Hikmah

Rabi’ah binti Ismail asy-Syami, Wanita Kaya yang Menjadi Wali

Rab, 19 Februari 2020 | 01:00 WIB

Rabi’ah binti Ismail asy-Syami, Wanita Kaya yang Menjadi Wali

Perjalanan spiritual yang dilalui Rabi'ah lebih berat dari yang dilalui suaminya, Imam Ahmad al-Hawari.

Rabi’ah binti Ismail merupakan istri Imam Ahmad bin Abi al-Hawari (w. 230 H), seorang ulama dan wali besar di zamannya. Ia adalah murid Imam Abu Sulaiman al-Darani, Imam Sufyan bin ‘Uyainah, Imam Waki’, Imam Abu Usamah dan lain sebagainya. Banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya, seperti Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Hatim, dan lain sebagainya. Imam Ibnu Katsir menggambarkan Ahmad bin Abi al-Hawari dengan ucapan:

 

أحد الزهاد المشهورين، والعباد المذكورين، والأبرار المشكورين ذوي الأحوال الصالحة، والكرامات الصادقة

 

Terjemah bebas: “Salah satu dari ahli zuhud yang ternama, ahli ibadah yang dikenal, penyayang (atau dermawan) yang bersyukur, termasuk (dalam golongan orang-orang) yang memiliki keadaan spiritual yang saleh, dan karamah yang benar” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003, juz 14, h. 448).

 

Rabi’ah bin Isma’il asy-Syami adalah wanita terpandang dan kaya raya. Imam Abdurrahman al-Sulami menggambarkannya dengan kalimat:

 

كانت من كبار نساء الشام، وكانت موسرة، فأنفقت جميع ملكها علي أحمد وأصحابه

 

Terjemah bebas: “Rabi’ah binti Ismail asy-Syami merupakan bagian dari wanita terpandang di Syam. Ia adalah wanita yang kaya raya. Kemudian ia menafkahkan semua (kekayaan) miliknya kepada Ahmad (bin Abi al-Hawari) dan sahabat-sahabatnya (atau murid-muridnya)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, h. 399).

 

 

Kisah pernikahan Rabi’ah binti Ismail asy-Syami dengan Imam Ahmad bin Abi al-Hawari cukup menarik. Rabi’ah menjadi orang pertama yang mengajukan lamaran kepada Ahmad al-Hawari, bukan sebaliknya. Dalam kitab Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn diceritakan:

 

وخطبت رابعة بنت إسماعيل أحمد بن أبي الحواري، فكره ذلك لما كان فيه من العبادة وقال لها: والله ما لي همة في النساء لشغلي بجالي، فقالت: إني لأشغل بِحالي منك وما لي شهوة، ولكن ورثت مالا جزيلا من زوجي فأردت أن تنفقه علي إخوانك، وأعرف بك الصالحين فيكون لي طريقا إلي الله عز وجل

 

Terjemah bebas: “Rabi’ah binti Isma’il melamar Ahmad bin Abi al-Hawari. (Namun), Ahmad al-Hawari tidak senang dengan lamaran itu karena hendak fokus beribadah. Ia berkata kepada Rabi’ah: “Demi Allah, aku tidak punya keinginan (menikahi) wanita, karena aku sibuk dengan perjalananku.” Rabi’ah binti Isma’il berkata: “Sungguh aku lebih sibuk dengan perjalananku dibandingkanmu, dan tiada (lagi) syahwatku. Tapi, aku mewarisi harta yang sangat banyak dari suamiku. Karena itu aku berkeinginan menafkahkannya kepada saudara-saudaramu (atau teman dan murid-muridmu), dan aku tahu yang bersamamu adalah orang-orang saleh, maka bagiku (itu) menjadi jalan menuju Allah ‘Azza wa Jalla” (Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016, juz 6, h. 232)

 

Setelah mendapat lamaran dari Rabi’ah bin Isma’il asy-Syami, Imam Ahmad al-Hawari meminta izin kepada gurunya, Imam Abu Sulaiman al-Darani. Pada awalnya, gurunya tidak mengizinkannya, tapi setelah mendengar penjelasannya tentang Rabi’ah binti Isma’il asy-Syami, Imam Abu Sulaiman al-Darani menyetujuinya. Ia mengatakan:

 

تزوج بها فإنها ولية الله

 

“Nikahlah dengannya. Sesungguhnya ia adalah wali Allah” (Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 2016, juz 6, h. 232).

 

Dalam kisah di atas, Rabi’ah bin Isma’il mengatakan bahwa perjalanannya atau pengembaraannya melebihi Ahmad al-Hawari. Ini karena Rabi’ah asy-Syami merangkap peran dalam setiap perjalanannya. Ia menjadi seorang ulama perempuan (sufi) yang menyibukkan diri beribadah dan berdakwah; ia juga seorang yang mewarisi harta dan jaringan bisnis suaminya terdahulu. Karena itu, perjalanan yang dilaluinya lebih berat daripada perjalanan yang dilalui Imam Ahmad al-Hawari.

 

Selain itu, “perjalanan” (al-jâl) bisa juga diartikan sebagai perjalanan atau pengembaraan menuju Tuhan. Menggunakan makna ini, tentu perjalanan yang dilalui seorang wanita jauh lebih berat dari laki-laki, apalagi jika ia seorang ulama, pengusaha, istri dan ibu. Ia harus menjalankan banyak peran sebagai wanita sekaligus menapaki perjalanannya menuju Tuhan.

 

Rabi’ah binti Isma’il tidak sekedar berkata-kata. Ia menunjukkannya dalam sikap. Ia menikah bukan karena syahwat, tapi karena jalan persaudaran sufi yang ingin dilaluinya bersama orang-orang saleh. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:

 

حدثنا أحمد بن أبي الحواري، قال: قالت رابعة يوما لأحمد بن أبي الحواري: كنت أدعو الله تعالي أن يأكل مالي مثلك ومثل أصحابك

 

“Ahmad bin Abi al-Hawawri bercerita kepadaku (al-‘Abbas bin Hamzah). Ia berkata: “Suatu hari Rabi’ah berkata kepada Ahmad bin Abi al-Hawari: “Aku berdoa kepada Allah ta’ala agar hartaku dimakan oleh (orang) sepertimu dan seperti sahabat-sahabatmu” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 399-400).

 

Imam Ahmad bin Abi al-Hawari juga pernah bercerita tentang istrinya ini. Katanya:

 

دعوت رابعة مرة فلم تجبني. فلما كان بعد ساعة أجابتني، وقالت: إنما منعني أن أجيبك لأن فلبي كان امتلأ فرحا بالله تعالي، فلم أقدر أن أجيبك

 

Terjemah bebas: “Aku memanggil Rabi’ah sekali, ia tidak menjawabku. Kemudian setelah beberapa saat, ia menjawabku. Ia berkata: “Sungguh aku tercegah untuk menjawab (panggilan)mu, karena hatiku telah dipenuhi kebahagiaan dengan Allah ta’ala, maka aku tidak kuasa menjawab (panggilan)mu” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 400).

 

 

Apa yang diceritakan Imam Ahmad al-Hawari adalah kebanggaan, bukan kekurangan. Ia mengakui kelebihan spiritual istrinya. Ia tanpa ragu mempercayai apa yang dikatakan istrinya karena ia tinggal bersamanya dan melihat langsung kehidupannya.

 

Sekali waktu, Imam Ahmad berujar ketika melihat Rabi’ah asy-Syami tengah beribadah dengan khusyu’:

 

ما رأينا من يقوم من أول الليل، فقالت: سبحان الله مثلك يتكلم بهذا؟ إنما أقوم إذا نوديت

 

Terjemah bebas: “Aku tidak melihat seorang pun yang mendirikan (ibadah/shalat) dari awal malam.” Kemudian Rabi’ah berkata: “Maha suci Allah, (orang) sepertimu berkata seperti ini? Sesungguhnya aku mendirikan (ibadah/shalat) ketika aku dipanggil” (Imam Abu al-Farj Abdurrahman bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 432).

 

Artinya, ibadah yang dilakukan Rabi’ah binti Isma’il bukan soal banyak atau sedikit; bukan pula soal awal malam atau sepertiga malam. Ia beribadah ketika ia merasa dipanggil oleh Tuhannya, kapan pun waktunya dan di mana pun tempatnya. Karena itu, ia heran dengan perkataan suaminya, bagaimana mungkin seorang dengan pengetahuan agama dan kedudukan spiritual yang tinggi mengujarkan hal tersebut. Tentunya ia paham, ibadah dan bersuka cita dengan Tuhan, ia lakukan karena panggilan-Nya. Dan itu bukan sesuatu yang seharusnya dipuji atau ditakjubi.

 

Pertanyaannya, pernahkah kita merasa terpanggil?

 

Wallahu a’lam bish shawwab

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen