Bahtsul Masail

Apakah Berjualan di Tempat Maksiat Ikut Berkontribusi pada Kemaksiatan?

Sen, 11 September 2023 | 16:30 WIB

Apakah Berjualan di Tempat Maksiat Ikut Berkontribusi pada Kemaksiatan?

Kita hanya dibolehkan untuk saling tolong-menolong dalam hal ketaatan dan kebaikan saja. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Assalamu’alaikum wr. wb

Yth. Redaktur kolomnis bahtsul masail NU Online, saya izin bertanya, sering kami jumpai orang-orang yang berjualan di tempat maksiat, apakah hal itu diperbolehkan dan tidak termasuk dari menolong kemaksiatan, atau justru tidak diperbolehkan dan dianggap menolong adanya kemaksiatan? Terimakasih.  (Hamba Allah).


Wa’alaikumussalam wr. wb

Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt. Perlu diketahui bahwa menolong atau berkontribusi pada terjadinya kemaksiatan tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Kita hanya dibolehkan untuk saling tolong-menolong dalam hal ketaatan dan kebaikan saja. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:


وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ


Artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS Al-Ma’idah [5]: 2).


Merujuk pada penjelasan Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya, ia menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah dari Allah kepada semua umat Islam untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan hal-hal yang berkaitan dengannya, serta melarang untuk menolong perbuatan dosa, kemaksiatan, permusuhan dan setiap perkerjaan yang berhubungan dengannya.


Perintah di atas Allah tegaskan secara umum yang ditunjukkan kepada semua manusia. Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan, dan juga dilarang untuk berkontribusi pada terjadinya kemaksiatan. Karena itu, lafal pada ayat tersebut menggunakan bentuk jama’ “wa ta’âwanû dan walâ ta’âwanû”, yang artinya tertuju kepada semua orang, buka perorangan saja. (Syekh Sya’rawi, Tafsir wa Khawathirul Qur’an al-Karim lisy Sya’rawi, [1997], juz I, halaman 2008).


Kendati demikian, benarkah berjualan di tempat maksiat itu dianggap berkontribusi pada kemaksiatan itu sendiri atau tidak? Berikut penulis akan menjelaskannya dengan lengkap. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang hal itu, penulis akan menjelaskan hakikat dari menolong pada kemaksiatan itu sendiri, agar jawaban dari pertanyaan di atas benar-benar tuntas.


Merujuk pendapat Syekh Muhammad Taqi bin Muhammad Syafi’ al-Utsmani, dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa berkontribusi pada kemaksiatan merupakan perbuatan haram yang tidak bisa ditawar lagi dan orang yang berkontribusi untuk kemaksiatan akan berdosa. Namun, para ulama memberikan standar perihal orang-orang yang dinilai berkontribusi untuk kemaksiatan dan tidak.


Ia kemudian menegaskan bahwa yang dimaksud dengan berkontribusi pada maksiat yang diharamkan adalah apabila kemaksiatan bisa terjadi murni disebabkan bantuannya itu sendiri, dan bukan sebab yang lain. Sedangkan jika perbuatannya tidak menjadi penyebab terjadinya maksiat, maka hal ini tidak dianggap berkontribusi pada kemaksiatan,


اَلْاِعَانَةُ حَقِيْقَةً هِيَ مَا قَامَتْ المَعْصِيَةُ بِعَيْنِ فِعْلِ الْمُعِيْنِ، وَلاَ يَتَحَقَّقُ اِلاَّ بِنِيَّةِ الْاِعَانَةِ أَوِ التَّصْرِيْحِ بِهَا أَوْ تَعْيِيْنِهَا فِي اسْتِعْمَالِ هَذَا الشَّيْءِ بِحَيْثُ لاَ يَحْتَمِلُ غَيْرَ الْمَعْصِيَةِ. وَمَا لَمْ تَقُمْ الْمَعْصِيَةُ بِعَيْنِهِ لَمْ يَكُنْ مِنَ الْاِعَانَةِ حَقِيْقَةً بَلْ مِنَ التَّسَبُّبِ


Artinya, “Esensi dari berkontribusi (pada maksiat) adalah perbuatan yang bisa menjadikan maksiat terjadi dengan perantara perbuatan orang yang membantu, dan hal ini tidak akan terjadi kecuali dengan adanya niat untuk membantu terjadinya maksiat, atau perbuatannya secara jelas ia sampaikan untuk berkontribusi pada maksiat, atau perbuatannya hanya tertentu untuk digunakan maksiat, sekira tidak ada indikasi lain perbuatan lain selain maksiat. Dan apabila maksiat tidak terjadi dengan bantuan itu, maka tidak termasuk dari membantu kemaksiatan secara hakiki, namun sekadar sebab saja.” (Muhammad Taqi Utsmani, Buhuts fi Qadlaya Fiqhiyah al-Mu’ashirah, [Qatar, Wazaratul Auqaf: 2013], juz I, halaman 345).


Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa berjualan di tempat maksiat tidak termasuk berkontribusi pada kemaksiatan itu sendiri, karena pada hakikatnya ada dan tidaknya orang yang berjualan di tempat tersebut tidak akan berpengaruh pada keberlangsungan maksiat. Namun benarkah berjualan bisa dikatakan menjadi sebab adanya maksiat, sebagaimana penjelasan di atas? Mari kita bahas lebih lanjut.


Syekh Muhammad Taqi al-Utsmani menjelaskan bahwa sebab dalam kemaksiatan juga terbagi menjadi dua bagian; (1) sebab yang dekat (qarib); dan (2) sebab yang jauh (ba’id). Dua sebab ini memiliki hukum yang juga berbeda.


Pertama, sebab dekat (qarib). Maksud dari sebab dekat ini adalah setiap perbuatan yang sama sekali tidak berpengaruh pada terjadinya kemaksiatan, namun dengan adanya perbuatan ini bisa menjadi penyedia bagi orang lain untuk berbuat maksiat, seperti menyewakan rumah pada penjual minuman keras (miras), atau menjual anggur pada orang yang biasa menjadikannya minuman keras (khamr), maka semua ini hukumnya makruh tahrim (berdosa).


Hukum makruh tahrim di atas berlaku apabila penyewa benar-benar tidak tahu secara pasti, atau penyewa tidak menjelaskan bahwa rumah itu benar-benar akan digunakan untuk menjual miras. Begitu juga dengan orang yang menjual anggur pada pembuat miras, syaratnya juga sama, yaitu  tidak tahu secara pasti, atau pembeli tidak menjelaskan bahwa anggur itu benar-benar akan dijadikan miras. Dan jika tahu, maka ini termasuk menolong pada kemaksiatan yang diharamkan.


Kedua, sebab jauh (ba’id). Maksud dari sebab yang jauh ini adalah setiap perbuatan yang sama sekali tidak berpengaruh pada terjadinya kemaksiatan, juga tidak mengajak orang lain untuk bermaksiat, dan tidak mengandung kemaksiatan, hanya saja bisa menjadikannya melakukan kemaksiatan dengan adanya kerajinan tangan.


Contoh dari sebab yang kedua ini adalah menjual besi kepada orang yang biasa menggunakannya pada kemaksiatan. Secara garis besar, menjual besi sama sekali bukan kemaksiatan, bukan pula mendukung kemaksiatan, serta tidak mengajak pembeli untuk melakukan kemaksiatan, hanya saja besi ini bisa dijadikan pisau dengan kerajinan tangan darinya, maka hukum transaksi dalam hal ini adalah makruh tanzih (tidak berdosa),


وَاِنْ كَانَ سَبَبًا بَعِيْدًا بِحَيْثُ لاَ يُفْضِي اِلىَ الْمَعْصِيَةِ عَلىَ حَالَتِهِ الْمَوْجُوْدَةِ، بَلْ يَحْتَاجُ اِلىَ اِحْدَاثِ صَنْعَةٍ فِيْهِ فَتُكْرَهُ تَنْزِيْهًا


Artinya, “Dan jika berupa sebab yang dekat, sekira tidak bisa menjadi perantara maksiat saat itu juga, akan tetapi masih membutuhkan kerajinan tangan tentangnya, maka hukumnya makruh tanzih.” (Syekh Muhammad Taqi al-Utsmani, I/346).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dirumuskan bahwa berjualan di tempat-tempat maksiat hukumnya terbagi menjadi beberapa bagian, (1) jika menjual hal-hal yang bisa menjadi penyebab orang lain untuk bermaksiat, seperti miras, maka hukumnya makruh tahrim (berdosa jika dilakukan); dan (2) jika sesuatu yang dijual sama sekali tidak mendukung atau tidak mengajak orang lain untuk bermaksiat, seperti menjual makanan, kopi, minuman, dan lainnya, maka hukumnya diperbolehkan dan tidak termasuk berkontribusi pada kemaksiatan.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.