Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 275: Jual Beli Halal, Kenapa Riba Haram?
NU Online · Rabu, 9 Oktober 2024 | 13:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Jual beli merupakan aktivitas penting dalam kehidupan manusia karena berperan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjaga stabilitas ekonomi. Setiap orang sering kali membutuhkan barang atau jasa yang tidak dimilikinya, tetapi dimiliki oleh orang lain.
Contoh sederhana, seorang petani membutuhkan pakaian dari penjahit, sedangkan penjahit memerlukan bahan pangan dari petani. Tanpa adanya transaksi jual beli, pemenuhan kebutuhan tersebut akan sulit tercapai karena masing-masing pihak cenderung mempertahankan apa yang mereka miliki.
Karena itu, jual beli menjadi solusi yang efektif karena memungkinkan pertukaran barang atau jasa dengan prinsip kesepakatan yang adil. Pertukaran ini bisa dilakukan dengan menggunakan uang ataupun barang lainnya sebagai imbalan yang setara. Adanya jual beli, kedua belah pihak dapat memperoleh manfaat yang diharapkan dan memenuhi kebutuhan masing-masing.
Secara etimologis, menurut kata al-bai' (jual beli) diambil dari kata al-bā' yang berarti setiap pihak yang bertransaksi saling mengulurkan tangan satu sama lain untuk mengambil dan memberikan barang atau uang.
Baca Juga
Hukum Komplain dalam Jual Beli
Jual beli juga dikenal dengan istilah al-mubāya'ah, yang bermakna saling berjabat tangan. Penggunaan istilah ini mengandung makna bahwa ketika terjadi kesepakatan jual beli, kedua belah pihak biasanya berjabat tangan sebagai tanda terjadinya transaksi.
Karena itu, transaksi jual beli juga disebut sebagai shafqah, yaitu interaksi yang menandakan kesepakatan antara dua pihak. (Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Syarhu Muntahal Iradat, jilid VI, halaman 2).
Dari perspektif hukum Islam, jual beli hukumnya dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama atau ijma'. Kebolehan jual beli juga berdasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 275, yang menyatakan:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Artinya, "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba'.
Tafsir Al-Misbah
Prof Quraish Shihab menjelaskan, jual beli dalam Islam dihalalkan karena sifat transaksinya yang berbeda dengan riba. Jual beli adalah transaksi yang melibatkan usaha dan aktivitas dari kedua belah pihak yang terlibat, serta memberikan manfaat yang seimbang bagi keduanya.
Keuntungan yang diperoleh dari jual beli berasal dari kerja manusia dan pengelolaan yang baik, sehingga transaksi ini mengandung risiko untung maupun rugi, tergantung pada keahlian dan situasi pasar. (Tafsir Al-Misbah, [Ciputat, Penerbit Lentera Hati: 2002], jilid I, halaman 593).
Sebaliknya, riba adalah praktik yang justru memberikan keuntungan sepihak bagi pemilik modal. Dalam riba, keuntungan didapatkan hanya dari berjalannya waktu, tanpa adanya kontribusi nyata dari kerja, usaha, atau keahlian manusia.
Ketika seseorang memberikan pinjaman dengan mengambil bunga (riba), dia tidak memberikan nilai tambah terhadap usaha pihak yang meminjam. Ini menimbulkan ketidakadilan karena keuntungan yang diperoleh tidak seimbang dengan pengorbanan yang diberikan.
Lebih jauh, riba diharamkan karena sifatnya yang merugikan salah satu pihak dan hanya menguntungkan pemberi pinjaman. Keuntungan dari riba diperoleh tanpa usaha atau kerja nyata, melainkan dari waktu yang terus berjalan, sehingga pihak peminjam selalu dirugikan.
Tidak seperti jual beli yang terpengaruh oleh kondisi pasar dan keahlian, riba memberikan jaminan keuntungan bagi pemberi pinjaman tanpa memperhatikan situasi ekonomi. Ini adalah perbedaan mendasar antara jual beli dan riba menurut pandangan Islam. (275).
Perbedaan mencolok lainnya adalah jual beli selalu mengandung unsur risiko dan ketidakpastian, baik berupa keuntungan maupun kerugian. Kondisi ini tentu menuntut kemampuan, kepandaian, serta kejelian dalam mengelola usaha dan memahami kondisi pasar. Orang yang terlibat dalam jual beli harus siap menghadapi risiko pasar, fluktuasi harga, dan kemungkinan kerugian.
Sebaliknya, riba menjamin keuntungan bagi pemberi pinjaman, tanpa memperhatikan kondisi pasar atau kemampuan usaha dari pihak yang berutang. Ini menjadikan riba bebas dari risiko, dan keuntungan yang didapat oleh pemberi pinjaman tidak terpengaruh oleh kondisi usaha dari pihak peminjam. (276)
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad saw bersabda:
عَنْ عَمْرُو ابْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ. رواه الترميذي والنسائي
Artinya, "Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli memiliki hak untuk memilih (melanjutkan atau membatalkan transaksi) selama keduanya belum berpisah, kecuali jika jual beli tersebut dilakukan dengan kesepakatan tanpa khiyar (pilihan). Dan tidak halal bagi salah satu dari keduanya untuk berpisah dari yang lain karena khawatir rekannya akan meminta pembatalan transaksi." (HR At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).
Tafsir At-Thabari
Menurut Imam At-Thabari surat Al-Baqarah ayat 275 adalah firman Allah yang menghalalkan keuntungan dari perdagangan dan jual beli, tetapi mengharamkan riba. Di sini, Allah menerangkan perbedaan antara keuntungan yang dihasilkan dari transaksi jual beli dan tambahan yang berasal dari penundaan pembayaran utang.
Tambahan yang dimaksud adalah imbalan yang diberikan pemilik harta kepada peminjam akibat dari keterlambatan pelunasan atau perpanjangan jatuh tempo. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan dari transaksi yang sah dibenarkan, sementara riba yang muncul dari penundaan pembayaran itu terlarang.
Allah swt menegaskan bahwa tidak ada kesetaraan antara kedua jenis tambahan ini. Tambahan dari jual beli yang merupakan hasil usaha dan modal yang diputar oleh pedagang untuk menjual barang dengan harga lebih tinggi adalah sesuatu yang dihalalkan, sedangkan tambahan dari riba yang diperoleh melalui penundaan pembayaran adalah sesuatu yang diharamkan. Ketentuan ini merupakan keputusan yang ditetapkan oleh Allah sebagai Sang Pencipta.
قال أبو جعفر: يعني جل ثناؤه: وأحلّ الله الأرباح في التجارة والشراء والبيع "وحرّم الربا"، يعني الزيادةَ التي يزاد رب المال بسبب زيادته غريمه في الأجل، وتأخيره دَيْنه عليه. يقول عز وجل: فليست الزيادتان اللتان إحداهما من وَجه البيع، والأخرى من وجه تأخير المال والزيادة في الأجل، سواء. وذلك أنِّي حرّمت إحدى الزيادتين وهي التي من وجه تأخير المال والزيادة في الأجل وأحللتُ الأخرى منهما، وهي التي من وجه الزيادة على رأس المال الذي ابتاع به البائع سلعته التي يبيعها، فيستفضلُ فَضْلها
Artinya, "Abu Ja'far berkata: "Allah swt maksudnya berfirman: "Dan Allah menghalalkan keuntungan dalam perdagangan, pembelian, dan penjualan dan mengharamkan riba, yaitu tambahan harta yang diberikan kepada pemilik modal akibat penambahan waktu pelunasan yang dilakukan oleh debitor, serta keterlambatan pembayaran utangnya.
Allah berfirman: "Maka tidaklah dua tambahan itu, yang satu berasal dari jual beli dan yang lainnya berasal dari penundaan pembayaran dan penambahan dalam tenggang waktu, adalah sama. Itu karena Aku mengharamkan salah satu dari kedua tambahan tersebut, yaitu yang berasal dari penundaan pembayaran dan penambahan dalam tenggang waktu, dan menghalalkan yang lainnya, yaitu yang berasal dari tambahan pada pokok modal yang digunakan penjual untuk membeli barang yang dijualnya, sehingga ia mendapatkan kelebihan dari penjualannya." (Jami'ul Bayan, (Makkah, Darul Tarbiyah wa Turats: tt), jilid VI, halaman 13).
Tafsir Al-Qurthubi
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa surat Al-Baqarah ayat 275 memuat dua konsep utama dalam ekonomi Islam, yaitu jual beli yang diperbolehkan dan riba yang dilarang.
Dalam ayat tersebut, Allah berfirman: وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ, yang menegaskan peraturan yang jelas dalam syariat-Nya mengenai transaksi yang dapat dilakukan oleh umat manusia. Jual beli merupakan aktivitas yang diakui dan dibenarkan oleh Allah, sedangkan riba adalah praktik yang diharamkan. (Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyah: 1963], jilid III, halaman 356).
Penjelasan ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang benar tentang prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Jual beli, sebagai bentuk interaksi ekonomi yang sah, berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, riba dihindari karena dapat menyebabkan ketidakadilan dan eksploitasi dalam transaksi. Dengan demikian, pemisahan yang jelas antara aktivitas yang diperbolehkan dan yang dilarang ini menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan transaksi keuangan sesuai dengan ajaran syariat.
Huruf alif dan lam pada kata الْبَيْعَ berguna untuk keterangan jenis, karena tidak
ada penyebutan kata ini sebelumnya yang dapat dijadikan sandaran tempat kembalinya, sebagaimana yang terdapat pada firman Allah:
وَالْعَصْرِۙ، اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
Artinya, "Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian."
Kata الْاِنْسَانَ pada ayat di atas adalah untuk keterangan jenis, yang kemudian dikhususkan dengan pengecualian oleh lanjutan ayat:
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ
Artinya, "Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran."
Kata بَيْعَ (jual beli) dalam bahasa Arab adalah bentuk dari kata yang berarti "membeli." Artinya, membeli ini melibatkan penyerahan sesuatu dan penggantiannya. Karena itu, jual beli memerlukan adanya seorang pemilik barang yang disebut penjual, dan dalam istilah lain, dia juga dapat disebut dengan sebutan lain yang sepadan dengan makna penjual.
Jual beli juga memerlukan adanya seorang pemilik uang yang disebut pembeli, atau istilah lain yang serupa dengan makna pembeli. Selain itu, jual beli memerlukan adanya suatu barang berharga yang disebut barang dagangan, atau barang sejenis lainnya, yang ingin ditukarkan dengan sejumlah uang. Dengan demikian, rukun jual beli terdiri dari empat perkara, yaitu: penjual, pembeli, harga (uang), dan benda (barang) yang diperjualbelikan.
الْبَيْعُ فِي اللُّغَةِ مَصْدَرُ بَاعَ كَذَا بِكَذَا، أَيْ دَفَعَ عِوَضًا وَأَخَذَ مُعَوَّضًا. وَهُوَ يَقْتَضِي بَائِعًا وَهُوَ الْمَالِكُ أَوْ مَنْ يُنَزَّلُ مَنْزِلَتَهُ، وَمُبْتَاعًا وَهُوَ الَّذِي يَبْذُلُ الثَّمَنَ، وَمَبِيعًا وَهُوَ الْمَثْمُونُ وَهُوَ الَّذِي يُبْذَلُ فِي مُقَابَلَتِهِ الثَّمَنُ. وَعَلَى هَذَا فَأَرْكَانُ الْبَيْعِ أَرْبَعَةٌ: الْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ وَالثَّمَنُ وَالْمُثَمَّنُ.
Artinya, "Jual beli dalam bahasa adalah berasal dari bentuk masdar, dari ba'a (بَاعَ), yang berarti membeli ini dengan itu, yakni menyerahkan sesuatu dan mengambil penggantinya. Jual beli ini memerlukan empat unsur: penjual, yaitu pemilik atau orang yang dianggap setara dengannya; pembeli, yaitu yang memberikan harga; harga, yaitu yang dibayarkan; dan barang yang diperjualbelikan, yaitu yang diberikan sebagai imbalan dari harga. Dengan demikian, maka rukun jual beli ada empat: penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjualbelikan." (357).
Imam Al-Qurthubi juga mengatakan, setiap akad atau transaksi yang mengandung unsur riba harus dibatalkan dan tidak boleh dilanjutkan. Karena riba adalah salah satu bentuk ketidakadilan dalam mu'amalah yang diharamkan dalam Islam.
Prinsip ini ditegaskan dalam berbagai dalil, salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengenai larangan riba dalam jual beli kurma. Nabi saw bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: جَاءَ بِلَالٌ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ أَيْنَ هَذَا؟ فَقَالَ بِلَالٌ: مِنْ تَمْرٍ كَانَ عِنْدَنَا ردئ، فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِمَطْعَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: أَوْهِ عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ
Artinya, "Dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata: "Bilal datang membawa kurma jenis Barni. Rasulullah bertanya kepadanya: 'Dari mana ini?' Bilal menjawab: 'Ini dari kurma yang ada pada kami yang kualitasnya rendah. Aku menjual dua sha' dari kurma tersebut dengan satu sha' kurma Barni (yang berkualitas tinggi) untuk makanan Nabi saw.' Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda: "Oh, ini adalah riba yang nyata! Jangan lakukan itu. Jika engkau ingin membeli kurma, maka juallah (kurma yang rendah kualitasnya) dengan harga yang pantas, kemudian belilah (kurma yang baik) dengan hasil penjualan tersebut." (HR Muslim).
Dengan demikian, surat Al-Baqarah ayat 275 secara jelas menyatakan bahwa jual beli diperbolehkan, sedangkan riba dilarang. Artinya, Islam menganggap jual beli sebagai cara yang sah untuk mencari rezeki selama tidak ada unsur penipuan, manipulasi, atau merugikan pihak lain. Beda halnya dengan riba yang jelas-jelas diharamkan.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung
Terpopuler
1
Beasiswa PBNU ke Maroko 2025 Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya
2
Psikolog: Pembinaan Karakter Berbasis Militer ala Gubernur Jabar Bukan Solusi Tepat Atasi Anak Nakal
3
Bahtsul Masail NU: Haram Hukumnya Mengeluarkan Isu Tuduhan Perusahaan Terafiliasi Israel Tanpa Bukti Konkret
4
Innalillahi, Pengasuh Pesantren Alfadllu wal Fadhilah Kendal Gus Alam Wafat
5
KH Miftachul Akhyar Terangkan Amal yang Diterima dan Balasannya di Dunia
6
Hakikat Ansor adalah Menolong, Hakikat Banser adalah Siaga
Terkini
Lihat Semua