Tafsir Surat Saba' Ayat 28: Keistimewaan Nabi Muhammad sebagai Rasul
NU Online · Senin, 16 September 2024 | 19:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Setelah itu, hampir mustahil bagi Muhammad untuk menggambarkan pengalaman yang membuatnya berlari dalam kesakitan menuruni bukit berbatu menuju istrinya. Sebuah kehadiran menakutkan telah menyerbu gua tempat ia tidur, meraihnya dengan cengkeraman yang mengimpit napasnya. Dalam ketakutannya, Muhammad yakin bahwa ia sedang diserang oleh jin, makhluk halus yang dikenal menghuni padang pasir Arab dan sering kali menyesatkan para penjelajah dari jalur yang benar.
Jin-jin ini juga menjadi inspirasi bagi para penyair dan peramal di Arab. Salah satu penyair menggambarkan pengalaman puitisnya sebagai serangan yang tiba-tiba: jin pribadinya telah muncul tanpa peringatan, menjatuhkannya ke tanah dan mengeluarkan syair-syair dari bibirnya.
Namun, saat mendengar perintah, "Bacalah!" Muhammad tiba-tiba merasa seakan-akan dirinya telah terserang kerasukan. "Aku bukan seorang penyair," dia berteriak, berharap untuk mengusir makhluk misterius itu. Namun, tekanan itu terus berlanjut hingga pada saat-saat ketika ia merasa tak bisa lagi menahannya, kata-kata pertama dari sebuah kitab suci yang baru, berbahasa Arab, mengalir begitu lancar dari bibirnya.
Muhammad mengalami penglihatan ini pada bulan Ramadan tahun 610 M. Kelak, dia akan mengenali malam itu sebagai Lailatul Qadar, malam di mana ia menerima wahyu pertama sebagai utusan Allah.
Kisah itu ditulis oleh Karen Armstrong dalam buku Muhammad; A Prophet for Our Time, halaman 9, ketika menjelaskan sosok Nabi Muhammad ketika pertama kali mendapatkan mandat menjadi utusan Allah di usia 40 tahun. Muhammad, kata Peneliti kelahiran Inggris itu, sebagai sosok paradigmatis, memiliki pelajaran berharga yang tidak hanya relevan bagi umat Islam tetapi juga bagi masyarakat Barat.
Kehidupan Nabi, adalah contoh nyata dari makna jihad yang sejati, bukan dalam arti "perang suci," melainkan sebagai "perjuangan." Muhammad mengerahkan segenap tenaga dan usahanya untuk membawa perdamaian di tengah masyarakat Arab yang terpecah belah dan dilanda peperangan. Usaha tanpa kenal lelah itu menggambarkan bagaimana dirinya berjuang melawan keserakahan, ketidakadilan, dan kesombongan (halaman 7).
Dalam upaya tersebut, Rasulullah menyadari bahwa masyarakat Arab berada pada persimpangan penting, dan pemikiran lama tak lagi mampu menghadapi tantangan zaman. Oleh sebab itu, Muhammad mendedikasikan dirinya untuk menemukan solusi-solusi kreatif yang benar-benar baru.
Bagi Karen Armstrong, kehidupan Muhammad menjadi relevan bagi kita di zaman ini, terutama setelah peristiwa 11 September yang mengguncang dunia. Seperti pada masa Muhammad, kini kita juga berada dalam momen sejarah yang menuntut pandangan berbeda. Kita membutuhkan orang-orang dengan semangat perjuangan serupa, yang berupaya membawa perubahan dengan kedamaian dan ketulusan hati.
Nabi Muhammad, dalam perjuangannya, tidak hanya berusaha membentuk dogma agama, tetapi lebih berfokus pada mengubah hati dan pikiran manusia. Dengan demikian, ajarannya tetap relevan dan memiliki daya tarik bagi banyak orang di berbagai zaman dan tempat.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di tanah Arab pada abad ketujuh ternyata memiliki banyak kesamaan dengan tantangan yang kita hadapi saat ini. Ajaran Muhammad tentang perdamaian dan keadilan memiliki makna mendalam yang jauh melampaui pandangan politis yang dangkal. Alih-alih terfokus pada metafisika, Muhammad lebih tertarik pada bagaimana mengubah sikap dan perilaku manusia. Dia melihat bahwa problematika yang dihadapi masyarakatnya bukan hanya soal sosial, tetapi juga soal cara berpikir dan keadaan batin.
Muhammad menggunakan istilah jahiliyyah untuk merujuk pada keadaan mentalitas yang melahirkan kekerasan dan teror. Meskipun sebagian besar umat Muslim memahaminya sebagai periode sebelum Islam datang, penelitian terbaru menunjukkan bahwa Muhammad mengartikannya lebih luas. Jahiliyyah bukan sekadar fase sejarah, tetapi suatu kondisi pikiran yang penuh kebodohan, keserakahan, dan kebencian. Ajarannya tersebut tetap relevan, mengingat dunia modern juga kerap diwarnai oleh kekerasan yang berasal dari keadaan pikiran yang serupa (halaman 7).
Sejatinya, dalam Al-Qur'an, Allah menggambarkan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai utusan bagi seluruh umat manusia. Tugasnya sangat mulia, yaitu membawa kabar gembira bagi mereka yang beriman dan mengikuti ajarannya, serta menjadi pemberi peringatan bagi mereka yang menolak atau mengingkari risalahnya. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi, tidak akan ada lagi nabi atau rasul yang diutus setelahnya. Dengan demikian, ajaran yang dibawanya menjadi risalah yang berlaku untuk semua manusia hingga akhir zaman.
Baca Juga
Nur Muhammad dalam Kitab Barzanji
Sebagai risalah terakhir, ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad mencakup peraturan dan syariat yang relevan untuk dijalankan oleh umat manusia di setiap tempat dan waktu. Hukum-hukum yang terkandung dalam risalah ini dirancang agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia. Semua aturan itu berasal dari Allah, Tuhan yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya, serta mengatur seluruh ciptaan-Nya dengan sempurna dan teliti.
Simak firman Allah berikut dalam surat Saba' ayat 28;
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ٢٨
wa mâ arsalnâka illâ kâffatal lin-nâsi basyîraw wa nadzîraw wa lâkinna aktsaran-nâsi lâ ya‘lamûn
Artinya; "Tidaklah Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."
Tafsir Al-Misbah
Dalam Tafsir Al-Misbah, Profesor Quraish Shihab menjelaskan bahwa Surat Saba' ayat 28 berbicara tentang kenabian Nabi Muhammad saw. Allah, mengutus Rasulullah dengan membawa kebenaran yang tercermin dalam Al-Qur'an. Lebih jauh lagi, Allah memberikan keutamaan kepada Nabi Daud, begitu pula Allah menganugerahkan banyak keutamaan kepada Nabi Muhammad. (Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], jilid XI, halaman 387).
Salah satu keutamaan itu adalah pengutusan beliau sebagai pembawa kabar gembira bagi mereka yang mengikuti ajarannya, serta sebagai pemberi peringatan bagi yang menolak. Namun, banyak orang yang belum mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia, kapan dan di mana pun mereka berada.
Makna kata "kaffah" [كَاۤفَّةً] dalam ayat ini, kata Quraish Shihab dengan mengutip Thabathaba'i dan sejumlah ulama lain, berasal dari kata "kaffa" yang berarti menghalangi. Atas dasar ini, mereka memahami ayat tersebut sebagai penegasan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus untuk menghalangi manusia dari segala bentuk kedurhakaan.
Hal ini ditegaskan melalui frasa "basyiran wa nadziran", yang berarti Nabi Muhammad saw. berfungsi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Banyak ulama lainnya menafsirkan "kaffah" dalam arti "seluruh", yang menjelaskan bahwa risalah Nabi Muhammad saw. mencakup semua manusia tanpa terkecuali, mempertegas bahwa beliau diutus untuk seluruh umat manusia.
Pendapat ini sejalan dengan peran Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Ayat ini menjelaskan dengan gamblang bahwa pengutusan Nabi Muhammad saw. tidak terbatas pada satu kelompok atau satu waktu, melainkan mencakup seluruh umat manusia, tanpa batasan ruang dan waktu. Ini menegaskan posisi beliau sebagai rahmat bagi alam semesta, yang diutus untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kedurhakaan di antara manusia.
Tafsir Thabari
Sementara itu, Imam Thabari dalam kitab Tafsir Jami'ul Bayan, jilid XX, halaman 405 menjelaskan bahwa ayat 28 dalam surat Saba' ini tentang Rasulullah Muhammad diutus bukan hanya untuk satu kaum tertentu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Allah menegaskan dalam ayat tersebut bahwa misi Rasulullah melintasi batas etnis, ras, dan bangsa.
Nabi Muhammad datang sebagai pembawa kabar gembira bagi mereka yang mengikuti petunjuk Allah dan menjalankan kebenaran. Di sisi lain, beliau juga menjadi pemberi peringatan bagi siapa saja yang mengingkari risalah-Nya. Kabar gembira ini menjanjikan keselamatan dan kedamaian di dunia dan akhirat, sementara peringatan itu menyiratkan azab bagi mereka yang menolak kebenaran.
Imam Thabari menekankan bahwa universalitas dakwah Nabi Muhammad adalah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para rasul sebelumnya, yang kebanyakan hanya diutus kepada kaum atau bangsa tertentu. Pesan yang dibawa Rasulullah melingkupi seluruh umat manusia, baik Arab maupun non-Arab, yang berkulit putih, merah, atau hitam. Semua manusia berada di bawah naungan syariat yang sama, dengan kebenaran yang dibawa Rasulullah sebagai cahaya yang memandu mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, sayangnya, sebagaimana disampaikan dalam ayat ini, kebanyakan manusia tidak menyadari keagungan risalah ini.
Menurut Imam Thabari, ketidaktahuan sebagian besar manusia terhadap misi universal Rasulullah bukanlah karena kurangnya bukti, melainkan lebih kepada hati yang tertutup dan keinginan yang dipengaruhi hawa nafsu. Mereka yang menolak sering kali tertipu oleh dunia dan lalai akan akibat yang menanti di akhirat.
Sejatinya, peringatan dalam ayat ini adalah panggilan bagi umat manusia untuk merenungkan kebenaran yang telah disampaikan, agar tidak menjadi bagian dari mereka yang "tidak mengetahui" dan akhirnya menyesal di hari pembalasan. Simak penjelasan Imam Thabari berikut;
وما أرسلناك يا محمد إلى هؤلاء المشركين بالله من قومك خاصة، ولكنا أرسلناك كافة للناس أجمعين؛ العرب منهم والعجم، والأحمر والأسود، بشيرًا من أطاعك، ونذيرًا من كذبك
Artinya; "Allah Ta'ala berfirman: "Kami tidak mengutusmu, wahai Muhammad, hanya kepada orang-orang musyrik dari kaummu saja, tetapi Kami mengutusmu untuk seluruh umat manusia; baik yang Arab maupun non-Arab, yang berkulit merah maupun hitam, sebagai pembawa kabar gembira bagi orang yang menaati engkau, dan pemberi peringatan bagi orang yang mendustakanmu." (Tafsir Jamiul Bayan, [Mekkah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt], jilid XX, halaman 405).
Tafsir Mafatihul Ghaib
Pada sisi lain, dalam tafsir Mafatihul Ghaib karya Imam Fakhruddin Ar-Razi, ayat 28 dari Surah Saba' menjelaskan pentingnya risalah kenabian yang diemban Rasulullah SAW. Setelah Allah membahas perihal tauhid, ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia, tanpa terkecuali.
Kata "kāffatan", menurut Imam ar-Razi mengandung 2 makna dalam ayat ini. Pertama, "kāffatan" dapat diartikan sebagai pengutusan Nabi Muhammad yang bersifat universal, mencakup seluruh umat manusia sepanjang zaman. Dengan demikian, ajaran Islam tidak terbatas pada satu kelompok atau bangsa tertentu, melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Kedua, kata "kāffatan" juga mengandung makna yang lebih spesifik, yakni sebagai upaya untuk mencegah manusia terjerumus dalam kegelapan kekufuran. Huruf "ه" yang terletak di akhir kata seolah-olah menekankan betapa pentingnya misi ini. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW diutus untuk menjadi benteng kokoh yang melindungi manusia dari jerat kekafiran
Selanjutnya, Imam ar-Razi menjelaskan makna kata "basyīran" dan "nadzīran" dalam ayat ini. Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus sebagai pembawa kabar gembira (basyīran) bagi orang-orang yang beriman dan menaati perintah Allah. Nabi juga diutus sebagai pemberi peringatan (nadzīran) bagi orang-orang yang ingkar dan mendustakan risalah. Namun, sangat disayangkan bahwa kebanyakan manusia tidak menyadari akan hal ini. Ketidaktahuan mereka bukan disebabkan oleh ketersembunyian kebenaran, melainkan karena kelalaian dan keengganan mereka untuk menerima kebenaran.
لَمَّا بَيَّنَ مَسْأَلَةَ التَّوْحِيدِ شَرَعَ فِي الرِّسَالَةِ فَقَالَ تَعَالَى: وَما أَرْسَلْناكَ إِلَّا كَافَّةً وَفِيهِ وَجْهَانِ أَحَدُهَا: كَافَّةً أَيْ إِرْسَالُهُ كَافَّةً أَيْ عَامَّةً لِجَمِيعِ النَّاسِ تَمْنَعُهُمْ مِنَ الْخُرُوجِ عَنِ الِانْقِيَادِ لَهَا وَالثَّانِي: كَافَّةً أَيْ أَرْسَلْنَاكَ كَافَّةً تَكُفُّ النَّاسَ أَنْتَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْهَاءُ لِلْمُبَالَغَةِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ بَشِيراً أَيْ تَحُثُّهُمْ بِالْوَعْدِ وَنَذِيراً تَزْجُرُهُمْ بِالْوَعِيدِ وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ذَلِكَ لا لخفائه ولكن لغفلتهم
Artinya; "Setelah menjelaskan masalah tauhid, Allah mulai berbicara tentang risalah kenabian dengan berfirman: "Dan Kami tidak mengutus engkau melainkan kepada seluruh umat manusia." Dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, Kāffatan artinya pengutusan-Nya mencakup seluruh umat manusia secara umum, untuk mencegah mereka keluar dari ketaatan kepada risalah tersebut. Kedua, Kāffatan juga dapat diartikan bahwa Allah mengutusmu untuk menahan manusia dari kekufuran, dan huruf "ه" di sini menunjukkan penekanan yang kuat pada makna ini.
Frasa ayat Basyīran berarti kamu mendorong mereka dengan janji-janji (kebaikan), dan nadzīran berarti kamu memperingatkan mereka dengan ancaman (siksa). Namun, kebanyakan manusia tidak mengetahui hal tersebut, bukan karena hal itu tersembunyi, melainkan karena kelalaian mereka. (Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya at-Turats al-Arabi, 1420 H], jilid XXV, halaman 206).
Dengan demikian, Surat Saba' ayat 28 menjelaskan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai rasul untuk seluruh umat manusia, bukan hanya kepada suatu kaum atau golongan tertentu.
Lebih jauh lagi, ayat ini juga menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah rasul terakhir, yang menutup rantai kenabian. Setelah Nabi, tidak akan ada lagi nabi atau rasul yang diutus oleh Allah, menjadikan risalah yang dibawanya sebagai pedoman terakhir yang harus diikuti oleh seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Bill Gates Pilih Indonesia untuk Uji Coba Vaksin TBC, Kantornya Terletak di Singapura
2
Khutbah Jumat: Pentingnya Berlindung Kepada Allah di Setiap Saat
3
Khutbah Jumat: Pentingnya Mendahulukan Ilmu Sebelum Amal Demi Hidup Berkah Dunia Akhirat
4
Khutbah Jumat: Ikhlas dalam Ibadah Ritual maupun Sosial
5
Khutbah Jumat: Asyhurul Hurum, Mengoptimalkan Ibadah pada Bulan-Bulan Mulia
6
Khutbah Jumat: 3 Doa Rasulullah untuk Jamaah Haji – Bekal Spiritual Menuju Haji Mabrur
Terkini
Lihat Semua