Ilmu Hadits

Living Hadits, Tradisi Lisan yang Menguat di Masyarakat

Kam, 21 September 2023 | 19:00 WIB

Living Hadits, Tradisi Lisan yang Menguat di Masyarakat

Living Hadits, Tradisi Lisan yang Mengakar di Masyarakat. (Foto ilustrasi: NU Online)

Untuk mengkaji hadits-hadits yang hidup di tengah masyarakat dan menjadi sebuah tradisi berbentuk lisan, maka diperlukan Ilmu Living hadits, yaitu suatu cabang dalam disiplin ilmu hadits yang lebih rekat kepada pendekatan ilmu sosial seperti fenomenologi dan antropologi. 


Tradisi lisan dalam Living hadits merupakan tradisi tutur yang memiliki asumsi awal bersumber dari hadits-hadits Nabi. Hal ini sebagaimana tradisi bacaan bilal shalat Jumat, bacaan imam shalat Jumat, bacaan imam ketika shalat lima waktu, dan lain-lain.


Sebagai contoh misalnya adalah tradisi lisan berupa baca tahlil di suatu pondok pesantren. Membaca doa dan zikir yang berada dalam susunan bacaan tahlil merupakan suatu tradisi lisan yang dilestarikan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Pada tradisi tersebut, terdapat indikasi bahwa lafaz-lafaz yang digunakan bersumber dari hadits Nabi. Mungkin sebagian orang yang sudah tahu, namun ada juga yang tidak mengetahui bahwa lafaz-lafaz tersebut disusun dari hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.


Berarti, secara praktik, para santri di pondok pesantren selepas shalat Jumat berkumpul di makam Kiai mereka, ada satu orang perwakilan yang memimpin, kemudian pembacan tahlil pun dimulai. Diawali dengan membaca surah al-Fatihah untuk Rasulullah Saw, kemudian para sahabat dan tabi'in. Selanjutnya al-Fatihah untuk para ulama, wali-wali Allah dan orang-orang saleh. Adapun al-Fatihah yang terakhir untuk orang tua, guru-guru, kemudian kiai dan keluarganya.


Selanjutnya diteruskan dengan membaca surah Yasin hingga selesai dengan dipimpin oleh satu orang. Setelah pembacaan Yasin selesai, maka dilanjutkan dengan pembacaan tahlil sebagaimana biasanya dan diakhiri dengan membaca doa.


Terkait dengan tradisi ziarah kubur setelah Jumat di pesantren tersebut didasari oleh hadits yang terdapat dalam kitab Kanz al-‘Ummal (’Ali ibn Hisam al-Din Al-Hindi, Kanzu Al-’Ummal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989, jilid XVI, hal. 479):


من زار قبر والديه أو أحدهما في كل يوم جمعة فقرأ عنده يس غفر الله له بعدد كل حرف منها


Artinya, “Siapa pun yang menziarahi kuburan kedua orang tuanya, atau salah satu dari keduanya di hari Jumat, kemudian membacakan surah Yasin, maka Allah akan mengampuninya sebab setiap huruf yang ia baca.”


Informasi yang penting bahwa Living hadits tidaklah meneliti hadits yang dijadikan pijakan dalam suatu tradisi dari segi kualitas, apakah ia shahih, hasan atau dha’if. Penelitian Living hadits hanya sampai pada taraf melacak suatu tradisi dan melakukan deskripsi sebagaimana deskripsi pada fenomena sosial.


Selanjutnya, terkait dengan bacaan tahlil, hadits-hadits yang mendasari pembacaan rangkaian tahlil di pesantren ini tampaknya sudah umum diketahui. Misalnya seperti riwayat dalam Shahih Muslim tentang membaca Al-Quran secara umum.


اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ


Artinya, “Bacalah Al-Quran, sungguh ia datang pada hari kiamat kelak sebagai penyelamat bagi orang-orang yang membacanya”.


Selanjutnya terkait dengan bacaan shalawat yang ada dalam tahlilan pun memiliki dasar dari hadits yang tercantum dalam Musnad Ahmad, yaitu:


عن أنس بن مالك رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من صلَّى عليَّ صلاة واحدة صلَّى الله عليه عشر صلوات وحط عنه عشر خطيئات».


Adapun bacaan lafaz tahlil atau la ilaha illallah yang ada dalam rangkaian bacaan tahlil, di mana lafaz ini menjadi bacaan yang paling utama, ia bersumber dari hadits yang tercantum dalam Sunan al-Nasai:


عن جابر -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول: )أفضل الذِّكر: لا إله إلا الله(


Artinya, “Dari Jabir rhadhiyallahu ‘anhu, aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan, ‘Sebagik-baiknya zikir adalah lafaz La Ilaha Illallah’”. (HR al-Nasai)


Selanjutnya terkait dengan bacaan tasbih (subhanallah wa bihamdihi subhanallah al-‘azhim) yang terdapat dalam rangkaian bacaan tahlil didasarkan pada hadits yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ (رواه البخاري)


Artinya, “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan dicintai Allah yang Maha Rahman, yaitu Subhanallah al-‘azhim dan Subhanallah wabihamdih.” (HR. Bukhari)


Berpacu kepada tradisi lisan berupa bacaan tahlil yang terimplementasi dari hadits-hadits Nabi, rupanya tradisi ini mendidik santri secara tidak langsung untuk mengamalkan sunah-sunah Rasulullah Saw dengan mengamalkan bacaan-bacaan yang beliau anjurkan. Meskipun terkadang pengamalan hadits dalam tradisi lisan sebagaimana dipraktikkan dan dituturkan oleh Nabi Saw di masanya mengalami transformasi dan sedikit pergeseran di masa sekarang.


Selain tradisi lisan berupa rangkaian bacaan tahlil yang bersumber hadits-hadits Nabi, bentuk lainnya adalah semisal imam shalat Jumat biasa membaca surat al-A'la dan surat al-Ghasyiyah. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi yang mungkin tidak semua kaum Muslimin mengetahui bahwa ia bersumber dari hadits Nabi yang salah satunya diriwayatkan oleh Imam Muslim:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ


Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca di dalam shalat dua hari raya dan shalat Jumat dengan: Sabbihisma Rabbikal a’la dan Hal ataka haditsul ghasyiyah”. (HR Muslim).


Demikianlah penjelasan mengenai tradisi lisan yang bersumber dari hadits, di mana Living hadits secara teknis menjadi ilmu yang mewadahi penelitian dan pembahasan budaya dan tradisi bahkan fenomena yang memiliki indikasi nalar hadits. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences