Bahtsul Masail

Hukum Anak Perempuan Haid Baca Qur'an saat Ujian Tahfiz

Sen, 26 Februari 2024 | 09:00 WIB

Hukum Anak Perempuan Haid Baca Qur'an saat Ujian Tahfiz

Membaca Qur'an. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu’alaikum wr. wb. Mohon izin bertanya kepada pengasuh Bahtsul Masail NU Online. Yaitu masalah anak perempuan yang sedang datang bulan atau mengalami haid, tapi harus mengikuti ujian tahfiz Al-Qur’an. Bolehkah ia membaca Al-Qur’an dalam rangka ujian tersebut? semisal guru membacanya kemudian ia diperintah meneruskannya? Terimakasih atas jawabannya. (Malikatus S - Jawa Tengah).


Jawaban:

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga kita semua selalu dalam lindungan dan pertolongan Allah swt. Amin.


Membaca Al-Qur’an saat haid merupakan permasalahan yang diperselisihkan ulama. Merujuk pendapat kuat (pendapat Shahih) dalam mazhab Syafi’i hukumnya adalah haram. Sedangkan menurut pendapat lain hukumnya diperbolehkan. 


Argumentasi pendapat yang mengharamkannya adalah hadits riwayat At-Tirmidzi dan selainnya yang melarang orang junub dan haid membaca sedikitpun Al-Qur’an. Rasulullah saw bersabda:


لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ


Artinya: “Janganlah orang junub dan wanita haid membaca sesuatupun dari Al-Qur’an". (HR At-Tirmidzi, Al-Baihaqi dan lainnya).


Meski hadits sempat dinilai dhaif oleh Imam An-Nawawi, namun memiliki penguat dari riwayat lain sehingga berstatus hasan, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dan Al-Mundziri. Demikian pula menurut Ibnu Jamaah dalam Takhrijul Ahaditsir Rafi’i, setelah menelitinya kemudian ia menegaskan bahwa hadits ini menjadi kuat dengan hadits-hadits lain yang mendukungnya. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah], halaman 49; dan Abul Abbas Ahmad Ar-Ramli Al-Anshari, Hasyiyatur Ramli, juz I, halaman 67)  


Pendapat yang mengharamkan perempuan haid membaca Al-Qur’an juga men-qiyas-kannya dengan orang junub yang disepakati oleh para ulama haram membaca Al-Qur'an. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Jedah, Maktabatul Irsyad], juz II, halaman 388).


Pendapat ini juga menolak dalil bahwa Sayyidah Aisyah pernah membaca Al-Qur’an di waktu haid, karena bertentangan dengan sahabat lain. Sehingga dalam kasus ini lebih utama dikembalikan pada qiyas terhadap orang junub.


Di sisi lain pendapat yang membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur’an dalam lingkup mazhab Syafi’i adalah pendapat lama atau qaul qadim, yang masih diperselisihkan apakah benar Imam As-Syafi’i pernah berpendapat seperti itu. Kemudian juga diperselisihkan apakah illat-nya. Sebagian ulama mengatakan karena khawatir hafalan Al-Qur’an akan hilang karena waktu haid yang lebih lama daripada waktu junub yang bisa segera mandi jinabat. Sementara sebagian yang lain berpendapat karena terkadang perempuan menjadi pengajar Al-Qur’an sehingga terputus pekerjaannya. (An-Nawawi, II/387).


Kesimpulannya, pendapat yang membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur’an dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yang lemah dan bertentangan dengan pendapat shahih. Karenanya dalam mazhab, sangat problematik untuk diamalkan.


Bagaimana dengan pendapat lain, adakah pendapat dalam lingkungan Ahlussunnah wal Jamaah yang dapat menjadi solusi dalam masalah ini?


Sebagai solusi dalam kasus ini dapat mengikuti pendapat mazhab Maliki yang membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur'an dengan ketentuan kondisi darah haid masih mengalir sehingga tidak bisa mandi besar saat itu. Kalau darah sudah berhenti, maka tetap tidak boleh. Karena ia bisa mandi besar seketika itu.


Syekh Ahmad Ad-Dardir menjelaskan:


وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ إلَّا بَعْدَ انْقِطَاعِهِ وَقَبْلَ غُسْلِهَا ، سَوَاءٌ كَانَتْ جُنُبًا حَالَ حَيْضِهَا أَمْ لَا ، فَلَا تَقْرَأُ بَعْدَ انْقِطَاعِهِ مُطْلَقًا حَتَّى تَغْتَسِلَ. هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ


Artinya: “Tidak haram bagi perempuan haid membaca Al-Qur’an kecuali setelah terhenti darahnya dan belum mandi. Baik saat haid ia junub atau tidak. Karenanya ia tidak boleh membaca Al-Qur’an setelah darahnya berhenti secara mutlak sampai ia mandi janabat. Ini adalah pendapat mu’tamad atau yang dipedomani dalam mazhab Maliki.” (Ahmad Ad-Dardir, As-Sayrhus Shaghir, dalam Bulghatus Salik li Aqrabil Masalik, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah], juz I, halaman 149).


Penting pula diperhatikan, meskipun ada pendapat yang membolehkan perempuan haid baca Al-Qur’an, sudah semestinya berhati-hati. Bila masih dapat ditunda dibaca di waktu lain sampai haid selesai, maka hendaknya ditunda dahulu. Namun ketika perempuan harus baca Al-Qur’an saat haid, seperti dalam ujian tahfiz yang waktunya tidak mungkin lagi ditunda, maka membacanya dibatasi sesuai dengan kebutuhan ujian. Hal demikian karena menjaga kesakralan Al-Qur’an. 


Dalam hal ini Darul Ifta Mesir merekomendasikan:


وبعد عرض هذه الآراء يختار قول الجمهور فى المنع ، ولا يجوز للحائض أن تقرأ شيئا من القرآن عند دراسة لدين ما دامت لا توجد ضرورة لقراءتها كالامتحان مثلا، ويمكنها أن تؤجل دراسة الباب الذى فيه القرآن حتى تطهر ، فإن تحتمت القراءة جازت قراءة آية أو أقل أى الاقتصار على الضرورى ، محافظة على قدسية القرآن


Artinya: “Setelah menyampaikan berbagai pendapat ini, maka yang dipilih adalah pendapat jumhur ulama yang melarangnya. Perempuan haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al-Qur’an ketika pelajaran agama selama tidak ditemukan kondisi darurat untuk membacanya, seperti ujian misalnya, dan masih dimungkinkan baginya untuk menunda mempelajari bab yang ada Al-Qur’annya itu sampai suci. Jika harus membaca Al-Qur’an, maka boleh membacanya satu ayat atau lebih sedikit. Maksudnya membatasi diri sesuai kebutuhan, karena menjaga kesakralan Al-Qur’an.” (Athiyah Shaqr, Ad-Dirasatud Diniyah Atsna-al Janabah, Darul Ifta’ Al-Mishriyah, Mei 1997).


Simpulan

Jawaban di atas secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Hukum membaca Al-Qur’an bagi perempuan haid diperselisihkan ulama. Mayoritas ulama melarang dan sebagian membolehkannya dengan beberapa ketentuan.
  2. Dalam kondisi tertentu, perempuan dapat mengikuti pendapat mazhab Maliki yang membolehkan perempuan haid membaca Al-Qur’an, yaitu dengan ketika kondisi darah haid masih mengalir. Bila darah haid sudah berhenti maka tidak boleh kecuali telah mandi janabat.
  3. Bila mengikuti pendapat yang membolehkannya, maka membacanya hanya sesuai kebutuhan untuk menjaga kemuliaan Al-Qur'an. ​​​​​​​Wallahu a’lam.


Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online