Memperbarui Nikah: Definisi, Hukum, dan Ketentuan Maharnya
NU Online ยท Ahad, 25 Mei 2025 | 14:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Di antara sekian banyak persoalan fiqih yang mungkin terdengar ganjil di telinga adalah memperbarui nikah, atau dalam istilahnya dikenal sebagai tajdidun nikah. Tentu saja, pembahasan ini sudah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu. Dalam berbagai kitab fikih klasik, persoalan ini kerap muncul menjadi bagian dari dinamika rumah tangga yang tak selalu linier.
Jika kita bayangkan, seseorang yang sudah lama menikah, hidup bersama, memiliki anak, dan menjalani rumah tangga seperti biasa, tiba-tiba datang ke KUA (atau lembaga setara) kemudian mengulang akad nikah dengan istrinya sendiri. Aneh, tidak? Bahkan bisa jadi menimbulkan cibiran atau kecurigaan. Ada apa di balik ini? Padahal, pernikahan sekali itu berlaku seumur hidup selama tidak ada perceraian atau kematian? Maka di sinilah letak keunikannya.
Jika ditanya, apa sebenarnya yang menjadi penyebab seseorang memperbarui nikah? Maka jawabannya sangat beragam sebagaimana yang kerap terjadi di masyarakat, di antaranya adalah keraguan terhadap keabsahan akad nikah sebelumnya, ada juga yang memperbarui nikah setelah menjalani masa konflik rumah tangga atau perpisahan tanpa talak. Dan, ada juga yang melakukannya atas dasar memperkuat kembali ikatan pernikahan di hadapan keluarga dan masyarakat, serta tidak sedikit juga yang melakukannya sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath), sebagaimana juga sering disinggung dalam kitab-kitab fiqih.
Baca Juga
Khutbah Nikah, Hukum dan Contohnya
Adapun secara regulasi, istilah dan prosedur pembaruan akad nikah memang tidak disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan. Tidak ada ketentuan hukum yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk pernikahan tersendiri. Namun dalam praktiknya, KUA tetap dapat memfasilitasi akad ulang melalui mekanisme pencatatan nikah baru, khususnya jika pernikahan sebelumnya tidak tercatat secara sah, dokumennya hilang, atau terdapat keraguan terhadap keabsahannya.
Lantas, bagaimana sebenarnya perspektif fiqih perihal praktik-praktik memperbarui nikah ini? Hanya saja, sebelum membahas lebih lanjut perihal hukum memperbarui nikah, sangat baik jika kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan memperbarui nikah. Apakah itu seremonial besar-besaran sebagaimana yang kita lihat dalam pesta nikah? Atau sekadar mengundang penghulu, kemudian mengatakan kehendaknya untuk memperbarui nikah? Berikut penjelasannya.
Apa itu Memperbarui Nikah?
Baca Juga
Lima Rukun Nikah dan Penjelasannya
Memperbarui nikah (tajdidun nikah) merupakan tindakan mengulangi akad pernikahan antara suami dan istri yang telah sah menikah sebelumnya. Dalam hal ini, tidak ada perceraian (talak) atau pembatalan yang terjadi sebelumnya, namun akad diulang kembali dengan redaksi yang sama, sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath) atau sekadar memperindah dan memperkuat kembali ikatan yang telah terjalin.
Sebagian orang mungkin mengira bahwa praktik ini adalah sesuatu yang baru muncul di zaman modern, karena dinamika sosial yang berubah atau munculnya keraguan administratif dalam pencatatan pernikahan. Namun kenyataannya, pembahasan tentang memperbarui nikah sudah terjadi sejak abad ke-8 Hijriah, sebagaimana dicatat oleh Syekh Ismail bin Utsman al-Yamani al-Makki dalam kitab Qurratul โAin bi Fatawa Ismail az-Zain, halaman 167.
Dan yang menarik, sebagian ulama menggambarkan praktik memperbarui akad nikah sebagai sesuatu yang sederhananya selevel dengan memperbarui wudhu (aqallu amrihรข ka tajdรฎdil wudhรป). Artinya, sebagaimana seseorang yang telah berwudhu namun mengulanginya karena ragu atau kehati-hatian sebelum ibadah, begitu juga memperbarui akad nikah, tujuannya untuk menepis keraguan, serta memastikan syarat-rukunnya terpenuhi, atau sekadar menyegarkan kembali ikatan sakral yang telah berlangsung.
Oleh sebab itu, memperbarui nikah tidak berarti menjadi tanda bahwa pernikahan sebelumnya cacat atau batal. Bisa saja hal itu terjadi karena alasan personal, keraguan teknis, atau bahkan hanya karena ingin mempertegas dan meneguhkan kembali komitmen, baik di hadapan hukum maupun di hadapan hati masing-masing. Jika demikian faktanya, bagaimana hukumnya? Mari kita dalami kembali.
Hukum Memperbarui Nikah
Berhubungan dengan hukum memperbarui nikah, Syekh Ismail Zain al-Yamani al-Makki, pernah ditanya perihal hukum memperbarui akad nikah antara suami dan istri yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah. Kemudian ia menjawab bahwa memperbarui nikah hukumnya diperbolehkan jika tujuannya adalah untuk menguatkan (taโkid). Hanya saja, yang lebih utama adalah tidak melakukannya. Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:
Baca Juga
Wali Nikah Anak Zina
ุณูุคูุงูู: ู
ูุง ุญูููู
ู ุชูุฌูุฏูููุฏู ุงููููููุงุญูุ ุงูููุฌูููุงุจู: ุฃูููููู ุฅูุฐูุง ููุตูุฏู ุจููู ุงูุชููุฃูููููุฏู ูููุงู ุจูุฃูุณู ุจูููุ ููููููู ุงููุฃูููููู ุชูุฑููููู
Artinya, โPertanyaan: Apa hukum memperbarui akad nikah? Jawaban: Jika tujuannya adalah untuk penegasan, maka tidak mengapa. Namun yang lebih utama adalah meninggalkannya.โ (Qurratul โAin bi Fatawa Ismail az-Zain, [Maktabah al-Barakah, t.t], halaman 166).
Penjelasan Syekh Ismail di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar dalam salah satu kitabnya, ia menjelaskan bahwa jika terjadi kesepakatan antara suami, wali, dan istri yang berakal/cakap (rasyidah) untuk mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, dan kemudian mengumumkan jumlah mahar yang berbeda, maka mazhab Syafiโi menetapkan bahwa mahar yang dianggap sah dan wajib adalah mahar yang pertama kali disebutkan dalam akad pertama, bukan yang disebutkan kemudian atau akad kedua dan seterusnya.
Hal ini berlaku meskipun akad dilakukan ulang berkali-kali, baik dengan saksi yang sama maupun berbeda, karena yang diperhitungkan dalam fikih adalah akad yang pertama. Bahkan, Ibnu Hajar juga menegaskan bahwa apabila seorang suami mengulangi akad nikah dengan istrinya tanpa maksud menjatuhkan talak atau tanpa adanya pembatalan pernikahan sebelumnya, maka pengulangan akad itu tidak dianggap sebagai pengakuan atas putusnya ikatan pernikahan sebelumnya. Bahkan, hal itu tidak termasuk kinayah talak. Dalam kitabnya disebutkan:
ููููุคูุฎูุฐู ู
ููู ุฃูููู ุงููุนููููุฏู ุฅุฐูุง ุชูููุฑููุฑูุชู ุงูุนูุชูุจูุฑู ุงููุฃูููููู ..... ุฃูููู ู
ูุฌูุฑููุฏู ู
ูููุงููููุฉู ุงูุฒููููุฌู ุนูููู ุตููุฑูุฉู ุนูููุฏู ุซูุงูู ู
ูุซูููุง ููุง ููููููู ุงุนูุชูุฑูุงููุง ุจูุงููููุถูุงุกู ุงููุนูุตูู
ูุฉู ุงููุฃููููู ุจููู ููููุง ููููุงููุฉู ููููู
Artinya, โDan dapat diambil kesimpulan bahwa jika akad diulang, maka yang diperhitungkan adalah akad yang pertama... bahwa sekadar persetujuan suami terhadap bentuk akad kedua, misalnya, tidak dianggap sebagai pengakuan atas berakhirnya ikatan pernikahan yang pertama, bahkan hal itu tidak termasuk kinayah (sindiran atas putusnya ikatan tersebut).โ (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: Maktabah at-Tijariyah, 1983 M], jilid VII, halaman 391).
Dengan kata lain, sekalipun terdapat akad kedua, selama tidak ada indikasi talak atau pembatalan sebelumnya, maka akad pertama tetap yang sah dan berlaku, sementara akad kedua tidak otomatis menunjukkan bahwa akad pertama sudah batal atau terputus.
Dengan demikian, praktik memperbarui akad nikah antara suami-istri yang masih sah tidak menjadi penyebab terjadinya konsekuensi hukum tertentu, tidak pula menjadi tanda bahwa akad yang pertama batal, kecuali jika memang diawali dengan kata talak atau cerai sebelumnya. Bahkan jika memperbarui akad itu tujuannya untuk penguatan, hukumnya pun juga tidak masalah, meskipun yang lebih utama adalah meninggalkannya karena tidak ada kebutuhan secara syariat.
Lantas, jika akad nikah benar-benar diperbarui, apakah kewajiban-kewajiban dalam akad pertama, seperti pemberian mahar, juga tetap berlaku dalam akad yang baru ini? Dalam akad pertama, suami memiliki kewajiban untuk memberikan mahar kepada istri. Namun, apakah saat akad diperbarui, suami juga tetap wajib memberikan mahar lagi? Mari kita bahas kembali.
Apakah Wajib Mahar Baru?
Para ulama berbeda pendapat perihal hukum pemberian mahar jika akad nikah benar-benar diperbarui. Setidaknya terdapat dua pendapat utama dalam hal ini, pendapat pertama menyatakan tidak wajib memberikan mahar baru dalam pembaruan akad nikah. Sebab, pembaruan akad dianggap sebagai bentuk penegasan ulang saja.
Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Ismail az-Zain, ketika ditanya perihal orang yang memperbarui nikah, apakah wajib atau sunnah baginya untuk memberikan mahar lagi. Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:
ุณูุคูุงูู: ู
ูุง ููููููููู
ู ููููู
ููู ุฌูุฏููุฏู ููููุงุญูููุ ูููููู ููุฌูุจู ุนููููููู ุฃููู ููุณูููู ุฃููู ููุนูุทูููููุง ุงูุตููุฏูุงูู ู
ูุฑููุฉู ุซูุงููููุฉู ููุฐูููุฑููู ููู ุงููุนูููุฏู ุงููุฌูุฏูููุฏู ุฃููู ูุงูุ ุงูููุฌูููุงุจู: ููุงููุฌูุจู ุนููููููู ุฃููู ููุฌูุฏููุฏู ุตูุฏูุงููุงุ ููุชูุฌูุฏูููุฏู ุตูููุบูุฉู ุนูููุฏู ุงููููููุงุญู ููุฅููููู
ูุง ูููู ูููุชููุฃูููููุฏู
Artinya, โPertanyaan: Apa pendapat Anda tentang seseorang yang memperbarui akad nikahnya, apakah wajib atau disunnahkan baginya untuk memberikan mahar sekali lagi karena disebutkan dalam akad yang baru, atau tidak? Jawaban: Tidak wajib baginya untuk memperbarui mahar, karena pembaruan lafaz akad nikah itu hanyalah bentuk penegasan semata.โ (Qurratul โAin bi Fatawa Ismail az-Zain, [Maktabah al-Barakah, t.t], halaman 164).
Pendapat kedua menyatakan wajib menetapkan dan memberikan mahar baru saat akad diperbarui. Sebab menurutnya, pembaruan akad dianggap sebagai pengakuan terhadap adanya pemisahan atau keretakan yang sebelumnya terjadi, dan karenanya pembaruan tersebut dianggap seperti akad nikah baru yang berdiri sendiri, sehingga memerlukan mahar sebagaimana dalam akad pertama. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Yusuf bin Ibrahim al-Ardabili (wafat 779 H), dalam kitabnya mengatakan:
ูููู ุฌูุฏููุฏู ุฑูุฌููู ููููุงุญู ุฒูููุฌูุชููู ููุฒูู
ููู ู
ูููุฑู ุฃูุฎูุฑู
Artinya, โJika seorang suami memperbarui akad nikah dengan istrinya, maka wajib baginya mahar yang lain.โ (Al-Anwar li Aโmalil Abrar, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid II, halaman 61).
Dengan demikian, maka memperbarui akad nikah antara suami dan istri yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah pada dasarnya diperbolehkan, karena pembaruan itu masuk dalam kategori penegasan (taโkid), dan tidak dianggap sebagai bentuk talak tersirat, serta tidak menimbulkan konsekuensi hukum baru yang membatalkan akad pertama. Meski, yang lebih baik adalah tidak melakukannya, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Ismail az-Zain di atas.
Adapun perihal kewajiban memberikan mahar dalam akad yang diperbarui, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama, seperti Syekh Ismail Zain, berpendapat bahwa tidak wajib memberikan mahar baru, karena pembaruan akad hanya sebagai bentuk penguatan semata. Sementara sebagian lain, seperti Imam al-Ardabili, memandang bahwa akad baru itu berarti mengulang proses pernikahan dari awal, dan karenanya mewajibkan mahar baru sebagaimana akad nikah pada umumnya. Wallahu A'lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
5
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
6
Buka Workshop Jurnalistik Filantropi, Savic Ali Ajak Jurnalis Muda Teladani KH Mahfudz Siddiq
Terkini
Lihat Semua