Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 210: Larangan Meremehkan Waktu untuk Melakukan Ketaatan kepada Allah

Ahad, 10 Desember 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 210: Larangan Meremehkan Waktu untuk Melakukan Ketaatan kepada Allah

Ilustrasi: Allah (NU Online).

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, sababun nuzul dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 210:
 

هَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيَهُمُ اللّٰهُ فِيْ ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَقُضِيَ الْاَمْرُۗ وَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُࣖ
 

Hal yandhurûna illâ ay ya'tiyahumullâhu fî dhulalim minal-ghamâmi wal-malâ'ikatu wa qudliyal-amr, wa ilallâhi turja‘ul-umûr.
 

Artinya: “Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu (pada hari Kiamat), kecuali kedatangan putusan Allah dalam naungan awan bersama malaikat (untuk melakukan perhitungan), sedangkan perkara (mereka) telah diputuskan. Kepada Allahlah segala perkara dikembalikan”.

 

Ragam Tafsir 

Ayat ini masih merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan peringatan kepada orang-orang beriman untuk masuk ke dalam agama Islam secara menyeluruh dan tidak mengikuti cara setan dalam menjerumuskan kepada kebatilan. Selain itu juga menjadi penjelasan bahwa Allah tidak akan segan untuk membalas siapapun yang tidak melaksanakan perintah-Nya setelah didatangkan kebenaran.
 

Pada ayat 210 ini, sebagaimana dijelaskan oleh Prof Quraisy Syihab, merupakan penutup dari ayat sebelumnya yang memiliki kandungan ancaman sekaligus mengisyaratkan adanya rahmat yang datang. Sebab siksa yang paling menyakitkan adalah yang datang saat penantian rahmat. Hal demikian diperuntukkan kepada orang-orang yang enggan bertobat dari penyimpangan yang mereka lakukan, sehingga kemudian kondisi seperti itu dilukiskan dengan pertanyaan yang pada dasarnya mengandung kecaman, “Apakah yang mereka nantikan hanya Allah yang datang bersama malaikat pada hari Kiamat dalam naungan awan?”. (Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Juz I, halaman 450).
 

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, dalam ayat ini Allah memberi peringatan kepada orang-orang yang kufur terhadap Nabi Muhammad saw dengan peringatan bahwa yang mereka tunggu-tunggu tak lain ialah saat datangnya hari Kiamat, saat di mana putusan hukum baik bagi orang-orang generasi awal maupun akhir dijatuhkan, sehingga setiap orang dibalas sesuai dengan amal masing-masing. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil 'Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wat Tauzi’: 1999 M/ 1420 H] juz I, halaman 566).
 

Disebutkan dari riwayat Abu Ja’far bin Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah, ketika hari Kiamat tiba, banyak dari kalangan umat manusia meminta syafaat kepada Nabi Adam dan nabi-nabi setelahnya, namun tidak ada yang menyanggupinya. Ketika sampai giliran Nabi Muhammad saw didatangi dan diminta syafaat, Nabi saw langsung menyanggupinya dengan berkata ‘ana laha’, ‘saya memilikinya’. Kemudian Nabi Muhammad pergi bersujud kepada Allah dan memberi syafaat atas izin Allah kepada hamba-hamba Allah. (Ibnu Katsir, I/576).
 

Terkait makna ‘al-ityan’ pada ayat di atas yang pada dasarnya dimaknai ‘kedatangan Allah’. Dalam hal ini, Abu Hayyan dalam tafsirnya menyebutkan beberapa pendapat. ‘Al-ityan’ melihat makna hakikatnya bermakna berpindah dari satu ruang ke ruang yang lain. 
 

Abu Salih meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menyebutkan makna lafal tersebut termasuk yang tersembunyi dan tidak dapat ditafsiri. Hal demikian dilakukan oleh kalangan ulama Salaf.
Sedangkan ulama muta’akhir memberikan takwil pada makna ‘al-ityan’ dan menyandarkannya pada beberapa pendapat:

  1. Makna ‘al-ityan’ dalam ayat ialah ‘al-ityan’ atau kedatangan yang layak bagi Dzat Allah, bukan makna berpindah.
  2. Lafal tersebut merupakan ungkapan dari balasan dan siksaan bagi mereka yang membangkang dari jalan Allah.
  3. Az-Zajjaj berkata: "Terdapat lafal yang menjadi ta’alluq bagi lafal ‘al-ityan’ yang kemudian dibuang, yang jika diartikan menjadi: “Allah mendatangkan apa yang telah Ia janjikan kepada mereka, baik pahala (bagi yang taat) maupun siksa (bagi yang membangkang”.
  4. Pada ayat di atas terdapat pembuangan mudhaf yakni ‘al-amru’, yang jika diartikan maksud kedatangan pada ayat di atas ialah kedatangan putusan hukum dari Allah.
  5. Abu Ya’la meriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata: "Maknanya ialah datangnya kuasa Allah".
  6. Lafal ‘fi dhulalin’ memiliki makna ‘bi dhulalin’, yang menjadi ta'addi dari lafal ‘al-ityan’ yang maknanya kemudian menjadi ‘Allah mendatangkan awan’.


Dari keenam pendapat tersebut Abu Hayyan cenderung memilih makna datangnya putusan dari Allah. Abu Hayyan berpendapat demikian didukung dengan ayat 33 surat An-Nahl ‘aw ya’tiya amru rabbik’, dan merupakan ungkapan atas kedahsyatan siksa Allah yang bertujuan untuk memberi peringatan kepada orang-rang yang kufur kepada-Nya. (Abu Hayyan, Al-Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Fikr: 1432 H/2010 M], juz II, halaman 343).
 

Adapun makna yang terkandung pada ayat “wa qudliyal-amr, wa ilallâhi turja‘ul-umûr”, pada intinya ialah penggambaran atas dahsyatnya ketakutan yang terjadi pada hari Akhir dan penjelasan bahwa pada saat itu tidak ada hakim yang akan memberi putusan kecuali Allah swt.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya berkata:
 

إنّ الله تعالى ملك عباده في الدنيا كثيرا من أمور خلقه فإذا صاروا إلى الآخرة فلا مالك للحكم في العباد سواه
 

Artinya: “Allah mengatur seluruh persoalan hamba-Nya ketika di dunia, dan ketika di akhirat tidak ada yang berhak memutuskan untuk hamba-hamba-Nya kecuali Allah”. (Al-Bantani, Marah Labid, Juz I, halaman 49).
 

Kesimpulannya, ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita sebagai hamba Allah untuk tidak meremehkan waktu yang telah diberikan oleh Allah untuk menjalankan perintah-Nya. Karena jika sudah tiba waktunya diputuskan nasib akhir manusia, maka akan datang penyesalan-penyesalan karena tidak memanfaatkan waktu untuk beramal ketika di dunia. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah, Jakarta.