Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 222: Hukum yang Berkaitan dengan Wanita Haid
Jumat, 19 Juli 2024 | 18:00 WIB
M Ryan Romadhon
Kolomnis
Nabi Muhammad Saw pernah ditanya tentang hukum haid, pada saat itu kaum Yahudi berkata bahwa setiap orang yang menyentuh wanita yang sedang haid menjadi najis. Mereka pun memperlakukan wanita yang haid dengan sangat ketat dengan memisahkannya pada saat makan, minum, dan tidur.
Sebaliknya, kaum Nasrani pada waktu itu sangat meremehkan urusan haid, mereka tidak membedakan antara haid dan tidak. Adapun bangsa Arab pada masa Jahiliyah memperlakukan sama seperti kaum Yahudi dan Majusi, mereka tidak mau tinggal serumah dengan perempuan yang haid dan tidak mau makan bersama. Tradisi-tradisi ini mengundang pertanyaan tentang hukum mencampuri wanita pada saat haid. Maka Allah Swt menjawab pertanyaan mereka dalam surat al-Baqarah ayat 222.
Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
wa yas'alûnaka ‘anil-maḫîdl, qul huwa adzan fa‘tazilun-nisâ'a fil-maḫîdli wa lâ taqrabûhunna ḫattâ yath-hurn, fa idzâ tathahharna fa'tûhunna min ḫaitsu amarakumullâh, innallâha yuḫibbut-tawwâbîna wa yuḫibbul-mutathahhirîn
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Sababun Nuzul
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir memaparkan sebuah riwayat dari Imam Muslim dan Imam Tirmidzi yang meriwayatkan dari Anas bin Malik:
أن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة منهم، لم يؤاكلوها ولم يجامعوها في البيوت، فسأل الأصحاب رسول الله ﷺ عن ذلك، فأنزل الله: ﴿وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ﴾ الآية، فقال: اصنعوا كل شيء إلا النكاح
Artinya: “Di kalangan kaum Yahudi, dulu ada kebiasaan kalau seorang wanita dari kalangan mereka haid, mereka tidak mau menemaninya makan ataupun menggaulinya di dalam rumah. Para sahabat lantas bertanya pada Rasulullah Saw tentang kebiasaan itu, maka Allah swt. menurunkan firman-Nya, وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۗ, kemudian Rasulullah bersabda, "Lakukanlah apa pun selain jimak." (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1991 M], juz II, hal. 298).
Ragam Tafsir
Secara garis besar, surat Al-Baqarah ayat 222 ini mengandung bahasan utama mengenai hukum-hukum yang terkait pada seorang wanita yang sedang mengalami haid. Baik mengenai bagian tubuh mana yang diharamkan untuk digauli, batas waktu keharaman menggauli wanita haid, maupun hukuman bagi suami yang menggauli istrinya saat haid.
Menurut Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya, orang yang bertanya tentang haid dalam ayat ini adalah adalah Tsabit bin Ad-Duhdah. Pendapat ini beliau kutip dari Imam Thabari dan as-Suddi. Namun, menurut satu pendapat, orang yang bertanya itu adalah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr. Pendapat inilah yang dipegang oleh kalangan mayoritas ulama.
Menurut Qatadah dan yang lainnya, lanjut Qurthubi, hal yang menyebabkan pertanyaan tersebut adalah karena pada waktu itu, orang-orang Arab Madinah dan sekitarnya mengikuti tradisi kaum Bani Israil yang tidak makan dan tinggal serumah dengan wanita yang sedang haid, sehingga turunlah ayat ini. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1964], juz II, hal. 80-81).
Bagian yang Haram Digauli
Syekh Wahbah Zuhaili mengatakan, ayat ini menunjukkan wajibnya menghindari persetubuhan dengan istri yang sedang haid, sebab Allah dalam ayat ini berfirman dengan menggunakan bentuk perintah (amr), sedangkan perintah (amr) menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan.
Lebih jauh, Syekh Wahbah juga mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh istri yang haid mana yang harus dihindari oleh suami. Dalam perbedaan ini, mereka terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, suami harus menghindari seluruh badan istri, karena Allah memerintahkan lelaki menjauhkan diri dari wanita yang haid, dan Allah tidak mengkhususkan bagian mana yang harus dijauhi. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan ‘Abidah as-Salmani. Ini adalah pendapat yang syadz, yang menyimpang dari pandangan mayoritas ulama. Meskipun pendapat ini sejalan dengan keumuman ayat ini, namun ada hadits sahih yang bertentangan dengannya.
Kedua, bagian yang harus dihindari adalah tempat keluarnya darah. Ini adalah pendapat mazhab Hanbali. Ibnu Jarir ath-Thabari menuturkan dari Masruq Ibnul Ajda':
قلت لعائشة: ما يحلّ للرجل من امرأته إذا كانت حائضا؟ قالت: «كل شيء إلا الجماع
Artinya: “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, 'Apa yang boleh dilakukan suami terhadap istrinya yang sedang haid?’ Ia menjawab, "semuanya boleh, kecuali jimak."
Ini sesuai dengan hadits terdahulu, dan dikuatkan dengan sebuah hadits,
أنَّ رَسُوْلَ اللّهِ ﷺ كَانَ يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ وَهُنَّ حِيَضٌ
Artinya: “Rasulullah dulu mencumbu istri-istrinya meskipun mereka sedang haid."
Dari sini dapat dimengerti bahwa suami diperintahkan menjauhi sebagian tubuh istrinya, sedang sebagian lain boleh dijamah dan dicumbu.
Ketiga, suami harus menjauhi bagian tubuh antara pusar dan lutut. Artinya, ia boleh mencumbu bagian yang terletak di atas batas sarung. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Adapun dalilnya adalah sabda Rasulullah saw. kepada seseorang yang menanyai beliau “Apa yang boleh saya lakukan terhadap istri saya ketika ia haid?", beliau menjawab,
لتشدّ عليها إزارها، ثم شأنك بأعلاها
Artinya: "Hendaknya kau pakaikan sarung padanya, kemudian kau boleh mencumbu bagian atas tubuhnya.”
Juga sabda beliau saw. kepada Aisyah,
شدّي على نفسك إزارك، ثم عودي إلى مضجعك
Artinya: “Pakailah sarungmu, kemudian kembalilah ke tempat pembaringan.”
Aisyah ra. juga pernah berkata, “Apabila salah seorang dari kami (para istri Nabi saw.) sedang haid, beliau saw. menyuruhnya mengenakan sarung kemudian beliau menggaulinya." (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir..., juz II, hal. 301-302).
Batas Larangan Menggauli Wanita Haid
Syekh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa dalam frasa; وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَۚ menunjukkan bahwa keharaman jimak pada waktu haid berlaku hingga masa haid berakhir. Lebih jauh, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai batas waktu haram menggauli wanita haid. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok pendapat:
- Abu Hanifah berpendapat bahwa istri boleh disetubuhi apabila darah haid sudah berhenti meskipun ia belum mandi. Kalau darahnya sudah berhenti setelah lewat masa haid terpendek, ia tidak boleh disetubuhi sebelum lewat waktu satu shalat. Tapi jika darahnya berhenti sesudah lewat masa haid terpanjang, ia halal untuk disetubuhi.
- Jumhur ulama berpendapat bahwa istri tidak boleh disetubuhi sebelum darah haid berhenti dan telah mandi junub.
- Thawus dan Mujahid berpendapat bahwa ia sudah boleh disetubuhi asalkan sudah berwudhu. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir..., juz II, hal. 302).
Hukuman bagi Suami
Ada dua pendapat di kalangan para ulama mengenai hukuman bagi suami yang menyetubuhi istri yang sedang haid.
Pertama, menurut jumhur ulama, seorang yang melanggar cukup dengan berisitigfar memohon ampunan kepada Allah, tidak ada hukuman lain atasnya karena hadits dari lbnu Abbas dalam masalah ini statusnya mudhtharib, dan hadits yang demikian tidak bisa dijadikan hujjah.
Selain itu, manusia pada dasarnya bebas dari tanggungan atas hak orang lain, baik orang miskin maupun orang kaya tidak diwajibkan menanggung hukuman/denda apa pun kecuali jika ada bukti yang kuat bahwa orang tersebut telah melakukan kesalahan. Jadi, tidak boleh mengklaim atau menuduh seseorang punya kewajiban atas hak orang lain, kecuali jika dia bisa menunjukkan bukti yang kuat.
Kedua, menurut mazhab Hanbali, seorang yang melanggar harus bersedekah satu dinar jika persetubuhan dilakukannya pada masa awal haid, dan setengah dinar jika hal itu dilakukannya pada masa akhir haid. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daraquthni dari lbnu Abbas,
يتصدق بدينار، أو نصف دينار
Artinya: "Hendaknya ia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.”
Dalam kitab Tirmidzi, riwayatnya berbunyi,
إن كان دما أحمر فدينار، وإن كان دما أصفر فنصف دينار
Artinya: "Kalau darah haidnya merah, hendaknya ia bersedekah satu dinar; tapi kalau warnanya kuning hendaknya ia bersedekah setengah dinar."
Sedekah ini mustahab (sunnah) hukumnya menurut Thabari dan mazhab Syafi'i. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir..., juz II, hal. 302-303).
Syekh Wahbah juga mengatakan bahwa dalam frasa, فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُۗ mengisyaratkan bahwa syariat memerintahkan umat Islam agar menikah dan melarang mereka menjalani cara hidup rahbâniyyah (kerahiban/kependetaan). Jadi, seorang muslim tidak boleh meninggalkan pernikahan dengan niat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt karena Dia telah menganugerahi kita dengan dibolehkannya menikah. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir..., juz II, hal. 304).
Di akhir ayat ini, Allah menutupnya dengan kalimat:
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Menurut Imam Qurthubi, terjadi silang pendapat tentang yang dimaksud dari firman Allah ini. Menurut satu pendapat, maksudnya adalah orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa dan kemusyrikaan serta orang-orang yang mensucikan diri dengan air dari junub dan hadats. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Atha' dan yang lainnya.
Adapun menurut Imam Mujahid, maksudnya adalah orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa. Menurut pendapat yang lain, maknanya adalah orang-orang yang menyucikan diri lagi tidak berdosa. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi..., juz II, hal. 91).
Walhasil, dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat 222 dalam surat al-Baqarah ini mengandung bahasan utama mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita haid, baik mengenai bagian tubuh mana yang diharamkan untuk digauli, batas waktu keharaman menggauli wanita haid, maupun hukuman bagi suami yang menggauli istri saat haid. Wallahu a’lam.
M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Alasan NU Tidak Terapkan Kalender Hijriah Global Tunggal
2
Khutbah Jumat: Bersihkan Diri, Jernihkan Hati, Menyambut Bulan Suci
3
Khutbah Jumat: Sambut Ramadhan dengan Memaafkan dan Menghapus Dendam
4
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Amalan Persiapan kangge Mapag Wulan Ramadhan
5
Khutbah Jumat: Optimisme Adalah Kunci Kesuksesan
6
Hukum Trading Crypto dalam Islam: Apakah Crypto Menguntungkan atau Berisiko?
Terkini
Lihat Semua