Shofiyatul Ummah
Kolomnis
Wanita yang datang bulan atau mengalami haid, maka ia berstatus sebagai orang yang sedang hadas besar, yang secara syariat tidak dapat diperlakukan sebagaimana orang yang suci. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan atau harus dijauhi bagi orang yang sedang hadats besar.
Di antara hal yang perlu dilakukan adalah melaksanakan mandi besar ketika darah berhenti. Sedangkan di antara hal yang perlu dijauhi adalah shalat, tawaf serta membaca atau menyentuh Mushaf Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah:
عن عائشة رضي الله عنها، أن فاطمة بنت أبي حبيش كانت تستحاض، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: أن دم الحيض دم أسود يعرف، فاذا كان ذلك فامسكي عن الصلاة، فاذا كان الآخر فامسكي عن الصلاة وصلي (رواه ابو داود)
Artinya, “Dari Sayyidah Aisyah ra bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengeluarkan darah, kemudian Nabi berkata kepadanya, “Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang sudah diketahui, maka jika darah tersebut keluar, tinggalkanlah shalat, dan jika selain darah haid yang datang maka wudhulah, kemudian shalatlah." (HR Abu Dawud). (Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, [Al-Haramain: 2009], halaman 38).
Dari hadis di atas jelas Nabi saw memerintahkan siapapun wanita yang sedang mengalami menstruasi untuk tidak melaksanakan shalat. Bahkan sengaja melaksanakan shalat saat sedang haid merupakan salah satu dosa besar.
Lalu dari shalat yang ditinggalkan apakah ada kewajiban untuk mengqadha’nya?
Mengenai kewajiban mengqadha’ shalat bagi orang yang haid juga terdapat hadis yang tegas menjelasakan hal tersebut. Yakni hadis Sayyidah Aisyah yang berbunyi:
كُنَّا نحيضُ على عهد رسول الله ﷺ، ثُمَّ نَطْهرُ، فيأمرنا بقضاءِ الصَّوم، ولا يأمرُنا بقضاءِ الصَّلاة (رواه النسائى)
Artinya, “Kami semua haid pada masa Nabi saw, kemudian kami suci. Lalu Nabi saw memerintahkan kami untuk mengqadha’ puasa dan tidak memerintahkan kami untuk mengqadha’ shalat". (HR. Nasa’i). (Abu Abdirrahman Al-Nasa’i, Kitab Sunan An-Nasa’i, [Dar Al-Risalah Al-Alamiyyah], juz IV, halaman 808).
Dari hadis-hadis yang menjelaskan ketentuan meninggalkan shalat dan hukum mengqadha’nya ini ulama berpendapat bahwa bagi wanita haid sejatinya tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ shalat yang ditinggalkan semasa haid. Bahkan jika seseorang memaksa untuk mengqadha’nya, menurut Imam Ibnu Hajar hukumnya adalah haram dan berdosa. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Minhajul Qawim Syarhu Muqaddimah Hadramiyah, [Dar Al-Qutub Al-Alamiyyah], juz I, halaman 126).
Ketidakwajiban mengqadha’ shalat sebagaimana yang ditetapkan syariat oleh ulama dipahami sebagai bentuk toleransi dan keringanan agama agar tidak memberatkan terhadap para pengikutnya, sebagaimana penjelasan berikut:
ويجب عليها اي الحائض قضاء الصوم بامر جديد لان منعها من الصوم عزيمة والمنع والوجوب لا يجتمعان دون الصلاة اجماعا فيهما لخبر عائشة (كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة) للمشقة في قضاءها لانها تكثر
Artinya, “Wajib baginya (wanita haid) untuk mengqadha’ puasa dengan perintah yang baru karena dilarangnya wanita haid untuk berpuasa merupakan 'azimah, sedangkan kewajiban dan larangan, keduanya tidak mungkin berkumpul, dan tidak wajib mengqadha’ shalat menurut kesepakatan ulama’ (Ijma’) di dalam keduanya. Karena adanya hadis Sayyidah Aisyah ra, “Kami diperintah untuk mengqadha’ puasa namun kami tidak diperintah mengqadha’ shalat”, dengan alasan memberatkan (masyaqqah) dalam kewajiban mengqadha’ shalat. Sebab shalat memiliki jumlah yang banyak." (Said bin Muhammad Ba’ali Ba’asyan Al-Hadrami, Syarhu Muqaddimah Hadramiyah Al-Musamma Busyral Karim, [Al-Haramain], juz I, halaman 163).
Lain halnya jika wanita meninggalkan shalat saat haid padahal darahnya sudah berhenti dan ia belum melaksanakan mandi besar, maka tentu shalat yang ditinggalkan wajib untuk diqadha'; atau meninggalkan shalat saat waktu shalat telah tiba namun wanita tersebut belum melaksanakan shalat dan kemudian ia terpaksa meninggalkan shalatnya sebab datangnya darah haid, maka wanita dengan kasus demikian berkewajiban untuk mengqadha’ shalat yang ditinggalkan sebelum haid. Sebab saat waktu shalat telah tiba dan darah haid belum keluar ia sudah terkena kewajiban untuk melaksanakan shalat tersebut.
Karena itu penting kiranya mengutip argumentasi Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya:
ومن ثم لو اعتادت الانقطاع في جزء من الوقت بقدر ما يسع الوضوء والصلاة ووثقت بذالك لزمها تحريه فاذا وجد الانقطاع فيه لزمها المبادرة بالفرض
Artinya, “Dan karena itu, jika seorang wanita terbiasa putus darahnya dalam bagian waktu tertentu, sekira waktu yang memuat wudhu’ dan shalat, serta ia yakin dengan kemungkinan tersebut, maka ia wajib untuk memperhatikan waktu tersebut. Jika ditemukan terputusnya darah dalam waktu tadi, wajib baginya untuk segera melaksanakan kefardhuan." (Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Alfadzil Minhaj, [Darul Fikr], juz I, halaman 421).
Penjelasan di atas menunjukkan kewajiban bagi wanita untuk berhati-hati dan memperhatikan waktu-waktu yang mungkin saja ia diwajibkan shalat dalam waktu tersebut, baik sebab terputusnya darah haid saat waktu shalat masih tersisa; atau saat mulai akan keluar darah dan ia mampu melaksanakan shalat namun tidak melaksanakannya.
Karena itu Imam Malik merekomendasikan kepada para wanita yang menjumpai tanda-tanda darah akan berhenti agar rutin mengecek keluarnya darah dalam dua waktu utama: pertama setiap akan melaksanakan shalat; dan kedua adalah pada setiap menjelang tidur di malam hari. (Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi, As-Syarhul Kabir lis Syaikh Ad-Dardir wa Hasyiyatud Dasuqi, [Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah], juz I, halaman 281). Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Sumenep Madura
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua