Tafsir

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 15: Penciptaan Bumi Sebagai Anugerah Allah

Rabu, 11 Desember 2024 | 22:00 WIB

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 15: Penciptaan Bumi Sebagai Anugerah Allah

Ilustrasi alam semesta. Sumber: Canva/NU Online.

Bumi kita sedang sakit. Bukan flu biasa, tapi penyakit serius yang berasal dari ulah kita sendiri. Jika diibaratkan, hubungan manusia dengan bumi saat ini lebih mirip hubungan yang penuh ancaman dibandingkan persekutuan harmonis yang seharusnya terjalin. Inilah yang disampaikan oleh Larry L. Rasmussen dalam bukunya Komunitas Bumi; Etika Bumi Merawat Bumi demi Kehidupan yang Berkelanjutan bagi Segenap Ciptaan. Ia mengingatkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, kemampuan manusia untuk menghancurkan bumi telah melampaui kemampuan bumi untuk memulihkan dirinya.


Bayangkan ini: selama miliaran tahun, bumi selalu mampu menyembuhkan diri dari berbagai guncangan alam. Tapi kini, ulah manusia telah mencapai titik yang membuat bumi kewalahan. Penebangan hutan, pembakaran bahan bakar fosil, pencemaran laut, dan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam telah memaksa bumi bekerja di luar batasnya. Seolah-olah kita lupa bahwa bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga, bukan tambang yang bisa terus digali tanpa henti (hlm. 8).


Sebagian dari kita mungkin menyangkal kenyataan ini. Tidak mudah memang untuk menerima bahwa pola hidup kita sehari-hari – seperti membuang sampah plastik sembarangan atau menggunakan kendaraan pribadi tanpa henti – punya andil dalam merusak bumi.

 

Godaan untuk tetap mengeruk keuntungan dari sumber daya yang tersisa sering kali lebih kuat daripada dorongan untuk berubah. Namun, perubahan besar ini akan menjadi "tato" yang akan terus diingat oleh generasi mendatang.


Padahal dalam Al-Qur'an surat Al-Mulk ayat 15, Allah sudah jelaskan mengatakan bahwa bumi, dan segala isinya, merupakan anugerah besar bagi manusia. Simak firman Allah berikut; 


هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ ۝١٥


huwalladzî ja‘ala lakumul-ardla dzalûlan famsyû fî manâkibihâ wa kulû mir rizqih, wa ilaihin-nusyûr


Artinya; "Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan."


Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsirul Munir menjelaskan bahwa Surat Al-Mulk ayat 15 menegaskan betapa bumi beserta seluruh kenikmatan di dalamnya adalah bentuk anugerah Allah kepada manusia. Bumi menjadi tempat kehidupan sekaligus ladang ujian bagi perilaku manusia. Segala manfaat, isinya, dan rezeki yang ada di bumi disediakan oleh Allah untuk dimanfaatkan dengan baik. 


Pada sisi lain manusia juga diingatkan, kendati bumi diperuntukkan bagi manusia, tetapi Allah berkuasa untuk menenggelamkan bumi beserta isinya jika manusia lalai akan tugasnya dalam memakmurkan bumi. Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban moral untuk menggunakan bumi demi kebaikan, serta menjauhkan diri dari keburukan, kekufuran, dan kemaksiatan. Simak keterangan Syekh Wahbah berikut:


إن الأرض وما فيها من خيرات ومنافع وكنوز مسخرة للإنسان هي من نعمة الله وفضله، وهي حقل التجارب، ومرصد السلوك الإنساني


Artinya; "Sesungguhnya bumi beserta segala isinya, termasuk kebaikan, manfaat, dan harta terpendam, yang diperuntukkan bagi manusia, adalah bagian dari nikmat dan karunia Allah. Bumi ini juga merupakan ladang ujian dan tempat pengamatan perilaku manusia. (Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991 M], Jilid XIX, hlm. 24).


Tak kalah penting, bumi yang telah disediakan Allah bagi manusia, kata Syekh Wahbah Zuhaili, menunjukkan kesempurnaan ciptaan-Nya. Allah menciptakan bumi dengan kondisi yang stabil dan layak dihuni, dilengkapi dengan gunung-gunung untuk menjaga keseimbangannya, mata air yang memancar, serta jalan-jalan yang membelah daratan. 


Semua ini memudahkan manusia untuk menjalani kehidupan, mencari rezeki, dan mengelola sumber daya alam yang tersedia. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk berupaya maksimal, namun tetap menyadari bahwa segala kemudahan itu bersumber dari Allah semata.


Tentang kestabilan penciptaan bumi, juga terdapat dalam surat Al-Furqan ayat 2, yang mengandung konsep fundamental tentang keseimbangan dan harmoni dalam penciptaan bumi dan alam semesta. Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran yang tepat (taqdîran), yang mencerminkan keselarasan di setiap aspek penciptaan. Simak firman Allah SWT:

 

ࣙالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا ۝٢


Artinya; "(Yaitu Zat) yang milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, (Dia) tidak mempunyai anak, dan tidak ada satu sekutu pun dalam kekuasaan(-Nya). Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat."


Sejatinya, keseimbangan dan harmoni dalam penciptaan bumi merupakan bagian dari rencana sempurna Allah. Segala sesuatu diatur dengan ukuran yang tepat untuk memastikan keberlanjutan kehidupan. Ayat ini menginspirasi manusia untuk merenungi kebesaran Allah, menjaga keseimbangan lingkungan, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang Dia tetapkan. 


Seperti kata, Syekh Wahbah, Tafsirul Munir Jilid XXIV, halaman 24, bumi tidak hanya tempat tinggal sementara, tetapi juga sarana untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Segala rezeki yang diberikan Allah melalui bumi merupakan amanah yang harus digunakan dengan penuh tanggung jawab.
 

Pada ayat 15 surat Al-Mulk ini, Allah memerintahkan manusia untuk memanfaatkan rezeki yang diberikan-Nya dengan sebaik-baiknya dan menjadikannya jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan demikian, segala aktivitas manusia di bumi harus berorientasi pada kebaikan dan kemaslahatan.


Akhirnya, manusia diingatkan bahwa setelah kehidupan di dunia, mereka akan kembali kepada Allah pada hari Kiamat. Kebangkitan dari kubur menjadi momen penentuan perhitungan amal dan balasan yang adil. Maka, waspada terhadap kekufuran dan kemaksiatan, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun tersembunyi, adalah sebuah keharusan. 


ويكون المصير والمرجع إليه بعد البعث من القبور للحساب والجزاء، فما على الناس إلا استعمال الأرض في الخير، والبعد عن الشر والمنكرات والكفر والمعاصي


Artinya, "Dan kepada-Nya lah tempat kembali setelah dibangkitkan dari kubur untuk perhitungan dan pembalasan. Maka kewajiban manusia adalah menggunakan bumi untuk kebaikan, menjauhi kejahatan, kemungkaran, kekufuran, dan kemaksiatan." (hlm. 24).


Sementara itu, Imam Qurthubi menjelaskan bahwa surat Al-Mulk ayat 15, tentang bumi yang diciptakan dalam keadaan mudah dimanfaatkan oleh manusia. Sejatinya, bumi telah dibuat stabil dan tunduk kepada manusia. Kata “ذلول” (dzalul), dalam ayat tersebut, yang berarti tunduk, menunjukkan bahwa bumi dijadikan patuh dan mudah dikendalikan, tidak keras atau kasar sehingga sulit ditempati. 


Selanjutnya, Allah juga menetapkan gunung-gunung sebagai pasak untuk menjaga stabilitas bumi, agar tidak terus berguncang yang akan menyulitkan penghuninya. Dengan kondisi ini, manusia dapat tinggal dengan nyaman dan aman di atasnya.


وَّالْجِبَالَ اَوْتَادًاۖ


Artinya, "dan gunung-gunung sebagai pasak?"


Pendapat lain dalam Tafsir Jami' li Ahkami Al-Qur'an, Imam Qurthubi mengatakan, maksud ayat ini bahwa "kemudahan bumi" ini juga mencakup manfaat praktisnya. Manusia dapat bercocok tanam, menanam pepohonan, menggali sumur, serta membuka mata air dan sungai.

 

Semua ini menjadi bukti kelembutan dan kepatuhan bumi terhadap kebutuhan manusia. Allah menjadikan bumi sebagai tempat yang memungkinkan manusia menjalankan kehidupan dengan baik dan produktif, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup serta mensyukuri nikmat yang telah diberikan.


قوله تعالى : هو الذي جعل لكم الأرض ذلولا أي سهلة تستقرون عليها. والذلول المنقاد الذي يذل لك والمصدر الذل وهو اللين والانقياد. أي لم يجعل الأرض بحيث يمتنع المشي فيها بالحزونة والغلظة. وقيل: أي ثبتها بالجبال لئلا تزول بأهلها; ولو كانت تتكفأ متمائلة لما كانت منقادة لنا. وقيل: أشار إلى التمكن من الزرع والغرس وشق العيون والأنهار وحفر الآبار


Artinya, Firman Allah Ta'ala: "Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan" Maksudnya, bumi dijadikan mudah dan stabil untuk kalian tinggal di atasnya. Kata "ذلول" (dzalul) berarti tunduk, yakni sesuatu yang patuh dan mudah dikendalikan. Kata dasarnya adalah "الذل" (adz-dzul) yang berarti kelembutan dan kepatuhan. Artinya, Allah tidak menjadikan bumi dengan kondisi yang sulit untuk dilalui karena terlalu keras atau kasar.


Ada yang mengatakan, maksudnya adalah bahwa Allah meneguhkan bumi dengan gunung-gunung agar tidak berguncang bersama para penghuninya. Jika bumi terus berguncang atau miring ke sana kemari, tentu ia tidak akan tunduk kepada kita.


Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah kemampuan manusia untuk bercocok tanam, menanam pepohonan, membuka mata air dan sungai, serta menggali sumur di bumi ini, sebagaimana dikutip dari Tafsir Jami' li Ahkami Al-Qur'an Jilid XVIII (Beirut, Darul Fikr, tt: 199).


Adapun Ibnu Asyur  dalam Tafsir At-Tahrir wat Tanwir berkomentar mengenai  Surat Al-Mulk ayat 15, penciptaan bumi sebagai tempat tinggal manusia adalah dalil yang kuat atas kekuasaan dan ilmu Allah Ta’ala. Bumi yang diciptakan dengan sempurna, mudah untuk dihuni, dan menghasilkan rezeki adalah nikmat besar yang menunjukkan keesaan Allah. 


Hal ini kata Ibnu Asyur, tergambar dari kata "dzalul" yang digunakan dalam ayat ini, yang berarti menggambarkan sifat bumi yang tunduk dan patuh kepada manusia, memudahkan mereka berjalan di atasnya dan mengambil manfaat darinya. Kata ini berasal dari akar kata dzull, yang berarti ketundukan atau ketaatan, serupa dengan sifat binatang yang jinak. 


Lebih jauh lagi, ini menunjukkan bahwa bumi telah dijadikan Allah sebagai sarana penuh berkah dan kemudahan bagi manusia. Hal ini lebih jelas daripada dalil penciptaan manusia, karena manusia hanyalah sebagian kecil dari bumi, sebagaimana firman Allah:


۞ مِنْهَا خَلَقْنٰكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى


Artinya;  “Dari bumi (tanah) Kami ciptakan kamu” (QS. Thaha: 55). 


اسْتِئْنَافٌ فِيهِ عَوْدٌ إِلَى الْاسْتِدْلَالِ، وَإِدْمَاجٌ لِلْامْتِنَانِ، فَإِنَّ خَلْقَ الْأَرْضِ الَّتِي تَحْوِي النَّاسَ عَلَى وَجْهِهَا أَدَلُّ عَلَى قُدْرَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَلِمِهِ مِنْ خَلْقِ الْإِنْسَانِ إِذْ مَا الْإِنْسَانُ إِلَّا جُزْءٌ مِنَ الْأَرْضِ أَوْ كَجُزْءٍ مِنْهَا قَالَ تَعَالَى: مِنْها خَلَقْناكُمْ [طه: ٥٥] ، فَلَمَّا ضَرَبَ لَهُمْ بِخَلْقِ أَنْفُسِهِمْ دَلِيلًا عَلَى عِلْمِهِ الدَّالِّ عَلَى وَحْدَانِيَّتِهِ شَفَعَهُ بِدَلِيلِ خَلْقِ الْأَرْضِ الَّتِي هُمْ عَلَيْهَا، مَعَ الْمِنَّةِ بِأَنَّهُ خَلَقَهَا هَيِّنَةً لَهُمْ صَالِحَةً لِلسَّيْرِ فِيهَا مُخْرِجَةً لِأَرْزَاقِهِمْ، وَذَيَّلَ ذَلِكَ بِأَنَّ النُّشُورَ مِنْهَا وَأَنَّ النُّشُورَ إِلَيْهِ لَا إِلَى غَيْرِهِ.


Artinya; "Ini adalah permulaan yang mengarah kembali kepada argumen-argumen pembuktian, sekaligus menyisipkan rasa syukur. Sesungguhnya penciptaan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di permukaannya adalah bukti yang lebih kuat atas kekuasaan dan ilmu Allah Ta’ala dibandingkan dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebab, manusia hanyalah sebagian kecil dari bumi atau seperti bagian darinya. Allah Ta’ala berfirman: “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakanmu,” (QS. Thaha: 55). Maka, setelah Allah menggunakan penciptaan diri manusia sebagai dalil atas ilmu-Nya yang menunjukkan keesaan-Nya, Allah melengkapinya dengan dalil berupa penciptaan bumi yang menjadi tempat tinggal mereka, sekaligus dengan menyebutkan nikmat bahwa Dia menciptakan bumi itu mudah bagi mereka, layak untuk mereka berjalan di atasnya, dan mampu mengeluarkan rezeki mereka darinya. Allah menutup hal ini dengan penjelasan bahwa kebangkitan (pada hari kiamat) berasal dari bumi dan bahwa kebangkitan itu hanya menuju kepada-Nya, bukan kepada yang lain." (Tafsir At-Tahrir Wat Tanwir, [Tunisia, Darul Tunusiyah, 1984], Jilid XIX, hlm, 31).


Dengan demikian, setelah menjadikan penciptaan manusia sebagai tanda keesaan Allah, Kemudian menegaskan dalil yang lebih besar lagi melalui penciptaan bumi, sekaligus menunjukkan luasnya ilmu dan kekuasaan milik Allah. Wallahu a'lam


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung