Syariah

Usaha Peternakan dengan Pembiayaan Berbasis Profit Sharing Syariah

Kam, 12 Januari 2023 | 16:00 WIB

Usaha Peternakan dengan Pembiayaan Berbasis Profit Sharing Syariah

Ilustrasi: Ayam (Freepik - NU Online)

Peternakan merupakan salah satu sektor usaha yang paling banyak digeluti oleh masyarakat setelah pertanian dan perkebunan. Itu sebabnya, banyak lembaga pembiayaan dan perkreditan berusaha menyasar sektor satu ini dalam bentuk menyediakan akses modal. B


Problemnya adalah bagaimana cara menjalin kerjasama dengan para peternak tersebut dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip usaha syariah? 


Tulisan kali ini akan berusaha mengupas hal tersebut secara singkat. . 

 


Rancangan Dasar Bisnis 

Yang dikehendaki oleh Lembaga Pembiayaan Syariah (LKS) atau Baitul Mal wat Tamwil (BMT) adalah memberikan akses modal. Para peternak merupakan pihak amil (pelaksana lapangan). 


Dengan modal yang dikucurkan, harapannya adalah pihak pengelola bisa menggunakan modal itu sebaik-baiknya, dan kemudian hasil pengelolaannya dibagi dua (profit sharing). Alhasil, akad dasarnya adalah qiradh atau mudharabah


قراض هو أن يعقد على مال يدفعه لغيره ليتجر فيه على أن يكون الربح بينهما


Artinya, “Qiradh adalah suatu akad yang dijalin atas dasar penyerahan harta kepada pihak lain untuk maksud diniagakan dengan keuntungan dibagi berdua.” (Sayyid Al-Bakri, I’anatut Thalibin 'ala Hilli Alfazhi Fathil Mu’in, [Damaskus: Darul Fikr], juz III, halaman 34).

 

Fasilitas Kandang

Umumnya kandang adalah dimiliki oleh peternak ayam. Demikian juga dengan peralatan-peralatan pemeliharaan, seperti pemanas (jika dibutuhkan), penerangan dan listrik, dan beberapa sarana vital lainnya. 


Karena di dalam qiradh, fasilitas vital usaha meniscayakan disediakan oleh pemodal, maka seluruh alat dan prasarana di atas menghendaki disewa oleh pemodal, yaitu LKS. Hal ini diqiyaskan dengan akad musaqah, yang mana tanah—selaku tempat usaha—meniscayakan menjadi milik rabbul mal (pemodal). Fasilitas pagar dan sumur serta saluran irigasi adalah tanggung jawab dari pemilik modal. 


المَعْنى المجوز للمساقاة مَوْجُود فِي المُزارعَة وقِياسًا على القَراض فَإنَّهُ جائِز بِالإجْماع 


Artinya, “Makna yang berlaku pada akad musaqah (bagi hasil tanaman anggur dan kurma) terdapat di dalam akad muzara’ah dan qiyas dengan akad qiradh (profit sharing). Itu boleh berdasarkan ijma'.” (Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar, [Damaskus, Darul Fikr], juz I, halaman 299). 


Biaya yang digunakan untuk menyewa tempat usaha, tidak dihitung sebagai modal yang dikucurkan oleh LKS, sehingga tidak masuk dalam bagian ra’sul mal (modal awal) yang kelak dijadikan basis landasan perhitungan bagi hasil.
 

 

Kesepakatan Bagi Hasil

Salah satu syarat sah dari akad mudharabah atau qiradh adalah adanya nisbah bagi hasil yang diketahui oleh ‘amil (peternak pengelola). 


الركن السادس من أركان القراض: قسمةُ الربح على جُزئية صحيحة 


Artinya, “Rukun keenam dari rukun qiradh adalah pembagian keuntungan berdasarkan nisbah bagian yang sahih.” (Abul Ma’ali Al-Juwaini, Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab, [Beirut: DKI], juz VII, halaman 454).
 

 

Penanganan Hasil Panen

Item penting lainnya adalah perlu adanya kesepakatan penanganan hasil panen. Isi dari kesepakatan ini bisa dilandaskan pada ‘urf atau adat yang berlaku di tengah masyarakat peternak. Atau boleh juga berdasar kesepakatan antara dua pihak, pemodal dan pengelola. 


Item kesepakatan di sini mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.    perjanjian durasi pemanenan, misalnya 1 bulan setelah pemasukan bibit dan perawatan;
2.    pihak yang menangani penjualan produk; dan
3.    kesepakatan penghitungan bagi hasil.


 

Simpulan

Akad di atas adalah relasi kontrak permodalan yang dibangun di atas landasan bagi hasil keuntungan (profit sharing). Akad ini dikenal sebagai kontrak mudharabah atau qiradh. Ciri dasarnya, adalah: 
1.    modal 100% berasal dari LKS;
2.    seluruh fasilitas usaha wajib disediakan oleh LKS—apabila tempat usaha tidak dihitung sebagai jasa yang disewa oleh pemodal, maka keberadaan fasilitas tersebut dinilai sebagai akad tabarru’ (sukarela)—; 
3.    'amil hanya bertugas menjalankan modal pada wilayah yang sudah ditentukan oleh pemodal dan berusaha mengembangkannya dengan sungguh-sungguh; dan
4.    'amil mengetahui nisbah bagi hasil yang akan diterimanya di awal akad itu disepakati. Wallahu a'lam.

 


Ustadz Muhammad Syamsudin. Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur