen dari total populasi, atau sekitar 25,22 juta orang. Dari jumlah tersebut, penduduk miskin di wilayah perkotaan tercatat sebanyak 7,09 persen, setara dengan 11,64 juta orang.
Sementara itu, di wilayah perdesaan, persentase penduduk miskin lebih tinggi, yaitu mencapai 11,79 persen atau sekitar 13,58 juta orang. Data ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah perdesaan yang memiliki angka kemiskinan lebih tinggi dibandingkan perkotaan.
Pada sisi lain, kemiskinan struktural di Indonesia tidak lepas dari ketimpangan sistemik yang telah mengakar dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap pekerjaan layak. Ketimpangan ini diperparah oleh dominasi kelompok ekonomi tertentu yang menguasai sebagian besar sumber daya.
Islam dan Keadilan Ekonomi
Islam menempatkan keadilan ekonomi sebagai salah satu prinsip fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep ini tercermin dalam berbagai ajaran Islam, termasuk kewajiban zakat, infak, dan sedekah yang secara langsung ditujukan untuk mengurangi kesenjangan sosial.
Zakat, misalnya, bukan sekadar ibadah spiritual, tetapi juga instrumen redistribusi kekayaan yang dirancang untuk memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Hasyr ayat 7. Simak firman Allah berikut:
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
Baca Juga
Ijazah dan Masalah Struktural Pendidikan
Artinya; "(Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu."
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa Surat Al-Hasyr ayat 7 menegaskan pentingnya pemerataan ekonomi. Hal ini juga bermaksud agar harta dan kekayaan sebuah negara tidak hanya dikuasai oleh sekelompok kecil manusia.
Harta benda harus dapat dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat. Prinsip ini menekankan keseimbangan dalam distribusi ekonomi yang lebih adil, sehingga setiap orang mendapatkan kesempatan untuk merasakan manfaat dari harta tersebut.
Pun ayat ini sekaligus membatalkan tradisi masyarakat Jahiliah. Pada era itu, kepala suku berhak mengambil seperempat hasil harta rampasan dan membagi sisanya sesuka hati.
Islam tidak hanya menolak praktik tersebut, tetapi juga memperkenalkan prinsip dasar dalam bidang ekonomi yang menjunjung tinggi keadilan. Namun, hal ini tidak berarti menghapuskan kepemilikan pribadi atau memaksakan pembagian harta yang harus selalu sama.
Melalui penggalan ayat ini, Islam dengan tegas menolak segala bentuk monopoli. Al-Qur'an sejak awal menetapkan bahwa harta memiliki fungsi sosial, yaitu memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Dengan prinsip ini, Islam mendorong agar kekayaan tidak hanya menjadi alat untuk kepentingan individu semata, tetapi juga sebagai sarana kebaikan bersama yang mendukung pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan (Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002 M], Jilid XIV, hlm, 113).
Selanjutnya, Berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Konbes NU) tahun 2012, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab utama untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat, khususnya masyarakat miskin.
Hal ini sejalan dengan tujuan utama dari penyelenggaraan pemerintahan, yaitu menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh warga negara. Pemerintah juga dituntut untuk memastikan adanya pemerataan ekonomi di antara rakyat sebagai wujud nyata dari prinsip keadilan sosial.
Selain itu, pemerintah dilarang keras (haram) mengabaikan, mengurangi, atau mengalihkan hak-hak rakyat miskin kepada pihak lain dengan alasan apa pun. Tindakan semacam itu sebagai bentuk pengkhianatan yang berpotensi menyengsarakan masyarakat miskin.
Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil harus berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka demi mengatasi kemiskinan dan mencapai kesejahteraan yang merata.
Dengan demikian, dalam konteks negara seperti Indonesia, peran pemerintah sangat vital dalam memutus lingkaran kemiskinan struktural. Pemerintah wajib mengadopsi kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat miskin, termasuk subsidi langsung, program pemberdayaan ekonomi, dan penguatan akses terhadap layanan dasar. Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan anggaran negara harus dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan dana yang merugikan masyarakat miskin.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendukung upaya pengentasan kemiskinan. Prinsip gotong royong yang sejalan dengan ajaran Islam harus dihidupkan kembali dalam berbagai aspek kehidupan. Komunitas Muslim dapat berperan aktif melalui pendirian lembaga-lembaga filantropi yang fokus pada pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat miskin.
Dengan demikian, Islam menawarkan solusi yang komprehensif dalam memutus kemiskinan struktural melalui pendekatan keadilan ekonomi, pemberdayaan individu, dan tanggung jawab kolektif.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab utama untuk menciptakan kebijakan yang adil dan merata, sementara masyarakat dituntut untuk berperan aktif dalam mendukung upaya ini.
Dengan sinergi yang kuat antara ajaran Islam, peran pemerintah, dan kontribusi masyarakat, cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan di Indonesia. Wallahu a'lam.
Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, Tinggal di Parung.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua