Tafsir

Tafsir tentang Harta dan Anak Sebagai Fitnah dalam Surat Al-Anfal ayat 28

Jum, 7 Juli 2023 | 08:30 WIB

Tafsir tentang Harta dan Anak Sebagai Fitnah dalam Surat Al-Anfal ayat 28

Tafsir tentang Harta dan Anak Sebagai Fitnah dalam Surat Al-Anfal ayat 28. (Foto: NU Online/Freepik)

Salah satu kebahagiaan yang paling sempurna ketika membina rumah tangga adalah memiliki anak disertai dengan ekonomi yang cukup, semua kebutuhan terpenuhi, dan keinginan tercukupi. Dengan keberadaan semua itu, maka rumah tangga terasa lebih lengkap dan lebih indah. Hubungan suami dan istri pun akan lebih erat dan lebih harmonis.


Salah satu tujuan utama dalam pernikahan itu sendiri adalah untuk memperoleh keturunan, agar bisa menjadi ikatan penguat antara keduanya dalam membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Selanjutnya suami dan istri bersama mencari nafkah yang bisa mencukupi dan memenuhi kebutuhan keluarganya.


Keberadaan anak dan ekonomi yang cukup akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap keluarga. Kehadirannya mampu menjadi warna terang dan penenang bagi kehidupan keluarganya, dan itu akan dirasakan oleh setiap orang yang sudah menikah. Kendati demikian, Al-Qur’an menyebutkan bahwa keberadaan anak dan ekonomi (harta) merupakan fitnah. Allah swt berfirman:


وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ


Artinya, “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah, dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS Al-Anfal [8]: 28).


Selain menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap keluarga, harta dan anak juga menjadi fitnah. Lantas, apakah yang dimaksud fitnah dalam ayat ini? Berikut penulis jelaskan pendapat para ulama tafsir perihal fitnah dalam ayat di atas.


Tafsir Harta dan Anak sebagai Fitnah

Harta dan anak merupakan komponen penting yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap keluarga. Setiap keluarga yang memiliki harta tidak akan terasa lengkap dan sempurna jika tidak dikaruniai anak, pun juga jika hanya dikaruniai anak tanpa diberikan harta maka akan terasa hampa. Keduanya saling melengkapi dan menjadi penyempurna bagi setiap keluarga. Lantas, kenapa Al-Qur’an menyebut keduanya sebagai fitnah?


Sebelum membahas lebih lanjut perihal ayat ini, terdapat ayat penting yang juga memiliki relasi dengan ayat ini. Yaitu ayat sebelumnya, di mana Allah melarang orang-orang yang beriman untuk berkhianat terhadap amanah dan tanggungjawab yang diberikan kepada mereka. Dalam Al-Qur’an disebutkan:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]: 27).


Merujuk pendapat Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H) dalam karya tafsir monumentalnya Tafsir Mafatihul Ghaib, ia menjelaskan perihal korelasi antara dua ayat ini. Menurutnya, penyebutan harta dan anak sebagai fitnah merupakan salah satu peringatan dari Allah swt bagi setiap umat Islam. Pada umumnya, penyebab munculnya pengkhianatan adalah karena cinta pada harta dan anak, sehingga setiap manusia akan lebih sibuk pada keduanya daripada Tuhannya,


لَمَّا كَانَ الدَّاعِي إِلَى الْإِقْدَامِ عَلَى الْخِيَانَةِ هُوَ حُبُّ الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ. نَبَّهَ تَعَالَى على أنه يجب على العاقل يحترز عن المضار المتولدة مِنْ ذَلِكَ الْحُبِّ، لِأَنَّهَا تَشْغَلُ الْقَلْبَ بِالدُّنْيَا، وَتَصِيرُ حِجَابًا عَنْ خِدْمَةِ الْمَوْلَى


Artinya, “Maka ketika penyebab awal munculnya khianat adalah cinta pada harta dan anak, maka Allah memberikan peringatan, bahwa wajib bagi orang yang berakal untuk selalu waspada yang ditimbulkan oleh bahaya-bahaya cinta pada harta dan anak tersebut, karena ia bisa menyibukkan hati dengan dunia, kemudian hal itu akan menjadi penghalang dari berkhidmah kepada Allah.” (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya at-Turats: 1420], juz XV, halaman 475).


Berdasarkan pendapat Imam ar-Razi ini maka dapat dipahami bahwa keberadaan harta dan anak bukanlah suatu musibah yang harus dihindari oleh keluarga, tentu tidak demikian. Hanya pada umumnya, keberadaan keduanya terkadang menjadikan orang tua lebih cinta kepadanya, sehingga akan lalai terhadap kewajiban pada Allah dan rasul-Nya. Inilah disebut sebagai orang yang berkhianat terhadap amanah yang telah diberikan oleh-Nya.


Karena itu, keberadaan harta dan anak seharusnya tidak menjadi penghalang bagi setiap keluarga untuk beribadah kepada Allah dan memenuhi semua tanggung jawabnya. Keduanya seharusnya menjadi motivasi tersendiri untuk semakin giat dan semangat dalam menunaikan semua kewajiban dan tanggung jawab. Oleh sebab itu, Allah menjanjikan pahala bagi orang-orang yang bisa menjaga keduanya dengan benar, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat 28 di atas.


Sementara itu, menurut Imam Abu Ja’far at-Thabari (wafat 310 H), yang dimaksud dengan keberadaan harta dan anak sebagai fitnah dalam ayat ini adalah Allah benar-benar menjadikan keduanya sebagai ujian dan cobaan bagi orang tua untuk melihat bagaimana orang tuanya menggunakan harta dan memperlakukan anaknya dengan benar. Dalam kitabnya disebutkan:


انَّمَا أَمْوَالَكُمْ اَلَّتِي خَوَّلَكُمُوْهَا اللهُ، وَأَوْلَادَكُمُ الَّتِي وَهَّبَهَا اللهُ لَكُمْ، اِخْتِبَارٌ وَبَلاَءٌ، أَعْطَاكُمُوْهَا لَيَخْتَبِرَكُمْ بِهَا وَيَبْتَلِيَكُمْ، لِيَنْظُرَ كَيْفَ أَنْتُمْ عَامِلُوْنَ مِنْ أَدَاءِ حَقِّ اللهِ عَلَيْكُمْ فِيْهَا 


Artinya, “Sesungguhnya harta-harta kalian yang telah Allah bebankan, dan anak-anak kalian yang telah Allah berikan, merupakan cobaan dan ujian yang Allah berikan kepada kalian, untuk menguji dan mencoba perihal bagaimana kalian semua memperlakukannya dari segi menunaikan hak Allah atas kalian.” (Imam at-Thabari, Tafsir Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz XIII, halaman 486).


Dengan berpijakan pada pendapat at-Thabari ini, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan harta dan anak merupakan ujian dari Allah swt kepada setiap orang tua, untuk menguji bagaimana mereka menunaikan dan menjalankan semua hak-hak dan kewajiban Allah terhadap mereka. Jika sukses, maka keberadaan keduanya akan menjadi penenang dan ketentraman keluarga, dan Allah akan menjanjikan pahala yang besar kepadanya. Jika tidak, maka akan menjadi petaka bagi keluarganya sendiri.


Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam karya tafsirnya menegaskan bahwa yang dimaksud fitnah dalam ayat di atas tidak boleh diartikan sebagai sesuatu yang jelek sebagaimana fitnah yang dipahami oleh manusia pada umumnya. Fitnah dalam ayat ini bukanlah sesuatu yang jelek. Ini karena fitnah memiliki arti ujian dan cobaan bagi orang tua, tentu ini lumrah adanya,


وَمَا دَامَتِ الْأَمْوَالُ وَالْأَوْلَادُ فِتْنَةً فَلاَ بُدَّ أَنْ نُفْهِمَ الْأَمْرُ عَلىَ حَقِيْقَتِهِ؛ فَالْفِتْنَةُ لَيْسَتْ مَذْمُوْمَةً فِي ذَاتِهَا، لِأَنَّ مَعْنَاهَا اخْتِبَارٌ وَامْتِحَانٌ


Artinya, “Maka selama (Al-Qur’an menyebut) harta dan anak sebagai fitnah, maka seyogyanya kita harus memahami hal ini dengan sebenarnya. Fitnah (dalam hal ini) bukanlah sesuatu yang tercela, karena maknanya adalah cobaan dan ujian.” (Syekh Sya’rawi, Tafsir wa Khawathirul Qur’an al-Karim, halaman 1142).


Lebih tegas, Syekh Sya’rawi memberikan alasan kenapa fitnah dalam ayat ini tidak boleh diartikan dengan sesuatu yang jelek, karena faktanya banyak orang-orang yang bisa menggunakan harta sesuai dengan tuntunan syariat, digunakan untuk hal kebaikan dan jalan yang benar, dan bisa mendidik anaknya menjadi hamba Allah yang shalih dan taat. Meski tentu juga ada orang tua yang gagal dalam memperlakukan keduanya. Namun tetap saja ayat ini tidak bisa diartikan sebagai sesuatu yang jelek hanya berdasarkan sebagian saja. Karena itu, ia berpesan untuk bisa selamat dari fitnah tersebut,


وعلى الإنسان أن ينجح مع هذه الفتنة؛ فالفتنة إنما تضر من يخفق ويضعف عند مواجهتها


Artinya, “Dan wajib bagi manusia untuk selamat dari fitnah ini. Fitnah (harta dan anak) yang berbahaya adalah bagi orang yang gagal dan lemah ketika berhadapan dengannya (tidak bisa mengurusnya dengan benar).” (Syekh Sya’rawi, 1143).


Demikian ragam penjelasan dan pendapat para ulama dalam mengartikan fitnah dalam ayat tentang harta dan anak tersebut. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur