Syariah

Hukum Komplain dalam Jual Beli

Rabu, 9 Oktober 2024 | 11:15 WIB

Hukum Komplain dalam Jual Beli

Komplain dalam jual beli (NU Online).

Harapan terbesar setiap pembeli setelah melakukan pembelian adalah mendapatkan barang atau layanan yang sesuai keinginannya. Namun, harapan seperti ini tidak selalu berujung manis.
 

Di tengah-tengah harapan kepuasan atas transaksi, sering kali muncul rasa kecewa ketika produk yang diterima tidak sesuai dengan ekspektasi, atau layanan yang diberikan jauh dari yang dijanjikan. Momen seperti ini sering memicu komplain, sebuah ekspresi kekecewaan yang diharapkan mampu menjadi jalan solusi antara konsumen dan penjual atau penyedia jasa.
 

Komplain, acapkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal dalam konteks ini sebenarnya adalah bentuk komunikasi yang bisa memperbaiki kualitas transaksi dan membangun kepercayaan lebih lanjut antara konsumen dengan penyedia barang atau jasa, jika ditangani dengan tepat.
 

Di Indonesia sudah berdiri lembaga yang bertugas melindungi hak-hak konsumen. Yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ia didirikan pada 11 Mei 1973. YLKI berperan sebagai mediator antara konsumen dan pelaku usaha dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan produk atau layanan yang tidak sesuai dengan harapan.
 

Agama Islam adalah agama yang komprehensif. Di antara prinsip utamanya adalah keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan bagi para pemeluknya. Sebab itu, syariat Islam mengatur secara cukup detail masalah mu'amalah. Dalam konteks pembahasan ini dikenal istilah 'khiyar'.
 

Makna khiyar adalah mencari yang terbaik dari dua hal, antara melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
 

Sebenarnya, hukum asal jual beli adalah akad yang mengikat secara permanen (luzum), karena tujuannya adalah untuk memindahkan kepemilikan, dan konsekuensi dari kepemilikan adalah adanya hak untuk mengelolanya. Namun, syariat memberikan hak khiyar sebagai bentuk dispensasi bagi kedua belah pihak yang bertransaksi. (Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz III, halaman 33).
 

Hal ini menjelaskan bahwa secara prinsip jual beli itu mengikat (luzum), namun Islam memberikan fleksibilitas berupa khiyar sebagai bentuk belas kasih kepada para pihak yang bertransaksi.


Sebab bisa jadi setelah berlangsung transaksi, konsumen menemukan cacat yang membuatnya kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi semula. Pada kondisi ini konsumen dibolehkan komplain atau bahkan membatalkan transaksi. Istilah fiqih menyebutnya dengan 'khiyar aib'.
 

Namun demikian bukan berarti konsumen boleh serta merta komplain atau bahkan mengembalikan barang yang telah dibeli dengan dalih adanya cacat. Tentu hal ini bisa jadi merugikan penyedia barang atau penjual, maka fiqih mua'malah menetapkan beberapa ketentuan kebolehan konsumen mengambil langkah pengembalian.
 

Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu batasan cacat atau aib itu barang dagangan:
 

ضابط العيب : ما يُنْقِصُ العَينَ أَوِ القَيمَةَ نَقْصاً يَفُوتُ بِهِ غَرَضُ صحيح ، والغالِبُ في جِنْسِ ذَلِكَ المَبيعِ عَدَمُهُ، وَيَثْبُتُ ذَلِكَ في جميع أنواع البيع
 

Artinya, "Kriteria cacat adalah sesuatu yang mengurangi kondisi fisik atau nilai sehingga tujuan pembelian yang semestinya menjadi tidak tercapai (serta tidak dapat lagi ditolerir), dan pada umumnya cacat tersebut tidak ada dalam jenis barang tersebut. Ketentuan ini berlaku dalam semua jenis jual beli."
 

Kemudian setelah diketahui kriteria cacat atau aib yang dimaksud, ada empat syarat yang harus terpenuhi untuk mengembalikan barang yang sudah dibeli sebab ditemukan adanya cacat: 
 

١. أن يكون العيب قديماً : أي موجوداً عند البائع قَبْلَ قَبْضِ المُشتري ؛ ان المبيع قبل القبض مِن ضَمان البائع
٢. تَرْكُ الاستعمال : بَعْدَ الاطلاعِ عَلَيْهِ وَلَو طالَتِ المُدَّة، فَلَو اسْتَخْدَمَهُ وَلَو لِفَتْرَةٍ قَليلَة فَلا رَدَّ
٣. أَنْ يَكُونَ الرَّدُّ عَلى الفور : عادةً ، فإن تأخَّرَ لِغَيرِ عُذْرِ بَطَلَ الخيار
٤. أَنْ يَكونَ العَيبُ باقياً حين الرد ، فَلَو زَالَ العَيبُ قَبْلَهُ فَلا رَدَّ

 

Artinya, "(1) Cacat tersebut harus sudah ada sejak awal: Yakni, cacat tersebut harus sudah ada pada barang sebelum pembeli menerima barang, karena barang tersebut sebelum diterima masih menjadi tanggungan penjual. (2) Tidak menggunakan barang: Setelah mengetahui adanya cacat, pembeli tidak boleh menggunakan barang tersebut, meskipun waktu penemuan cacatnya lama. Jika pembeli sudah menggunakannya, meskipun hanya sebentar, maka hak untuk mengembalikan barang menjadi hilang.
 

(3) Pengembalian harus segera secara adatnya. Jika ditunda tanpa uzur, maka hak untuk membatalkan transaksi (khiyar) menjadi batal. (4) Cacat masih ada saat pengembalian. Jika cacatnya hilang sebelum pengembalian dilakukan, maka barang tidak dapat dikembalikan." (Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaf, Taqriratus Sadidah, [Riyad, Darul Mirats An-Nabawi: 2013], halaman 39-41).
 

Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan, boleh komplain bahkan menggagalkan transaksi jual beli yang telah dilakukan apabila konsumen mendapati barang yang dibeli tidak sesuai dengan ekspektasi semula, karena adanya cacat pada barang yang memenuhi kriteria dan syarat-syarat di atas. Wallahu a'lam. 
 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo