Tafsir

Tafsir Surat Al-'Alaq Ayat 13 dan 14: Berani Melarang Ibadah?

Kamis, 15 Desember 2022 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-'Alaq Ayat 13 dan 14: Berani Melarang Ibadah?

Tafsir surat Al-'Alaq ayat 13 dan 14

Tafsir Surat Al-'Alaq Ayat 13 dan 14: Berani-Beraninya Melarang Ibadah


Berikut ini adalah teks, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-'Alaq ayat 13 dan 14:
 

اَرَاَيْتَ اِنْ كَذَّبَ وَتَوَلّٰىۗ (13) اَلَمْ يَعْلَمْ بِاَنَّ اللّٰهَ يَرٰىۗ (14)
 

(13) Ara'aita in każżaba wa tawallā. (14) Alam ya‘lam bi'annallāha yarā. 
 

Artinya, "(13) Bagaimana pendapatmu kalau dia mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan)? (14) Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?"


Ragam Tafsir Surat Al-'Alaq Ayat 13 dan 14

Imam Al-Baghawi (wafat 510 H) menerangkan, orang yang mendustakan dalam ayat ini maksudnya adalah Abu Jahal, dia berpaling dari iman. Adapun makna ayat secara substansial adalah "Tahukah kamu orang yang melarang seorang hamba ketika mengerjakan shalat? Hamba yang  dilarang berada dalam kebenaran dan memerintahkan ketakwaan. Sedangkan orang yang melarang, ia mendustakan dan berpaling dari keimanan. Apa ada yang lebih mengherankan dari hal ini? Tidakkah Abu Jahal mengetahui bahwa Allah melihat perbuatannya, kemudian akan membalasnya?" (Muhammad bin Al-Farra' Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, [Bairut, Dar-Ihya' At-Thurats: 1420 H], juz V, halaman 282).


Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) mengatakan, ayat 13 dan 14: "ara'aita in każżaba wa tawallā, alam ya‘lam bi'annallāha yarā", bahwa ayat tersebut merupakan jumlah istifhamiyah atau pertanyaan yang menduduki maf'ul kedua dari lafal "ara'aita". Adapun maf'ul pertamanya dibuang, yaitu dhamir yang kembali pada isim maushul atau isim isyarah. Sehingga makna ayat ialah: "Apa pandanganmu kepada orang yang melarang (Abu Jahal), hai Muhammad, jika orang kafir ini mendustakan bukti-bukti yang sudah jelas dan memalingkan diri dari melayani penciptanya. Apakah dengan akalnya dia tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui perbuatan-perbuatan buruknya? Apakah hal tersebut tidak menjadikanya tercegah dari perbuatan-perbutan buruknya?" (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 455).
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili (wafat 2015 M) menjelaskan, ayat "ara'aita in każżaba wa tawallā" dengan makna: "Kabarkan kepada-Ku, hai Muhammad saw perihal seorang kafir, yakni Abu Jahal ini. Kalau dia mendustakan bukti-bukti ketauhidan yang jelas, semantara telah tampak dengan sangat jelas kekuasaan-Nya dan apa yang dibawa oleh Nabi, dan dia berpaling dari mengimani dakwahmu?" Yang menunjukkan jawabannya ialah ayat berikutnya: "Tidaklah dia mengetahui dengan akalnya bahwa Allah melihat perbuatan-perbuatan jeleknya? Sesungguhnya Allah akan membalas dan menghisab kejahatan-kejahatannya."


Syekh Wahbah menyatakan, pendapat seperti itu merupakan pendapat mayoritas mufasirin di mana khitab kata "ara'aita" dalam tiga tempat (yakni ayat 9, 11, dan 13) adalah Nabi Muhammad saw. Apabila khitabnya untuk orang kafir, maka maksudnya ayat "ara'aita" ke-3, yakni ayat 13, adalah "Jika Muhammad adalah orang yang mendustakan dan berpaling, apakah kamu tidak mengatahui bahwa penciptanya melihatnya sehingga akan melarangnya dan tidak membutuhkan pelaranganmu?"

 

Para ulama mengatakan, sekalipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu Jahal, namun semua orang yang melarang orang lain dari melakukan ketaatan kepada Allah, hukumnya sama dengan Abu Jahal, sama-sama mendapatkan ancaman sepertinya. Kemudian Allah akan mendatangkan peringatan dan ancaman dengan bentuk berbeda-beda dan yang lebih berat.


Pada ayat berikutnya, "alam ya‘lam bi'annallāha yarā", Syekh Wahbah menjelaskan: "Apakah orang yang melarang ini tidak mengetahui bahwa Allah melihatnya, mendengar perkatannya dan mengetahui tingkah lakunya, serta akan membalas perbuatan-perbuatanya dengan balasan yang sempurna? Bagaimana ia sampai berani kepadaNya?" (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, At-Tafsir Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 326).


Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi (wafat 606 H), ayat ini memang diturunkan terkhusus untuk Abu Jahal, namun ancamannya berlaku umum bagi siapa saja yang melarang orang lain berbuat ketaatan kepada Allah. Berikut penjelasan lengkapnya:


هَذِهِ الْآيَةُ وَإِنْ نَزَلَتْ فِي حَقِّ أَبِي جَهْلٍ فَكُلُّ مَنْ نَهَى عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ فَهُوَ شَرِيكُ أَبِي جَهْلٍ فِي هَذَا الْوَعِيدِ، وَلَا يَرُدُّ عَلَيْهِ الْمَنْعُ مِنَ الصَّلَاةِ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوبَةِ وَالْأَوْقَاتِ الْمَكْرُوهَةِ، لِأَنَّ الْمَنْهِيَّ عَنْهُ غَيْرُ الصَّلَاةِ وَهُوَ الْمَعْصِيَةُ، وَلَا يَرُدُّ الْمَوْلَى بِمَنْعِ عَبْدِهِ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ وَصَوْمِ التَّطَوُّعِ وَزَوْجَتِهِ عَنِ الِاعْتِكَافِ، لِأَنَّ ذَلِكَ لِاسْتِيفَاءِ مَصْلَحَتِهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ لَا بُغْضًا لِعِبَادَةِ رَبِّهِ


Artinya, "Ayat ini meskipun diturunkan tertentu untuk Abu Jahal, namun semua orang yang melarang ketaatan kepada Allah maka dia sekutu Abu Jahal dalam ancaman ini. Namun demikian seseorang tidak dilarang mencegah orang lain mengerjakan shalat di tempat ghasab dan mencegah shalat di waktu yang dimakruhkan, karena yang dilarang bukan shalatnya, melainkan maksiatnya. Tidak termasuk pula seorang majikan yang melarang budaknya dari qiyamul lail, berpuasa sunah, dan melarang istrinya i'tikaf. Karena semua itu untuk memenuhi kemaslahatan untuknya yang diizinkan Allah, bukan karena kenbencian atau ketidaksukaan terhadap ibadah kepada Allah." Wallahu 'alam. (Fahruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya’: 1420 H], juz XXXII, halaman 223).

 


Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo