Syariah

Pembunuhan Serupa Sengaja dalam Perspektif Hukum Islam

Rab, 15 Februari 2023 | 09:30 WIB

Pembunuhan Serupa Sengaja dalam Perspektif Hukum Islam

Pembunuhan seperti sengaja. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Pembunuhan adalah salah satu perbuatan yang sangat diharamkan oleh Allah swt dan dikategorikan sebagai dosa besar. Dalam Al-Qur’an surat al-Isra: 33, Allah swt berfirman:


وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۗ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلْطَٰنًا فَلَا يُسْرِف فِّى ٱلْقَتْلِ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورًا


Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”


Selain menjelaskan dosa besar pembunuhan, ayat di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa jika seorang ahli waris membunuh muwarrats-nya, meskipun dilakukan dengan cara tidak sengaja, bisa menyebabkan konsekuensi si pelaku pembunuhan terhalang dari mendapatkan hak waris.


Dalam perinciannya, ulama membagi pembunuhan menjadi tiga kategori, yakni sengaja, serupa sengaja dan tidak sengaja. Tulisan kali ini akan berfokus pada penjelasan mengenai pembunuhan serupa sengaja atau dalam istilah hukum Islam disebut sebagai syibh ‘amd.


Dalam Kitab Ghayah al-Ikhtishar dijelaskan bahwa syibh ‘amd atau ‘amd khatha` ialah:


وَعمد الْخَطَأ أَن يقْصد ضربه بِمَا لَا يقتل غَالِبا فَيَمُوت فَلَا قَود عَلَيْهِ بل تجب دِيَة مُغَلّظَة على الْعَاقِلَة


Artinya: "‘Amd Khatha` (pembunuhan sengaja namun mungkin tidak sengaja) ialah jika seorang pelaku melukai korban dengan media yang secara umum semestinya tidak menyebabkan kematian, namun nyatanya korban mati. Dalam kasus ini, maka tidak ada balas bunuh namun diwajibkan membayar denda yang diperberat oleh waris ‘aqilah.”


Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kasus pembunuhan, terlampau sulit melacak niat atau motif seseorang karena niat itu letaknya di hati dan isi hati seseorang susah kiranya diketahui oleh orang lain. Maka syariat Islam menilai niat kesengajaan seseorang dalam kasus pembunuhan ini ialah dengan melihat pada media apa yang digunakan oleh pelaku.


Apabila media yang digunakan oleh pelaku ialah media yang pada umumnya menyebabkan kematian, dan memang ditujukan indirect (secara langsung) pada korban maka disebut sebagai pembunuhan sengaja dan menimbulkan konsekuensi balas bunuh.


Sedangkan dalam kasus syibh ‘amd, dari satu sisi pelaku sebenarnya sudah mengarah pada korban, namun di sisi lain media yang ia gunakan bukan sesuatu yang secara umum bisa menyebabkan kematian. Maka dianggap bahwa unsur kesengajaannya berkurang akibat kurangnya unsur tersebut jika melihat pada media yang digunakan.


Lebih jelasnya, dalam Kitab Kifayah al-Akhyar yang mengomentari Kitab Ghayah disebutkan:


شبه الْعمد وَهُوَ أَن يقْصد الْفِعْل والشخص مَعًا بِمَا لَا يقتل غَالِبا كَمَا إِذا ضربه بِسَوْط أَو عَصا ضَرْبَة خَفِيفَة أَو رَمَاه بِحجر صَغِير وَلم يوال بِهِ الضَّرْب وَلم يشْتَد الْأَلَم بِسَبَب ذَلِك وَلم يكن وَقت حر وَلَا برد شديدين أَو لم يكن الْمَضْرُوب ضَعِيفا أَو صَغِيرا


Artinya: “Pembunuhan syibh ‘amd ialah jika seseorang sengaja melukai orang lain dengan media yang secara umum tidak menyebabkan kematian namun nyatanya menyebabkan kematian seperti memukul menggunakan cambuk atau tongkat dengan pukulan ringan atau melempar dengan batu kecil dan pukulannya tidak bertubi-tubi dan tidak menimbulkan rasa sakit yang hebat akibat hal tersebut dan tidak dilakukan pada saat yang terlalu panas atau dingin atau korban bukanlah orang yang lemah atau kecil.”


Dalam kasus pembunuhan dengan kategori syibh ‘amd ini, pihak keluarga korban tidak bisa menuntut qishash atau balas bunuh namun yang diwajibkan ialah diyat mughallazhah atau denda yang diperberat yakni berupa 100 ekor unta dengan rincian 30 unta hiqqah (unta betina umur 3 tahun), 30 unta jadza’ah (unta betina umur 4 tahun), dan 40 khilfah (unta yang sedang bunting).


Kewajiban pembayaran denda ini boleh diangsur dan dibebankan bukan hanya kepada korban namun menjadi tanggungan waris ‘aqilah yakni pihak-pihak ahli waris lelaki yang memungkinkan untuk mendapatkan waris ‘ashabah dalam bab waris. Dengan tambahan, bagi si pelaku ia wajib membebaskan budak mukmin atau berpuasa dua bulan berturut-turut. Demikian, semoga bermanfaat, wallahu a’lam bi shawab.


Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes