Tafsir

Tafsir Surat Al-Kautsar Ayat 2: Perintah Tunaikan Shalat dan Berkurban

Sen, 10 Juni 2024 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Kautsar Ayat 2: Perintah Tunaikan Shalat dan Berkurban

Ilustrasi berkurban. (Foto: NU Online)

Kurban merupakan amalan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Ibadah ini dilakukan sebagai bentuk ketaatan dan rasa syukur kepada Allah SWT. Pada hari raya Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia menyembelih hewan kurban seperti kambing, sapi, atau unta, kemudian dagingnya dibagikan kepada yang membutuhkan.  

 

Lebih jauh lagi, berkurban merupakan perintah yang tertuang dalam Al-Qur'an. Salah satu ayat yang mengajak umat Muslim untuk berkurban adalah dalam Surat Al-Kautṡar [108], ayat 2 yang berbunyi:

 

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

 

Faṣalli lirabbika wanḥar.

 

Artinya: “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!

 

Tafsir Al-Misbah

Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menjelaskan, surat Al-Kautsar ayat 2 berisi perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk melaksanakan shalat dan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk syukur atas nikmat yang telah Allah berikan. 

 

Ayat ini menekankan, karena Allah telah dan pasti akan menganugerahkan banyak sekali anugerah kepada Nabi Muhammad, maka sangatlah wajar jika Rasulullah diperintahkan untuk beribadah dan bersedekah. 

 

Allah mengingatkan agar tidak mengikuti jejak orang-orang yang dicela dalam surat sebelumnya, yaitu mereka yang menghardik anak yatim yang meminta sedikit daging sembelihan. Dengan demikian, ibadah shalat dan penyembelihan hewan kurban di sini dimaksudkan sebagai wujud ketaatan dan rasa syukur kepada Allah.

 

Lebih lanjut, kata "صَلِّ" (shalli) dalam ayat ini adalah bentuk perintah dari kata "ٱلصَّلَاة" (shalat) yang secara bahasa berarti doa. Namun, para ulama memiliki penafsiran yang berbeda mengenai makna spesifik dari perintah ini. 

 

Ibn ‘Abbas berpendapat bahwa perintah ini merujuk pada pelaksanaan shalat lima waktu, sedangkan riwayat lain dari beberapa murid Ibn ‘Abbas mengartikannya sebagai perintah melaksanakan shalat Idul Adha sebelum menyembelih kurban. Kedua pendapat ini bertujuan untuk menunjukkan pentingnya pelaksanaan ibadah shalat dalam berbagai bentuknya sebagai manifestasi dari rasa syukur dan ketaatan kepada Allah. (Profesor Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid XV, [Ciputat: Lentara Hati: 2002], halaman 564)

 

Menurut kebiasaan Al-Qur’an, perintah shalat biasanya menggunakan kata "aqimu" atau yang seakar dengannya, yang menunjukkan pelaksanaan shalat wajib. Oleh karena itu, perintah shalat dalam ayat ini kemungkinan besar merujuk pada bentuk ibadah secara umum. 

 

Dalam pandangan Quraish Shihab, perintah ini adalah untuk beribadah dalam pengertian yang lebih luas, yakni menunjukkan rasa syukur dan ketaatan melalui berbagai bentuk ibadah. Nabi Muhammad sendiri pernah bersabda, "Doa adalah inti dari ibadah" (HR. at-Tirmidzi), sehingga dalam konteks ini, shalat sebagai bentuk doa merupakan manifestasi dari ibadah yang paling mendasar.

 

Al-Qur’an pun menggunakan kata doa untuk  makna ibadah demikian pula sebaliknya. Perhatikan firman-Nya:

 

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ࣖ

 

Artinya: “Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS Ghafir [40] ayat 6).

 

Banyak bentuk ibadah yang dapat dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah Allah. Salah satu caranya adalah dengan berdoa agar nikmat tersebut dapat dipelihara dan difungsikan sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Doa yang diajarkan dalam konteks ini adalah:

 

رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ 

 

Artinya: "Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim."

 

Doa ini menunjukkan bahwa salah satu cara bersyukur adalah dengan berdoa dan beramal saleh, mencerminkan ketaatan dan keimanan yang mendalam. 

 

Sementara itu, kata (انْحَرْۗ) "inhar" berasal dari kata (نحر) "nahrun" yang secara bahasa berarti dada, tempat di mana kalung diletakkan. Jika seseorang mengatakan (نحرته) "nahartuhu", itu berarti dia menyentuh dadanya dalam konteks menyembelih. Kata (انتحار) "intihar" berarti bunuh diri. (Profesor Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah..., halaman 565)

 

Beberapa ulama berpendapat bahwa perintah dalam ayat tersebut adalah menyembelih hewan, baik untuk shalat Idul Adha maupun aqiqah. Namun, ada riwayat lain yang dikaitkan dengan Sayyidina Ali yang menyatakan bahwa kata tersebut berarti “meletakkan tangan di dada atau sedikit di atasnya, seperti posisi kalung yang digantung di leher saat shalat”. Jika ayat kedua dipahami demikian, artinya: “Shalatlah demi karena Tuhanmu, dan letakkanlah tanganmu di dada”.

 

Prof. Quraish Shihab tidak setuju dengan tafsiran yang menyatakan bahwa kata "nahr" berarti meletakkan tangan kanan di atas dada saat shalat, karena Rasulullah melakukan shalat dengan berbagai cara peletakan tangan. 

 

Kadang beliau meluruskan tangan, kadang meletakkannya di tengah badan di atas perut dengan telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri. Oleh karena itu, para ulama memperkenalkan istilah "tanawwu‘ al-‘ibadah" yang berarti keragaman cara Nabi saw. beribadah. Ini menunjukkan bahwa menafsirkan "nahr" seperti riwayat dari Imam Ali Ibn Abi Thalib kurang tepat, karena Rasul saw. melaksanakan shalat dengan cara yang berbeda-beda.

 

Pada sisi lain, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata "inhar" berasal dari kata tanahur (تناحر) dalam arti taqabul (تقابل ) yakni berhadapan dengan sesuatu. Pendapat ini menginterpretasikan perintah dalam ayat tersebut sebagai perintah untuk melaksanakan shalat dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat. Namun, pendapat ini dianggap tidak memiliki dasar yang kuat.

 

Secara umum, kata "an-nahr" digunakan dalam konteks penyembelihan hewan sebagai bagian dari syiar agama. Hari Raya Idul Adha disebut juga 'Idun-Nahr karena pada hari itu dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban. Berdasarkan hal ini, penulis cenderung memahami kata tersebut dalam arti menyembelih hewan baik dalam konteks Idul Adha maupun Aqiqah.

 

Jika ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk menyembelih hewan kurban pada hari raya haji, ini tidak berarti penyembelihan baru sah setelah shalat selesai dilakukan karena alasan "inhar" disebut setelah perintah "shalli". Hal ini bukan hanya karena perintah shalat di sini berarti berdoa dan beribadah, tetapi juga karena kata "waw" (dan) tidak selalu menunjukkan urutan yang ketat.

 

Tafsir Al-Munir

Sementara itu, dalam kitab Tafsir Munir, Syekh Wahbah Zuhaili mengatakan surat Al-Kautsar ayat 2 mengandung pesan mengenai anugerah Allah yang sangat banyak yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW di dunia dan akhirat, termasuk sungai Al-Kautsar. Anugerah ini merupakan simbol dari rahmat dan kebaikan yang tak terhingga dari Allah SWT. 

 

Sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat-nikmat ini, umat Islam diharapkan untuk senantiasa menunaikan shalat wajib dan sunnah dengan penuh keikhlasan. Shalat yang dilakukan dengan ikhlas dan berharap ridha Allah SWT merupakan bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dan menjadi bukti kepatuhan serta penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya.

 

Lebih lanjut, dalam ayat ini juga terdapat perintah untuk menyembelih hewan kurban seperti kambing, unta, atau hewan lainnya. Penyembelihan ini harus dilakukan semata-mata karena Allah SWT dan dengan menyebut nama-Nya, yang tiada sekutu bagi-Nya. 

 

Melalui ibadah kurban, seorang Muslim menunjukkan ketaatan dan kesetiaan kepada Allah SWT serta memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim AS. Kurban juga merupakan bentuk solidaritas sosial, di mana daging hewan kurban dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, sehingga tercipta rasa kebersamaan dan saling peduli di antara sesama umat.

 

Perintah untuk menunaikan shalat dan menyembelih hewan kurban ini juga sejalan dengan perintah dalam ayat-ayat lain di Al-Qur'an.

 

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ [162] لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ [163

 

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku. Aku adalah orang yang pertama dalam kelompok orang muslim.”

 

Hal ini bertentangan dengan perbuatan kaum musyrik yang beribadah dan menyembah kepada selain Allah, mereka menyembah dewa-dewa atau entitas lain. Perintah Allah tersebut juga secara tidak langsung mengkritik perilaku kaum munafik yang sering kali melakukan ibadah dengan niat riya, atau untuk pamer, demi mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain. 

 

Mereka menunjukkan amal dan ibadah mereka bukan karena keikhlasan kepada Allah, tetapi untuk kepentingan duniawi dan reputasi pribadi. Perbuatan seperti ini sangat bertolak belakang dengan semangat keikhlasan dan ketulusan yang diajarkan dalam Islam

 

Lebih lanjut, ulama berbeda pendapat mengenai maksud shalat dalam surat al-Kautsar ayat 2 ini. Qatadah, Atha', dan Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat dalam ayat tersebut adalah shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban. Pendapat ini menunjukkan bahwa ibadah shalat Idul Adha dan penyembelihan kurban memiliki kaitan erat dalam rangkaian ibadah pada hari raya tersebut.

 

Sementara itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan menyembelih dalam ayat ini adalah menyembelih hewan dam dalam rangkaian ibadah haji. Menurutnya, penyembelihan ini merupakan bagian dari rangkaian ritual haji yang wajib dilakukan oleh para jamaah. Ibnu Katsir mendasarkan pendapatnya pada makna yang lebih umum dalam konteks ibadah haji, di mana penyembelihan hewan dam merupakan salah satu bentuk pemenuhan kewajiban haji.

 

Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Barra' bin Azib melalui Bukhari Muslim. Dalam hadits tersebut, Nabi saw. bersabda, 

 

ان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يصلي العيد، ثم ينحر نسكه، ويقول: من صلّى صلاتنا، ونسك ونسكنا، فقد أصاب النسك، ومن نسك قبل الصلاة فلا نسك له فقام أبو بردة بن نيار، فقال: يا رسول الله، إني نسكت شاتي قبل الصلاة، وعرفت أن اليوم يوم يشتهي فيه اللحم قال: شاتك شاة لحم، قال: فإن عندي عناقا هي أحب إلي من شاتين، أفتجزئ عني؟ قال: تجزئك ولا تجزئ أحدا بعدك

 

Artinya: "Setelah Rasulullah menunaikan shalat Idul Adha, beliau menyembelih hewan kurban sebagai bagian dari ibadah haji beliau. Kemudian beliau bersabda, Barangsiapa yang menunaikan shalat sebagaimana kami lakukan dan menyembelih hewan kurban sebagaimana kami lakukan, maka perbuatannya itu benar. Tetapi jika seseorang menyembelih hewan sebelum menunaikan shalat Id, maka itu tidak sah. Kemudian Abu Burdah bin Niyar bangkit dan berkata, Wahai Rasulullah, saya telah menyembelih domba saya sebelum shalat. Saya pikir hari ini adalah hari untuk menikmati daging. Rasulullah menjawab, Domba yang kamu sembelih bukanlah hewan kurban. Abu Burdah berkata, Saya memiliki seekor kambing betina kecil yang saya sukai lebih dari dua domba. Apakah kambing betina kecil itu sah sebagai kurban bagi saya? Rasulullah menjawab, Iya, itu sah bagi kamu, tetapi tidak sah bagi siapa pun setelah kamu."

 

Simak penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili berikut: 

 

 أمر الله تعالى نبيه صلّى الله عليه وسلّم وأمته بأداء الصلوات المفروضة والنوافل خالصة لوجه الله تعالى، دون مشاركة أحد سواه، وأمرهم أيضا بذبح المناسك مما يهدى إلى الحرم والأضاحي وجميع الذبائح لله تعالى، وعلى اسم الله وحده لا شريك له

 

Artinya: "Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya, semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada-Nya, dan umat-Nya untuk melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah secara murni karena wajah Allah Yang Maha Tinggi, tanpa keterlibatan selain-Nya. Allah juga memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan berupa hewan dam ibadah haji, kurban dan yang lainnya, dengan menyebut nama Allah Yang Esa yang tiada sekutu bagi-Nya." (Syekh Wahbah Zuhaili,Tafsir Munir, Jilid XXX, [Beirut: Darul Fikr al Mu'ashir,1991] halaman 435).

 

Tafsir Marah Labid

Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Tafsir Marah Labib mengatakan, surat al-Kautsar ayat 2 ini menjelaskan pentingnya melaksanakan shalat dengan penuh ketulusan dan ikhlas sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan. 

 

Lebih dari itu, shalat bukan hanya wujud syukur atas nikmat Allah, tetapi juga menjadi wadah untuk memuji, mengagungkan, dan memohon kepada Allah. Shalat adalah ibadah yang paling sempurna dan mencakup semua jenis rasa syukur.

 

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ أي فدم على الصلاة خالصا لوجه ربك الذي أفاض عليك هذه النعمة الجليلة خلاف الساهين عنها المرائين فيها أداء لحقوق شكرها، فإن الصلاة جامعة لجميع أقسام الشكر

 

Artinya; "Laksanakanlah shalat untuk Tuhanmu. Maksudnya, tunaikanlah shalat dengan ikhlas semata-mata untuk Allah yang telah menganugerahkan nikmat yang agung ini kepadamu, berbeda dengan orang-orang yang lalai dan yang riya dalam shalatnya. Lakukanlah shalat sebagai bentuk rasa syukur, karena shalat merupakan wadah untuk semua jenis syukur." [Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah,  1417 H], Jilid II, halaman 571]. 

 

Lebih lanjut, ayat ini juga berisi anjuran untuk menghadapkan kiblat saat menyembelih hewan kurban. Hal ini berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Al-Farra', Al-Kalbi, dan Abu Al-Ahwas, yang menafsirkan ayat "وَانْحَرْ" (dan sembelihlah) dalam surat al-Kautsar sebagai perintah untuk menghadapkan kiblat saat menyembelih.

 

 وَانْحَرْ (٢) أي استقبل القبلة بنحرك كما قاله ابن عباس، والفراء، والكلبي، وأبو الأحوص كأنه تعالى يقول: الكعبة بيتي، وهي قبلة صلاتك، وقلبك قبلة رحمتي، ونظر عنايتي، فلتكن القبلتان متناحرتين أي متقابلتين 

 

Artinya:  "وَانْحَرْ artinya menghadaplah ke kiblat sembelihanmu. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Al-Farra', Al-Kalbi, dan Abu Al-Ahwas. Seolah-olah Allah SWT berfirman: "Ka'bah adalah rumah-Ku, dan dia adalah kiblat shalatmu. Sedangkan hatimu adalah kiblat rahmat-Ku dan perhatian-Ku. Maka, jadikanlah kedua kiblat itu saling berhadapan." (Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib..., halaman 571).

 

Dengan demikian, ayat kedua Surah Al-Kautsar ini merupakan perintah Allah SWT untuk melaksanakan shalat dan berkurban sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan. Pun, ayat ini mengandung beberapa makna dan hikmah penting, di antaranya pentingnya rasa syukur, shalat sebagai ibadah utama, dan kurban sebagai bentuk ibadah sosial. Tentu, sebagai muslim, kita hendaknya meneladani Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan shalat dan berkurban, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam.