Tasawuf/Akhlak

Cinta Rasul Menyatukan Masyarakat dalam Peringatan Maulid Nabi

Sel, 4 Oktober 2022 | 22:15 WIB

Cinta Rasul Menyatukan Masyarakat dalam Peringatan Maulid Nabi

CInta kepada Nabi Muhammad saw menyatukan perbedaan di tengah masyarakat dan mengumpulkan mereka dalam even bersama.

Salah satu bentuk ekspresi kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad saw adalah merayakan hari kelahirannya, yang lebih masyhur dengan sebutan maulid nabi. Perayaan ini diisi dengan beragam kegiatan positif, yaitu pembacaan shalawat, pembacaan sirah-sirah nabawiyah yang mengulas seputar perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah. Merayakan dengan penuh kegembiraan menunjukkan ada rasa cinta yang besar pada nabi yang dilahirkan pada bulan tersebut.


Berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an, yaitu:


قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ


Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus [10]: 58).


Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi (wafat 911 H), dalam salah satu kitab tafsirnya mengutip pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan fadhl (karunia) pada ayat di atas adalah ilmu pengetahuan. Sedangkan yang dimaksud dengan rahmat adalah Nabi Muhammad,


عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ فِي الْأَيَةِ قَالَ: فَضْلُ اللهِ الْعِلْمُ وَرَحْمَتُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Artinya, “Dari Ibnu Abbas, perihal maksud ayat tersebut, ia berkata: (yang dimaksud) Karunia Allah adalah ilmu pengetahuan, sedangkan (yang dimaksud) rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad saw.” (Imam as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 367).


Dengan berpijakan pada pendapat Ibnu Abbas ini, dapat dipastikan bahwa bergembira atas kelahiran Nabi Muhammad merupakan menjadi sebuah representasi dari pengaplikasian surat Yunus di atas. Oleh karena itu, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitabnya mengatakan:


اَلْاِحْتِفَالُ بِالْمَوْلِدِ النَّبَوِي الشَّرِيْفِ تَعْبِيْرٌ عَنِ الْفَرْحِ وَالسُّرُوْرِ بِالْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Artinya, “Merayakan hari kelahiran nabi yang mulia merupakan sebuah ekspresi bahagia dan senang kepada Nabi Muhammad (al-Musthafa) saw.” (Sayyid Muhammad, al-I’lam bi Fatawa Aimmatil Islam Haula Maulidihi ‘alaihis Shalatu was Salam, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2011], halaman 15).


Sementara itu, ekspresi gembira dalam merayakan hari kelahiran nabi bukan sekadar perayaan ulang tahun belaka sebagaimana lumrah adanya, namun mengandung makna mengenang sejarah kehidupan Rasulullah yang sarat akan nilai-nilai kehidupan yang terjadi beberapa abad yang lalu.


Dengan adanya perayaan maulid nabi, umat Islam diharapkan bisa mengingat kembali betapa gigih perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam di tengah tradisi Arab Jahiliyah. Oleh karena itu, dalam merayakannya, sudah seharusnya bagi umat Islam untuk meneladani sikap sikap dan perbuatannya, terutama akhlak mulia nan agung yang ada dalam diri baginda nabi.


Tidak hanya itu, adanya perayaan maulid Nabi Muhammad bisa menjadi salah satu sarana dakwah bagi para ulama. Selain menjelaskan perjuangan dan keteladanan nabi, di dalamnya juga ada banyak peluang untuk mengenalkan hukum-hukum Islam, memantapkan akidah keimanan, menyadarkan generasi akan keagungan nabi, dan lain sebagainya, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki:


أَنَّ هَذِهِ الْاِجْتِمَاعَاتِ هِيَ وَسِيْلَةٌ كُبْرَى لِلدَّعْوَةِ إِلَى اللهِ وَهِيَ فُرْصَةٌ ذَهَبِيَّةٌ يَنْبَغِي أَنْ لَا تَفُوْتَ، بَلْ يَجِبُ عَلَى الدُّعَاةِ وَالْعُلَمَاءِ أَنْ يَذْكُرُوْا الْأُمَّةَ بِالنَّبِي، بِأَخْلَاقِهِ وَآدَابِهِ وَأَحْوَالِهِ وَسِيْرَتِهِ وَمُعَامَلَتِهِ وَعِبَادَاتِهِ وَأَنْ يُنْصِحُوْهُمْ وَيُرْشِدُوْهُمْ إِلَى الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ وَيُحَذِّرُوْهُمْ مِنَ الْبَلَاءِ وَالْبِدَعِ وَالشَّرِّ وَالْفِتَنِ


Artinya, “Sesungguhnya perkumpulan-perkumpulan (maulid) ini adalah sarana terbesar untuk berdakwah (mengajak) kepada Allah, dan merupakan kesempatan emas yang semestinya tidak terlewatkan. Bahkan para pendakwah dan ulama mesti mengingatkan umat perihal Nabi Muhammad saw, tentang akhlaknya, etika sopan santunnya, keadaannya, sejarah hidupnya, muamalah dan ibadahnya. Memberikan nasihat kepada kaum muslimin, menunjukkan jalan kebaikan dan kemenangan, memperingatkan mereka perihal musibah, bid’ah, kejelekan, dan fitnah.” (Sayyid Muhammad, 10).


Senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Sayyid Muhammad di atas, Syekh Muhammad Yusuf Khattar dalam kitabnya mengutip pendapat Syekh Mubassyir at-Tharazi yang mengatakan bahwa merayakan kelahiran nabi bisa menjadi wajib jika bisa menjadi salah satu sarana yang efektif untuk berdakwah sekaligus sebagai salah satu alternarif untuk menandingi perayaan-perayaan yang berbahaya sebagaimana banyak terjadi saat ini,


قَالَ مُبَشِّرُ الطَّرَازِي: اِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِي الشَّرِيْفِ أَصْبَحَ وَاجِبًا أَسَاسِيًا لِمُوَاجَهَةٍ مَا اسْتَجَدَّ الْاِحْتِفَالَاتِ مِنَ الضَّارَةِ فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ


Artinya, “Telah berkata Syekh Mubassyir at-Tharazi: Sungguh perayaan dengan mengingat kelahiran nabi yang mulia bisa menjadi wajib yang bersifat siyasat untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang membahayakan pada hari ini.” (Syekh Yusuf Khattar, al-Mausu’ah al-Yusufiyah fi Bayani Adillatis Shufiyah, [Darut Taqwa: 1998], halaman 21).


Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjadi acara-acara maulid sebagai sarana untuk berdakwah merupakan langkah yang tepat, bahkan bisa menjadi wajib yang bersifat siasat. Sebab, semua umat Islam sedang berkumpul pada acara ini, sehingga mengajak mereka pada kebenaran dalam beragama Islam menjadi sebuah momentum yang sangat tepat. Wallahu a’lam


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.