Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62: Keyakinan Ahli Kitab dan Shabi'in
Jumat, 8 November 2024 | 16:00 WIB
Muhammad Tantowi
Kolomnis
Pernyataan 'semua agama benar' seakan masih terus berulang dan tidak hilang dari wacana keagamaan masyarakat Indonesia. Dalil yang menjadi landasan untuk menguatkan pernyataan tersebut di antaranya adalah firman Allah yang terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 62.
Berikut teks ayat, transliterasi dan terjemahnya:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
innalladzîna âmanû walladzîna hâdû wan-nashârâ wash-shâbi'îna man âmana billâhi wal-yaumil-âkhiri wa ‘amila shâliḫan fa lahum ajruhum ‘inda rabbihim, wa lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yaḫzanûn
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati."
Menurut Imam At-Thabari, dengan mengutip riwayat dari Mujahid, ayat ini turun ketika Salman Al-Farisi bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kaum Nasrani dengan segala amal mereka. Kemudian Nabi menjawab : 'Mereka tidak mati dalam keadaan Islam'. Mendengar pernyataan ini, Salman Al-Farisi merasakan kegelapan di bumi sambil menyebutkan ijtihad kaum Nasrani. Ayat ini kemudian turun dan Nabi menegaskan:
مَنْ مَاتَ عَلَى دِيْن عِيْسَى وَمَنْ مَاتَ عَلَى دِيْنِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ أَنْ یَسْمَعَ بِیْ فَهُوَ عَلَی خَيْرٍ وَمَنْ سَمِعَ بِى الْيَوْمَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِیْ فَقَدْ هَلَكَ
Artinya: "Barangsiapa mati dengan berpegang pada agama Isa dan barangsiapa mati dengan berpegang pada agama Islam sebelum ia mendengarku, maka dia di atas kebaikan. Dan barangsiapa mendengarku pada hari ini sedangkan dia tidak beriman kepadaku, maka dia benar-benar hancur." (Abu Ja'far Muhammad Bin Jarir at-Thabari, Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an, [Turki: Dar Hijr Publishing, 2011], Jilid II, hal. 45).
Senada dengan At-Thabari, Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi dalam Tafsir Al-Qur'anil ‘Adhim mengutip As-Suddi menjelaskan secara gamblang, bahwa standar keimanan orang Yahudi adalah ketika dia berpegang teguh pada Taurat dan sunnah Nabi Musa AS hingga Nabi Isa AS datang. Ketika Nabi Isa AS datang sedangkan dia tidak mau meninggalkan Taurat dan sunah Nabi Musa AS serta tidak mengikuti Nabi Isa AS, maka dia adalah orang yang hancur.
Begitu pun standar keimanan seorang Nasrani, ketika dia berpegang teguh pada Injil dan syariat Nabi Isa, maka dia tergolong sebagai orang yang beriman dan imannya dapat diterima hingga Nabi Muhammad SAW datang. Barangsiapa tidak mengikuti Nabi Muhammad SAW namun di sisi lain ia meninggalkan Injil dan syariat Nabi Isa AS, maka dia adalah orang yang hancur. (Isma'il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur'an al-'Adhim, [Cairo: Muassasah Qordhoba, 2000], Jilid I, hal. 341).
Berdasarkan dua riwayat ini, setidaknya dapat dipahami, bahwa standar keimanan yang dibenarkan dan segala amal salehnya berpahala di sisi Allah SWT adalah keimanan dan amal saleh yang sesuai dengan ajaran nabi dan kitab di zamannya hingga datang nabi selanjutnya. Ajaran dalam Taurat dan nabi Musa AS hanya berlaku pada zamannya hingga Nabi Isa AS datang membawa syariat. Demikian juga syariat Nabi Isa AS dan Injil, hal itu hanya berlaku pada masanya hingga Nabi Muhammad SAW datang menyempurnakan syariat nabi-nabi sebelumnya.
Adapun kaum Shabi'in, sebagaimana disinggung dalam ayat di atas, adalah orang yang cenderung keluar dan masuk dari agama satu ke agama yang lain. Termasuk di antaranya adalah mereka yang keluar dari agama sebelum Islam dan masuk ke dalam agama Islam. (Muhammad Bin Ahmad Bin Abu Bakar al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkamil Qur'an, [Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006], Jilid II, hal. 161).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara, bahwa pernyataan 'semua agama benar' itu bisa terbantahkan dari sisi periwayatan hadits. Demikian juga ketika dihadapkan dengan fakta di dalam Al-Qur'an. Seperti dalam surat At-Taubah ayat 30:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Artinya: "Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang yang kufur sebelumnya. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?"
Menisbatkan seseorang sebagai anak (laki-laki) Allah SWT jelas bertentangan dengan surat Al-Ikhlas ayat 3 yang menegaskan bahwa Allah tidak beranak dan juga tidak diperanakkan. Menurut Fakhruddin Ar-Razi, Surat al-Ikhlas merupakan surat muhkamat yang tidak perlu ta'wil atau penjelasan lebih lanjut. Barangsiapa yang keyakinannya tentang Allah berseberangan dengan surat ini, maka mazhab tersebut dianggap batal dan mengakibatkan batalnya keimanan seseorang kepada-Nya. (Muhammad Ar-Razi bin Umar, Ta'sisut Taqdis, [Lebanon, Nursabah: 2011], hal. 59).
Fakta lain telah menunjukkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tetap menolak kenabian Muhammad SAW. Akibatnya, mereka juga menolak ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, baik yang termuat di dalam Al-Qur'an maupun hadits.
Jika demikian adanya, maka klaim 'semua agama benar' tidak terbukti secara teori dan fakta. Kalau secara teori dan fakta tidak terbukti benar, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua agama benar. Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami' Li Ahkamil Qur'an, halaman 163 memandang ayat 62 dari surat Al-Baqarah ini mansukh dengan ayat berikut:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: "Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran : 85)
Penjelasan dari sudut pandang teologis tersebut harus disandingkan dengan sudut pandang sosiologis. Faktanya, warga negara Indonesia tidak hanya memeluk dan menjalankan agama Islam. Di antara mereka ada yang memeluk agama Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Pilihan agama dan pelaksanaan ibadahnya pun dijamin oleh negara, sebagaimana termaktub dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Melihat fakta ini, seorang pemeluk agama tidak perlu memaksakan agama atau keyakinannya kepada orang lain. Pasalnya, bebas dalam memilih agama juga diungkapkan dalam Surat Al-Kafirun ayat 6. Selain itu, adanya perbedaan dalam kehidupan manusia juga sudah menjadi ketentuan yang dikehendaki oleh Allah, termasuk perbedaan dalam hal keyakinan. Sebagaimana terungkap dalam Surat Yunus ayat 99:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Artinya : “Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?"
Dari sudut pandang di atas, dapat dipahami bahwa meyakini dan bahkan fanatik terhadap kebenaran agama yang dianut merupakan keniscayaan. Namun demikian, fanatisme ini tidak perlu dipaksakan kepada orang lain. Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, pernyataan 'semua agama benar' bisa dikatakan benar menurut pemeluk agama masing-masing. Wallahu A'lam.
Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua