Hikmah

Kisah Nabi Dawud dan 100 Istri: Dunia Tak Pernah Memuaskan Hati Manusia

Senin, 30 Desember 2024 | 15:00 WIB

Kisah Nabi Dawud dan 100 Istri: Dunia Tak Pernah Memuaskan Hati Manusia

Ilustrasi lambang cinta. Sumber: Canva/NU Online.

Meskipun bergelar rasul, hal ini tidak menjadikan seorang nabi terlepas dari kemungkinan melakukan kekeliruan dalam hidupnya. Sebagai makhluk, tidak ada yang mampu mencapai derajat kesempurnaan yang hanya dimiliki oleh Allah SWT.

 

Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh seorang rasul tidak mencerminkan dirinya sebagai pembawa risalah kerasulan, melainkan sebagai manusia biasa yang juga tidak luput dari kekhilafan. Peristiwa semacam ini sering kali terjadi untuk memberikan pelajaran yang berharga bagi umat secara umum.

 

Salah satu kisah yang menceritakan teguran Allah kepada Nabi Dawud AS diabadikan dalam Al-Qur'an, tepatnya dalam Surah Shad ayat 22-24. Nabi Dawud, selain sebagai seorang rasul, juga menjabat sebagai raja pada masanya.

 

Saat itu, beliau telah memiliki 99 istri, namun ia menginginkan untuk menggenapkannya menjadi 100 dengan berusaha mengambil istri orang lain melalui cara yang kurang terpuji. Beliau diduga menjebak suami dari wanita tersebut dalam kondisi terdesak saat berperang, dengan harapan suaminya gugur sebagai syahid.

 

Rencana tersebut berhasil, dan Nabi Dawud AS akhirnya menikahi wanita itu, sehingga istrinya genap menjadi 100. Karena tindakan yang tidak sesuai dengan keadilan tersebut, Allah SWT menegur Nabi Dawud melalui peristiwa yang melibatkan dua orang yang berselisih. Peristiwa ini dijelaskan secara rinci dalam Surah Shad ayat 22-24.

 

Berikut adalah teks, terjemahan, dan tafsir ulama mengenai QS. Shad ayat 22-24 yang menguraikan kronologi peristiwa tersebut serta hikmah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Dawud AS.

 

اِذْ دَخَلُوْا عَلٰى دَاوٗدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوْا لَا تَخَفْۚ خَصْمٰنِ بَغٰى بَعْضُنَا عَلٰى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَآ اِلٰى سَوَاۤءِ الصِّرَاطِ (22) اِنَّ هٰذَآ اَخِيْ ۗ لَهٗ تِسْعٌ وَّتِسْعُوْنَ نَعْجَةً وَّلِيَ نَعْجَةٌ وَّاحِدَةٌ ۗفَقَالَ اَكْفِلْنِيْهَا وَعَزَّنِيْ فِى الْخِطَابِ (23) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ اِلٰى نِعَاجِهٖۗ وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاۤءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيْلٌ مَّا هُمْۗ وَظَنَّ دَاوٗدُ اَنَّمَا فَتَنّٰهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهٗ وَخَرَّ رَاكِعًا وَّاَنَابَ ۩ (24) 

 

idz dakhalû ‘alâ dâwûda fa fazi‘a min-hum qâlû lâ takhaf, khashmâni baghâ ba‘dlunâ ‘alâ ba‘dlin faḫkum bainanâ bil-ḫaqqi wa lâ tusythith wahdinâ ilâ sawâ'ish-shirâth (22) inna hâdzâ akhî, lahû tis‘uw wa tis‘ûna na‘jataw wa liya na‘jatuw wâḫidah, fa qâla akfilnîhâ wa ‘azzanî fil-khithâb (23) qâla laqad dhalamaka bisu'âli na‘jatika ilâ ni‘âjih, wa inna katsîram minal-khulathâ'i layabghî ba‘dluhum ‘alâ ba‘dlin illalladzîna âmanû wa ‘amilush-shâliḫâti wa qalîlum mâ hum, wa dhanna dâwûdu annamâ fatannâhu fastaghfara rabbahû wa kharra râki‘aw wa anâb (24)

 

Artinya, “Ketika mereka masuk menemui Dawud, dia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, 'Janganlah takut! (Kami) berdua sedang berselisih. Sebagian kami berbuat aniaya kepada yang lain. Maka, berilah keputusan di antara kami dengan hak, janganlah menyimpang dari kebenaran, dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus' (22). (Salah seorang berkata), 'Sesungguhnya ini saudaraku. Dia mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan aku mempunyai seekor saja'. Lalu, dia berkata, 'Biarkan aku yang memeliharanya! Dia mengalahkanku dalam perdebatan' (23). Dia (Dawud) berkata, 'Sungguh, dia benar-benar telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (digabungkan) kepada kambing-kambingnya. Sesungguhnya banyak di antara orang-orang yang berserikat itu benar-benar saling merugikan satu sama lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan sedikit sekali mereka itu.” Dawud meyakini bahwa Kami hanya mengujinya. Maka, dia memohon ampunan kepada Tuhannya dan dia tersungkur jatuh serta bertobat (24).

 

Tafsir Jalalain

Syekh Jalaluddin al-Mahalli dan Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain (Kairo: Darul Hadits, 2010, hlm. 600–601) menjelaskan secara rinci tafsiran QS. Shad ayat 22–24. Dalam tafsir tersebut, keduanya menjelaskan bahwa dua orang yang berselisih dan datang kepada Nabi Dawud AS sebenarnya adalah jelmaan malaikat yang diutus oleh Allah SWT untuk memberikan teguran kepadanya. Mereka menafsirkan bagian ayat berikut:

 

وَكَانَ لَهُ تِسْع وَتِسْعُونَ امْرَأَة وَطَلَبَ امْرَأَة شَخْص لَيْسَ لَهُ غَيْرهَا وَتَزَوَّجَهَا وَدَخَلَ بِهَا
 

Artinya, "Dia (Nabi Dawud AS) memiliki 99 istri, kemudian menginginkan istri seorang laki-laki lain yang hanya memiliki satu istri. Akhirnya, dia menikahi dan menggauli istri laki-laki tersebut."

 

Dengan alasan itu, dua malaikat menjelma menjadi orang yang berselisih datang kepada Dawud as guna memberikan sindiran sekaligus teguran atas apa yang telah ia lakukan. Dikatakan dalam ayat tersebut, bahwa ketika datang, salah seorang dari yang berselisih berkata, “Sebagian kami berbuat aniaya kepada yang lain. Maka, berilah keputusan di antara kami dengan hak, janganlah menyimpang dari kebenaran, dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.

 

Jadi, kedua orang tersebut mendatangi Nabi Dawud untuk meminta petunjuk atas apa yang sedang terjadi di antara keduanya. Mereka mengharapkan petunjuk dari masalah. Pada ayat selanjutnya, salah satu dari orang yang bersekutu tersebut berkata, “Sesungguhnya ini saudaraku. Dia mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan aku mempunyai seekor saja. Lalu, dia berkata, 'Biarkan aku yang memeliharanya! Dia mengalahkanku dalam perdebatan'.

 

Syekh Jalaluddin al-Mahalli dan Syekh Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan, bahwa pengakuan yang diutarakan oleh orang tersebut, “Sesungguhnya ini saudaraku.” Maksudnya adalah saudara dalam agama. Bukan saudara kandung. Lalu perkataan selanjutnya, “Dia mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina.” Hal ini menggambarkan tentang 99 istri yang dimiliki oleh Nabi Dawud.

 

Kemudian, orang tersebut kembali berkata, “Sedangkan aku hanya mempunyai seekor saja.” Lalu, dia melanjutkan kronologi saudaranya yang ingin mengadopsi satu-satunya kambing yang ia miliki, “Biarkan aku yang memeliharanya! Dia mengalahkanku dalam perdebatan.” Peristiwa tersebut seolah digambarkan sesuai dengan apa yang menjadi masa lalu dari Rasulullah Dawud.

 

Mendengar aduan dari orang tersebut, Nabi Dawud memberikan nasihat, “Sungguh, dia benar-benar telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (digabungkan) kepada kambing-kambingnya. Sesungguhnya banyak di antara orang-orang yang berserikat itu benar-benar saling merugikan satu sama lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan sedikit sekali mereka [orang-orang saleh] itu.”

 

الْمَلَكَانِ صَاعِدَيْنِ فِي صُورَتَيْهِمَا إلَى السَّمَاء قضى الرجل على نفسه فتنبه داود 
 

Artinya, “Kedua malaikat tersebut kemudian naik ke langit dengan wujud aslinya. Seolah-olah Laki-laki yang bertanya itu telah selesai dengan permasalahan dirinya. Sehingga dengan hal ini Dawud as menyadari apa yang terjadi.”

 

Setelah itu, Al-Mahalli dan As-Suyuthi melanjutkan penjelasannya, bahwa dengan kejadian dua orang yang mendatanginya tersebut, Nabi Dawud meyakini bahwa mereka berdua datang sebagai teguran atas cinta wanita yang dilakukan sebelumnya. Sehingga dengan hal ini, dirinya memohon ampun dan bertobat kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat tersebut.

 

Tafsir Thabari

Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan (Makkah, Daruttarbiyah wa Turats, 21:174-187) juga menjelaskan tafsiran mengenai 3 ayat yang mengabadikan momen ketika seorang rasul, yakni Nabi Dawud, ditegur oleh Allah. Penjelasannya tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Jalaluddin al-Mahalli dan Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab mereka. Akan tetapi, Ath-Thabari lebih merincikan aspek kronologis kedatangan dua orang tersebut dan beberapa tambahan keterangan.

 

Jadi, At-Thabari menyebutkan bahwa pada awalnya, kedua orang yang hendak konsultasi ini sempat membuat Rasulullah Dawud terkejut sebab kedatangannya. Karena cara mereka masuk ke mihrab, tempat ibadah Dawud as yang tidak lazim, yakni dengan tidak masuk melalui pintu.

 

Selain itu, mereka juga datang di waktu tidak tepat dan bukan masa untuk bertamu, yaitu di waktu malam gelap gulita yang tidak memungkinkan adanya pengawasan dari manusia. Hal ini membuat Dawud sempat ketakutan dan kaget juga, karena disangka akan berbuat jahat.

 

Tatkala melihat ada ketakutan dalam diri Dawud, kedua orang tersebut berkata, “Jangan takut.” Setelah mengatakan hal itu, keduanya mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu untuk memohon petunjuk atas sengketa yang sedang terjadi di antara mereka.

 

Mereka berkata, “Berilah keputusan di antara kami dengan hak, janganlah menyimpang dari kebenaran, dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” Ath-Thabari menjelaskan kalau ungkapan tersebut menuntut Nabi Dawud agar menjadi hakim adil yang dapat memutuskan perkara dengan bijaksana dan membawa keputusan yang mashlahat untuk keduanya.

 

Kemudian, terkait perkataan orang yang bersengketa, “Dia mengalahkanku dalam perdebatan,” sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat tersebut, Ath-Thabari menjelaskan dengan mengutip pendapat Ad-Dhahak, bahwa maksudnya adalah orang yang memiliki kepunyaan 99 kambing itu lebih jelas ucapannya, kekuatannya lebih besar dan doanya lebih banyak. Hal ini seolah menggambarkan eksistensi Dawud as sebagai rasul yang sedang melawan orang biasa.

Kronologis Pertemuan Dawud dengan Wanita yang Menjadi Istri ke-100nya

Syekh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam kitabnya, Al-Qishshah fil Qur’anil Karim Jilid II (Mesir, Darunnahdhah, 1997: 50), menjelaskan dengan mengutip pendapat Ibnu Jarir dan beberapa ahli tafsir yang lain.

 

Dikisahkan bahwa Nabi Dawud AS sedang melaksanakan shalat di dalam mihrabnya, tiba-tiba saja ia melihat seorang wanita cantik dari jendela tempat ibadahnya. Wanita tersebut menarik perhatian hatinya.

 

Nabi Dawud AS kemudian mengirimkan seorang utusan untuk mencari tahu tentang wanita itu, termasuk siapa suaminya. Dari utusan tersebut, diketahui bahwa wanita tersebut bersuamikan seorang pria bernama Urya, yang pada saat itu sedang berada di medan perang melawan musuh.

 

Setelah mengetahui informasi tersebut, Nabi Dawud AS menyusun sebuah siasat agar suami dari wanita itu terbunuh di medan perang. Beliau mengirimkan sekelompok pasukan tambahan dengan instruksi khusus untuk mendesak pasukan lawan. Strategi ini dirancang sedemikian rupa agar Urya, yang tergabung dalam pasukan tersebut, berada dalam situasi yang paling berbahaya sehingga peluangnya untuk selamat menjadi sangat kecil.

 

Rencana ini berhasil. Urya terbunuh di medan perang, dan Nabi Dawud AS kemudian menikahi wanita yang sebelumnya menarik perhatiannya. Namun, tindakan ini tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT dan mengundang teguran dari-Nya. Teguran tersebut disampaikan melalui peristiwa dua orang yang berselisih, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Shad ayat 22–24. Kisah ini mengajarkan pelajaran penting tentang keadilan, tanggung jawab, dan penyesalan yang mendalam.

 

Pelajaran yang Dapat Diambil

Kisah teguran Allah kepada Nabi Dawud AS mengajarkan bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Meskipun Nabi Dawud adalah seorang rasul yang mulia, ia tetap manusia yang tidak luput dari kekhilafan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bahkan orang yang memiliki kedudukan tinggi sekalipun harus senantiasa berhati-hati dalam bertindak, khususnya dalam menegakkan keadilan.

 

Melalui teguran yang disampaikan oleh dua malaikat yang menyerupai orang berselisih, Allah SWT menunjukkan kasih sayang-Nya. Teguran ini bertujuan menyadarkan Nabi Dawud AS atas kesalahannya dan mengarahkannya untuk bertobat. Sikap Nabi Dawud yang segera beristigfar dan bertobat menjadi teladan bahwa ketika menyadari kekhilafan, seorang hamba harus segera kembali kepada Allah dengan kerendahan hati.

 

Kisah ini juga mengingatkan pentingnya pengendalian hawa nafsu. Hawa nafsu, jika tidak dikendalikan, dapat menjerumuskan manusia kepada ketidakadilan. Nabi Dawud AS diuji dalam hal ini, dan kesadarannya yang cepat menunjukkan keutamaan seorang rasul dalam menghadapi godaan duniawi dengan segera bertobat dan memperbaiki diri.

 

Lebih detail lagi, kisah ini menjadi refleksi bahwa manusia sering kali tidak merasa cukup dalam urusan dunia. Bahkan Nabi Dawud AS, dengan segala keutamaan yang dimilikinya, tergoda oleh sifat manusiawi yang cenderung ingin memiliki lebih.

 

Namun, bedanya dengan manusia kebanyakan, nabi dan rasul segera menyadari kekhilafannya dan bertobat. Kisah ini mengajarkan bahwa dunia tidak akan pernah cukup untuk memuaskan manusia, sehingga kita harus senantiasa mengarahkan hati kepada Allah SWT dan memohon ampun atas setiap kekhilafan. Wallahua’lam.

 

Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman