Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 168-169: Pentingnya Memilih Makan Halal dan Sehat

Sen, 9 Januari 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 168-169: Pentingnya Memilih Makan Halal dan Sehat

Ilustrasi: Makanan (freepik - NU Online)

Berikut ini adalah teks, terjemahan, sababun nuzul dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 168-169: 

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ (168) اِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْۤءِ وَالْفَحْشَاۤءِ وَاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ (169)

 

(168) Yā ayyuhan-nāsu kulū mimmā fil-ardhi ḫalālan thayyibaw wa lā tattabi‘ū khuthuwātisy-syaithān, innahū lakum ‘aduwwum mubīn. (169) Innamā ya'murukum bis-sū'i wal-faḫsyā'i wa an taqūlū ‘alallāhi mā lā ta‘lamūn.



Artinya: “(168) Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi sehat dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata. (169) Sesungguhnya (setan) hanya menyuruh kamu untuk berbuat jahat dan keji serta mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
 

 


Sababun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 168-169

Imam Al-Alusi Al-Baghdadi (wafat 1854 M) menyebutkan riwayat tentang sababun nuzul ayat 168 sebagai berikut:
 


نزلت فى المشركين الذين حرموا على أنفسهم البحيرة والسائبة والوصيلة والحام- كما ذكره ابن جرير وابن عباس رضي الله عنهما. وقيل: فى عبد الله بن سلام وأضرابه حيث حرموا على أنفسهم لحم الإبل لما كان حراما فى دين اليهود. وقيل: فى قوم من ثقيف وبنى عامر بن صعصعة وخزاعة وبنى مدلج حيث حرموا التمر والأقط على أنفسهم

 

Artinya: “Ayat ini turun untuk kaum musyrikin yang mengharamkan untuk diri mereka memakan unta bahirah, saibah, wasilah dan ham—sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas ra—. Dikatakan, ayat tersebut turun untuk Abdullah bin Salam dan golongannya ketika mereka mengharamkan daging unta sebagaimana sebelumnya daging tersebut juga dihukumi haram dalam agama Yahudi. Dikatakan, turun untuk kaum dari Tsaqif, Bani Amir bin Sha’sha’ah, Khuza’ah dan Bani Mudlij yang mengharamkan kurma dan susu (yogurt) untuk diri mereka (Mahmud Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, [Beirut, Ihyaut Turats Al-Arabi], juz II, halaman 38).
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 168-169

Syekh Nawawi Banten (1897 M) dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari lafal “yā ayyuhan-nāsu”, bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang yang mengharamkan unta saibah, wasilah, dan bahirah dari Bani Tsaqif, Bani Amir bin Sha’sha’ah, Khuza’ah dan Bani Mudlij. Adapun makna “kulū mimmā fil-ardhi ḫalālan thayyiba”, ialah makanlah sebagian (makanan) di bumi dari tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak yang halal lagi sehat, sekiranya makanan tersebut tidak memiliki hubungan dengan hak orang lain. 
 


Terkait makna “wa lā tattabi‘ū khuthuwātisy-syaithān”, maksudnya janganlah kalian mengikuti godaan-godaan setan dalam mengharamkan tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak.  “Innahū lakum ‘aduwwum mubīn” maknanya ialah setan merupakan makhluk yang secara terang-terangan memusuhi, bagi mereka yang melihat dengan hati.
 


Syekh Nawawi menjelaskan maksud ayat “innamā ya'murukum bis-sū'i wal-faḫsyā'i” ialah setan yang hanya memerintah untuk melakukan keburukan dan kejahatan. Dalam hal ini Syekh Nawawi memaknai lafal “as-su’i” dengan makna keburukan dari dosa-dosa yang tidak memiliki hukum had di dalamnya. Sedangkan lafal “al-faḫsyā'” ialah kemaksiatan yang memiliki hukum had
 


Dalam memaknai penggalan ayat “wa an taqūlū ‘alallāhi mā lā ta‘lamūn”, Syekh Nawawi menjelaskan, maksudnya ialah setan juga memerintahkan mereka untuk melakukan kebohongan atas nama Allah dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui, bahwa Allah mengharamkan ini dan itu”. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil, juz I, halaman 39).
 

 

Dalam adat Jahiliyah istilah bahirah, saibah, wasilah dan ham merupakan istilah bagi beberapa hewan yang dianggap istimewa. Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan:
 


كان أهل الجاهلية إذا أنتجت الناقة خمسة أبطن أخرها ذكر بحروا أذنها أي شقوها وحرموا ركوبها وهي البحيرة، وكان الرجل يقول: إذا قدمت من سفري أو برئت من مرضي فناقتي سائبة، وجعلها كالبحيرة في تحريم الإنتفاع بها، وإذا ولدت الشاة أنثى فهي لهم وإن ولدت ذكرا فهو لألهتهم وإن ولدت ذكرا وأنثى قالوا وصلت أخاها وهي الوصيلة، وإذا أنتجت من صلب الفحل عشرة أبطن قالوا قد حمي ظهره وهو الحام. فلما جاء الإسلام أبطل هذه العادات كلها فلا بحيرة ولا سائبة ولا وصيلة ولا حام

 

Artinya: “Dulu, masyarakat Jahiliyah ketika menemukan unta yang telah melahirkan anak 5 kali, sedangkan yang terakhir ialah jantan, maka mereka memotong telinganya dan mengharamkan untuk menungganginya. Unta tersebut dinamakan dengan istilah bahirah. Jika seseorang berkata: “Jika aku sampai dari bepergianku atau sembuh dari penyakitku maka untaku saibah (terbebas)”. Mereka menjadikannya (unta nazar itu)  sama seperti halnya bahirah dalam diharamkannya untuk diambil manfaatnya. Jika seekor kambing melahirkan anak betina, maka anak tersebut diperuntukkan untuk mereka; jika jantan untuk tuhan mereka; dan jika melahirkan anak kembar jantan dan betina mereka berkata: “Dia bersambung dengan saudara jantannya”. Kambing ini disebut dengan wasilah. Jika satu pejantan menghamili 10 betina mereka berkata, “Telah terjaga punggungnya”; dan pejantan itu dinamakan dengan istilah ham. Setelah Islam datang, seluruh adat tersebut dihilangkan.” (Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwatut Tafasir, [Beirut, Darul Qur’an al-Adzim: 1981 M/1402 H] juz I, halaman 369).
 


Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat “yā ayyuhan-nāsu kulū mimmā fil-ardli ḫalālan thayyiba” ini pernah dibaca di sisi Nabi Muhammad saw. Kemudian Saad bin Abi Waqash berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menjadikanku orang yang diijabah doanya”. Nabi Muhammad bersabda: “Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu maka engkau akan menjadi orang yang diijabah doanya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, sungguh seseorang yang memasukkan satu suapan haram dalam perutnya maka amal ibadahnya tidak diterima selama 40 hari, dan sungguh hamba yang dagingnya tumbuh dari sesuatu yang haram dan riba maka api lebih utama untuknya”. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah linnasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H], juz I, halaman 478).

 


Imam At-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan, ayat “wa an taqūlū ‘alallāhi mā lā ta‘lamūn” memiliki korelasi dengan ayat 103 surat Al-Maidah. Keduanya menjelaskan bagaimana Allah mengabarkan bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang muysrik dalam mengharamkan sesuatu (yang di sebut dalam ayat 103 Al-Maidah meliputi bahirah, saibah, wasilah dan ham) atas nama Allah adalah sebuah dusta yang diperintahkan oleh setan. Yang mereka lakukan itu adalah mengikuti setan dan nenek moyang mereka yang sesat. Allah tidak mengharamkannya untuk mereka, melainkan malah menghalalkannya dan menganggapnya baik. (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Tafsir At-Thabari min Jami’il Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, [Beirut, Muassasah ar-Risalah: 1994 M/ 1415 H), juz I, halaman 459).

 


Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.