Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah 211: Peringatan untuk Tidak Kufur pada Nikmat dan Kebesaran Allah

Kam, 21 Desember 2023 | 13:30 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah 211: Peringatan untuk Tidak Kufur pada Nikmat dan Kebesaran Allah

Al-quran. (Foto: NU Online/Freepik)

Berikut ini adalah teks, terjemahan, sabab nuzul dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat al-Baqarah ayat 211:


سَلْ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ كَمْ اٰتَيْنٰهُمْ مِّنْ اٰيَةٍ بَيِّنَةٍۗ وَمَنْ يُّبَدِّلْ نِعْمَةَ اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ


Sal banî isrâ'îla kam âtainâhum min âyatin bayyinah, wa man yubaddil ni‘matallâhi min ba‘di mâ jâ'at-hu fa innallâha syadîdul-‘iqâb


Artinya: “Tanyakanlah kepada Bani Israil, “Berapa banyak bukti nyata (kebenaran) yang telah Kami anugerahkan kepada mereka?” Siapa yang menukar nikmat Allah (dengan kekufuran) setelah (nikmat itu) datang kepadanya, sesungguhnya Allah Maha Keras hukuman-Nya”.


Ragam Tafsir Al-Baqarah 211

Ayat ini merupakan celaan dalam bentuk pertanyaan yang ditujukan kepada Bani Israil pada masa Nabi Muhammad saw atas banyaknya bukti nyata (tanda kebenaran) yang telah Allah berikan, baik berupa nikmat maupun ancaman yang ditujukan kepada mereka.


Prof  Quraisy Shihab, dalam tafsirnya menjelaskan betapa banyaknya tanda kebenaran yang telah diberikan kepada Bani Israil melalui nabi mereka maupun peristiwa yang mereka alami. Seperti diangkatnya bukit Thur di atas kepala mereka, sebagai ancaman, dan diturunkannya manna dan salwa dari langit sebagai nikmat.  Kemudian dari mereka ada yang bersyukur dan kufur terhadap nikmat yang telah diberikan. Di antara mereka yang melanggar ada yang jadikan kera dalam bentuk fisik dan sifatnya. Dan yang tidak mensyukuri nikmat, mendapatkan siksa.

Sebab ketetapan yang telah ditentukan yaitu “Barang siapa yang menukar nikmat Allah (dengan kekufuran) setelah (nikmat itu) datang kepadanya, sesungguhnya Allah Maha Keras hukuman-Nya”. (Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Juz I, hal 451).


Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk bertanya kepada Bani Israil terhadap tanda-tanda kebenaran yang datang kepada mereka. Adapun maksud dari pertanyaan pada ayat ini bukanlah bermaksud untuk meminta penjelasan kepada mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada nenek moyang mereka, sebab Nabi Muhammad telah mendapatkan pengetahuan dari Allah swt. Melainkan pertanyaan tersebut diajukan sebagai peringatan terhadap mereka yang berpaling dari tanda-tanda kekuasaan Allah swt.


Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari lafadz ayatin bayyinah atau “bukti kebenaran” memiliki dua makna:

  1. Maksud dari bukti kebenaran pada ayat di sini mengacu pada peristiwa besar yang terjadi pada masa nenek moyang mereka mulai dari mukjizat-mukjizat nabi Musa as yang mereka lihat dan rasakan seperti terbelahnya lautan, naungan awan, diturunkannya makanan manna dan salwa dari langit, diangkatnya gunung di atas mereka, dialog Allah dengan nabi Musa as, diturunkannya Taurat kepada mereka dan penjelasan atas hidayah dari kekufuran kepada mereka yang kesemuanya merupakan bukti-bukti kebenaran dari Allah swt.
  2. Maksud dari bukti kebenaran ialah telah banyaknya bukti atas kebenaran Nabi Muhammad saw yang dengannya dapat diketahui kebenaran syariat yang dibawa olehnya. (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, cet 1, [Beirut: Darul Fikr], juz VI, hal 3)


Adapun maksud dari “mengganti nikmat Allah” pada ayat ini, Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan maksud dari nikmat Allah itu juga memiliki dua kemungkinan: Pertama, nikmat Allah yang dimaksud ayat ini ialah tanda dan petunjuk dari-Nya yang merupakan bagian dari sebab hidayah dan keselamatan dari kesesatan. Dengan pendapat yang pertama ini, maka maksud dari “mengganti nikmat Allah” juga memiliki dua arti. 


Jika yang dimaksud ayatin bayyinah atau bukti kebenaran ialah mukjizat nabi Musa as, maka artinya ialah mereka mengganti nikmat Allah yang ditampakkan kepada mereka sebagai perantara hidayah bagi mereka dan menjadikannya kesesatan bagi mereka. Adapun jika maksud dari ayatin bayyinah ialah isi Taurat dan Injil berupa bukti kenabian Nabi Muhammad saw, maka artinya mereka mengganti nikmat Allah dengan mengganti, merubah dan memasukkan kesyubhatan di dalamnya.


Kedua, Nikmat Allah yang dimaksud ayat ini ialah pemberian dari Allah berupa kesehatan, keamanan dan kecukupan kepada mereka. Kemudian Allah mengganti kenikmatan dengan siksa sebab kekufuran yang mereka lakukan. (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, juz  VI, hal 3).


Dalam tafsirnya, Imam Nawawi Al-Bantani menjelaskan ayat ini merupakan peringatan yang ditujukan kepada Bani Israil yang ada di zaman Nabi saw. Bahwa jika mereka melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka yaitu mengufuri nikmat dan ayat Allah, maka akan bernasib sama seperti nenek moyang mereka yang mendapatkan siksa. (Al-Bantani, Marah Labid, Juz I, hal 49).


Adapun penjelasan Imam Nawawi Al-Bantani terkait maksud “mengganti nikmat Allah” adalah:


 وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَتْهُ أي ومن يغيّر آيات الله الباهرة الدالة على نبوة محمد صلّى الله عليه وسلّم بالكفر من بعد ما عرفها. أو المعنى ومن يغير دين الله وكتابه بالكفر من بعد ما جاء محمد به فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقابِ لمن كفر به


Artinya: “Barangsiapa yang mengganti nikmat Allah setelah datang kepadanya yakni barang siapa yang merubah tanda-tanda dari Allah yang menjelaskan kenabian Muhammad Saw dengan kekufuran setelah mengetahuinya. Atau maknanya ialah barangsiapa yang merubah agama Allah dan kitab-Nya dengan kekufuran setelah datangnya apa yang dibawa Nabi Muhammad maka sungguh Allah memiliki siksa yang sangat pedih terhadap orang yang mengufurinya”. (Al-Bantani, hal 49).


Kesimpulannya, meski secara khitab ayat ini ditujukan kepada Bani Israil pada zaman Nabi saw, namun secara makna, ayat ini bersifat umum kepada siapa saja, termasuk umat Islam. Ayat ini merupakan peringatan bahwa bagi siapa saja yang mengufuri nikmat dan tanda kebesaran Allah swt akan mendapatkan siksa dari-Nya. Wallahu a’lam


Alwi Jamalulel Ubab, Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah, Jakarta.