Ilmu Hadits

Rasionalisasi Hadits Tidak Dibukukan di Masa Nabi

Sel, 19 Maret 2024 | 13:00 WIB

Rasionalisasi Hadits Tidak Dibukukan di Masa Nabi

Ilustrasi rasionalisasi hadits tidak dibukukan di masa Nabi Muhammad saw. (via wejdan.org).

Hadits adalah sumber primer ajaran Islam selain Al-Qur'an. Dengan kedudukannya yang sangat tinggi, hadits menjadi objek yang mendapat perhatian penuh dari ulama dari masa ke masa. Kendati hadits tidak dibukukan di masa Nabi Muhammad saw, berbagai kerja ilmiah telah didedikasikan oleb para ulama untuk melayani (khidmah) ilmu ini.
 

Mulai dari meriwayatkannya, baik dengan lisan ataupun tulisan, membuat kaidah-kaidah untuk memahami maknanya, menyusun kaidah untuk menyeleksi hadits yang shahih dari yang dha'if, membuat kitab syarah (penjabaran) atas makna hadits, dan berbagai kerja ilmiah lain.
 

Namun, seolah kontras dengan keistimewaan itu, hadits-hadits Rasulullah saw justru baru terbukukan di penghujung abad pertama hijriah. Padahal pembukuan adalah kunci utama eksistensi sebuah ilmu. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
 

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberi dua alasan mengenai hal ini dalam Muqaddimah Fathul Bari:
 

أن آثار النبي صلى الله عليه وسلم لم تكن في عصر أصحابه  وكبار تبعهم مدونة في الجوامع ولا مرتبة لأمرين. أحدهما: إنهم كانوا في ابتداء الحال قد نهوا عن ذلك كما ثبت في صحيح مسلم خشية أن يختلط بعض ذلك بالقرآن العظيم. وثانيهما: لسعة حفظهم وسيلان أذهانهم
 

Artinya, "Pada masa para Sahabat dan masa awal Tabi'in, hadits-hadits Rasulullah saw tidak terbukukan dalam kitab-kitab juga tidak urutkan berdasarkan temanya karena dua sebab.
 

Pertama, awalnya para Sahabat memang dilarang menulis hadits karena ditakutkan akan tercampur dengan Al-Qur'an. Kedua, luasnya memori serta kecerdasan mereka"
(Ahmad Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Hadyus Sari, [Mesir: Maktabah Salafiyyah, 1970 ], halaman 6).
 

Syekh Dr Nuruddin 'Itr memberi beberapa alasan mengapa para Sahabat begitu mudah menghafal hadits:

  1. Kebersihan hati. 
    Sudah maklum bahwa ilmu akan lebih mudah masuk pada hati yang bersih dari kotoran seperti sifat sombong, iri, dan sebagainya.
     
  2. Kekuatan hafalan. 
    Orang Arab pada masa itu belum begitu mengenal tulisan. Kebijakan Rasulullah pada beberapa tawanan perang Badar agar satu orang dari mereka mengajar sepuluh orang muslim cara membaca dan menulis sebagai tebusan untuk bebas, cukup menjadi gambaran seperti apa kondisi orang Arab pada masa itu.

    Namun, kondisi tersebut di sisi lain menjadikan ingatan mereka kuat, karena tertuntut untuk menghafal setiap informasi yang ingin mereka simpan. Seperti silsilah nasab hingga ke leluhur mereka, syair-syair indah yang disenandungkan para penyair, mereka bisa menghafalnya dengan hanya sekali mendengar, meskipun syair tersebut panjang.
     
  3. Keyakinan agama yang kuat.
    Mereka sangat yakin bahwa tidak ada kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, serta keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengan berpedoman pada agama Islam. Keyakinan ini melahirkan semangat dan cita-cita tinggi untuk mendalami ilmu agama;
     
  4. Kedudukan hadits dalam agama
    Hadits merupakan sumber primer ajaran agama, maka sudah tentu isi kandungannya tertancap kuat dalam hati dan lekat dengan perilaku mereka sehari-hari. Hal ini tentu memudahkan mereka menghafal hadits, karena isi kandungannya sudah melekat dengan diri mereka;
     
  5. Cara mengajar Rasulullah saw
    Rasulullah paham betul bahwa sepeninggal beliau, nasib agama Islam ada di tangan para Sahabat. Maka beliau mempersiapkan mereka untuk mengemban tanggungjawab ini.

    Salah satu metode beliau dalam mengajar para Sahabat adalah dengan mengulang-ulang hadits yang beliau sampaikan, menyampaikan hadits sedikit demi sedikit, dan tidak berpanjang-panjang dalam menyampaikannya.

    Ini dilakukan agar semua yang beliau sampaikan dapat melekat di hati para Sahabat. Rasulullah juga mampu menyampaikan hadits dengan singkat namun padat secara makna. (Nuruddin 'Itr, Manhajun Naqdi fi 'Ulumil Hadits, [Damaskus: Darul Fikr: 2017], halaman 45-47).
 

Keadaan para Tabi'in dalam menghafal dan menjaga hadits tidak jauh berbeda dengan para Sahabat. Karenanya, meskipun hadits-hadits Rasulullah saw baru mulai terbukukan kurang lebih 90 tahun setelah beliau wafat, namun hal itu tidak lantas mengurangi validitasnya. Selain itu juga tidak berarti menelantarkannya. Karena hadits-hadits tersebut tersimpan rapi dalam memori para Sahabat dan Tabi'in. Mereka dapat mentransormasikannya menjadi tulisan kapan pun mereka mau. Wallahu a'lam.


Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo