Ilmu Tauhid

Sifat Kemahatinggian Allah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

Rab, 15 Agustus 2018 | 11:00 WIB

Sifat Kemahatinggian Allah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

Menetapkan sifat kemahatinggian Allah bukan berarti menetapkan arah atas bagi Allah, sama sekali tidak.

Di antara salah satu sifat Allah yang menggambarkan kemuliaan adalah sifat ‘uluw. Secara etimologis, ‘uluw bermakna ketinggian. Secara terminologis, kaum muslimin seluruhnya memaknai sifat ini sebagai sifat Kemahatinggian Allah di atas segalanya. Ungkapan-ungkapan sehari-hari yang biasa dipakai untuk menyebut sifat ini antara lain:
 
  • Penggunaan kata Ta’âlâ setelah kata Allah. Istilah Allah Ta’âlâ berarti Allah Yang Mahatinggi. Adapun istilah Allah subhânahu wata’âlâ berarti Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi. 
  • Bacaan subhâna rabbiy al-a’lâ dalam sujud bermakna Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi. 
  • Salah satu Asmaul Husna yang biasa dipakai kaum muslimin adalah al-‘Aliyyu dan al-Muta’âl, keduanya berarti Yang Mahatinggi.
  • Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan ketinggian, seperti di langit, di atas Arasy dan semisalnya.
 
Berdasarkan kenyataan di atas, kita tahu secara pasti bahwa tak ada satu pun orang Islam yang menolak sifat ‘uluw ini sebab seluruhnya terbiasa dengan ungkapan di atas kecuali golongan Jahmiyah (penganut paham bahwa Allah tak punya sifat apa pun) yang kini telah musnah. Akan tetapi Ahlussunnah wal Jama’ah berbeda dalam memahami sifat ini dengan kelompok teologis lainnya seperti Mujassimah-Musyabbihah (penganut paham bahwa Allah punya sifat fisik) di satu sisi yang terlalu literalis dan Jahmiyah di sisi lain yang terlalu mendewakan akal. Dalam perspektif Aswaja, sifat ‘uluw bukanlah ketinggian dalam arti tempat, arah atau koordinat sebab Allah bukanlah jism (entitas fisikal-material) yang menempati ruang atau terbatas dalam arah.
 
Imam at-Thahawi al-Hanafi (321 H) dalam al-‘Aqîdah at-Thahâwiyah menuturkan aqidah Imam Abu Hanifah (148 H) sebagai berikut:
 
وتعالى عن الحدود والغايات ، والأركان والأعضاء والأدوات ، لا تحويه الجهات كسائر المبتدعات
 
“Mahasuci Allah dari adanya batasan-batasan ukuran dan ujung-ujung, juga dari adanya unsur-unsur dan anggota badan. Dia  tak diliputi berbagai arah seperti halnya seluruh hal yang baru.” 
 
Senada dengan aqidah Imam Abu Hanifah di atas, Imam Ibnul Jauzi al-Hanbali (597 H) menuturkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) sebagai berikut:
 
كان أحمدُ لاَ يقولُ بالجهةِ للباري لأن الجهات تخلى عما سواها
 
“Imam Ahmad tak mengatakan adanya arah bagi Allah sebab seluruh arah meniscayakan kekosongan dari selainnya.” (Ibnu al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybîh bi Akaffi at-Tanzîh, 135)
 
Adapun makna sifat ‘uluw yang dimaksud oleh al-Qur’an dan hadits tersebut dijelaskan oleh Imam al-Hafidz al-Baihaqi (458 H) sebagai berikut:
 
قَالَ الْحَلِيمِيُّ فِي مَعْنَى الْعَلِيِّ: إِنَّهُ الَّذِي لَيْسَ فَوْقَهُ فِيمَا يَجِبُ لَهُ مِنْ مَعَالِي الْجَلَالِ أَحَدٌ، وَلَا مَعَهُ مَنْ يَكُونُ الْعُلُوُّ مُشْتَرَكًا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ، لَكِنَّهُ الْعَلِيُّ بِالْإِطْلَاقِ
 
“Al-Halimi berkata tentang makna al-‘Aliyyu bahwasanya Allah adalah Dzat yang dalam hal keluhuran dan kemuliaan tak ada satupun yang di atasnya, dan tak ada yang bersamanya dan setara dalam hal ketinggian. Akan tetapi, itu adalah ketinggian yang mutlak (bukan ketinggian yang terbatas dalam arah).” (al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz I, halaman 52)
 
Jadi, menetapkan sifat ‘uluw bukan berarti menetapkan arah atas bagi Allah, sama sekali tidak. Begitu pula sebaliknya, Asy’ariyah tidak bisa disebut menafikan sifat ‘uluw dengan alasan mereka menafikan adanya arah bagi Allah, seperti yang gencar diwacanakan para pembenci manhaj aqidah mayoritas ulama ini. Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), yang dikenal sebagai Imam para Ahli Hadits, menjelaskan kesalahpahaman ini sebagai berikut:
 
وَلَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِ جِهَتَيِ الْعُلُوِّ وَالسُّفْلِ مُحَالٌ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُوصَفَ بِالْعُلُوِّ لِأَنَّ وَصْفَهُ بِالْعُلُوِّ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى وَالْمُسْتَحِيلُ كَوْنُ ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ الْحِسِّ وَلِذَلِكَ وَرَدَ فِي صِفَتِهِ الْعَالِي وَالْعَلِيُّ وَالْمُتَعَالِي وَلَمْ يَرِدْ ضِدُّ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْء علما جلّ وَعز
 
"Kemustahilan arah atas dan bawah bagi Allah bukan berarti Dia tak bisa disifati dengan sifat al-‘uluw sebab penyifatan Allah sebagai ‘uluw adalah dari segi makna dan mustahil dari segi fisikal-inderawi. Karena itulah, ada ayat/hadits yang menyatakan sifat al-‘Âliy, al-‘Aliyyu dan al-Muta’âliy tetapi tak pernah ada kebalikannya meskipun Ilmu Allah Maha-Meliputi segalanya." (Ibnu Hajar, Fath al-Bâry, juz VI, halaman 136)
 
Bila sifat ‘uluw bukan ketinggian dalam hal tempat, lalu bagaimana para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah memahami firman Allah yang menyatakan bahwa Allah di langit, di atas Arasy? Untuk menjawabnya, Imam al-Hafidz al-Baihaqi menegaskan:
 
وَلَيْسَ مَعْنَى قَوْلِ الْمُسْلِمِينَ: إِنَّ اللَّهَ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، هُوَ أَنَّهُ مُمَاسٌّ لَهُ، أَوْ مُتَمَكِّنٌ فِيهِ، أَوْ مُتَحَيِّزٌ فِي جِهَةٍ مِنْ جِهَاتِهِ، لَكِنَّهُ بَائِنٌ مِنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ خَبَرٌ جَاءَ بِهِ التَّوْقِيفُ فَقُلْنَا بِهِ، وَنَفَيْنَا عَنْهُ التَّكْيِيفَ، إِذْ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ "
 
"Pernyataan kaum muslimin bahwa Allah istawa atas Arasy bukan berarti bahwa Ia menyentuh Arasy, bertempat di Arasy atau terbatas dalam salah satu arah Arasy, akan tetapi Ia terpisah dari seluruh makhluknya. Hanya saja ada ayat/hadits yang menyatakan itu, maka kami mengatakan hal yang sama dan menafikan adanya mekanisme teknis sebab tiada satu pun yang sama dengan Allah sedikitpun dan Allah Maha-Mendengar dan Maha-Melihat." (al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz II, halaman 280)
 
Demikianlah aqidah Alussunnah wal Jamaah yang dijelaskan oleh para Imam Mazhab maupun para Imam Ahli Hadits terkemuka. Akan tetapi, golongan Mujassimah dan Musyabbihah, yang merupakan minoritas dalam tubuh kaum muslimin, meyakini bahwa sifat ‘uluw berarti ketinggian secara fisik di atas sana. Dalam benak mereka, untuk mengimani sifat ‘uluw harus meyakini keberadaan Allah di atas sana secara fisik. Tentu saja keyakinan seperti ini menyimpang sebab meniscayakan bentuk fisikal-material (jism) bagi Allah.
 
Dengan makna ala Mujassimah ini, selain mengotori kemuliaan Allah, sifat ‘uluw hanya akan bersifat temporer ketika alam semesta ada. Sebelum tercipta alam semesta, Allah berarti belum bersifat ‘uluw sebab Ia belum berada di atas apa pun. Begitu pula setelah alam semesta hancur, maka Allah sudah tidak bersifat ‘uluw lagi sebab semua yang di bawahnya sudah tiada sehingga otomatis Dia tak bisa disebut “di atas” lagi. Ini Keyakinan seperti ini nyata-nyata menyimpang sebab seluruh sifat Allah tak punya awal mula dan takkan pernah sirna. Wallahu A’lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember