Syariah

Dipaksa Membunuh oleh Atasan, Demikian Kajian Hukum Islam

Kam, 16 Februari 2023 | 17:00 WIB

Dipaksa Membunuh oleh Atasan, Demikian Kajian Hukum Islam

Dipaksa untuk membunuh. (Ilustrasi: via baomoi.com)

Pembunuhan merupakan sesuatu yang sangat dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebuah hadis memberikan peringatan tentang bahaya melakukan pembunuhan, terlebih jika dikaitkan dengan betapa mulianya nyawa seorang muslim di hadapan Allah swt.:


لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل رجل مسلم


Artinya: “Hancurnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Tirmidzi no.1395 dan An Nasai 7:82)


Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga memberikan ancaman dosa yang begitu besar bagi pembunuh seorang muslim:


لو أجمع  أهل السموات والأرض على قتل رجل مسلم، لأكبهم الله في النار


Artinya: “Sekiranya penduduk langit dan bumi bersatu untuk membunuh seorang muslim, maka Allah benamkan mereka semua di neraka.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Ash Shaghir, 565)


Lantas bagaimana dengan seorang prajurit? Bagaimana jika ia diperintahkan melakukan pembunuhan oleh atasannya? Apakah hadits di atas tetap berlaku bagi dirinya? Atau dia tetap mesti menaatinya karena dalam hal ini ada sebuah ayat Alquran yang mewajibkan kita untuk mengikuti perintah “ulil amri” di samping menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.


Dalam persoalan ini, Imam al-Syirazi dalam Kitab al-Muhadzdzab, juz III, halaman 178 memberikan penjelasan terkait jika seorang prajurit mendapatkan perintah untuk membunuh dari atasannya:


وإن أمر الإمام بقتل رجل بغير حق فإن كان المأمور لا يعلم أن قتله بغير حق وجب ضمان القتل من الكفارة والقصاص والدية على الإمام لأن المأمور معذور في قتله لأن الظاهر أن الإمام لا يأمر إلا بالحق وإن كان يعلم أنه يقتله بغير حق وجب ضمان القتل من الكفارة والقصاص أو الدية على المأمور لأنه لا يجوز طاعته فيما لا يحل 


Artinya: “Jika seorang penguasa menyuruh seseorang laki-laki untuk membunuh tanpa hak, maka apabila seseorang yang diperintah tidak mengetahui bahwa pembunuhannya tanpa hak, maka konsekuensi pembunuh berupa hukuman kafarat, qishas, dan diyat wajib ditanggung oleh penguasa. Hal ini dikarenakan orang yang diperintah dimaafkan dalam pembunuhannya, dan karena seorang penguasa tidak boleh memerintah kecuali dengan hak (benar). Dan apabila seorang yang disuruh mengetahui bahwa pembunuhannya itu tanpa hak, maka yang wajib menanggung hukuman kafarat, qishas atau diyat adalah orang yang disuruh. Hal ini karena tidak diperbolehkan mematuhi sesuatu yang tidak halal.”


Dari penjelasan Imam al-Syirazi di atas bisa kita pahami beberapa hal, yakni jika perintah pembunuhan itu sifatnya hak seperti petugas algojo yang diperintahkan untuk membunuh terdakwa yang sudah divonis mati, maka tidak ada persoalan dalam hal ini. Artinya, hal tersebut diperbolehkan.


Fokus Imam al-Syirazi dalam keterangan di atas ialah jika pembunuhan dilakukan secara tidak hak. Di mana dalam hal ini dikembalikan kepada si prajurit penerima perintah. Apabila ia tidak tahu bahwa perintah pembunuhan itu tidak hak, maka seluruh konsekuensi pembunuhan dikembalikan kepada atasan pemberi perintah, sementara jika penerima perintah tahu bahwa pembunuhan itu tidak hak, maka ia yang menerima segala hukuman.

 

Dalam kondisi ini, atasan pemberi perintah tetap mendapatkan sanksi hukum karena ia tetap bertanggung jawab sebagai biang keladi terjadinya pembunuhan.


Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.


Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes