Syariah

Ketika Nabi Musa Meminta Lisannya Sembuh Seperlunya Saja

Sel, 11 Juli 2023 | 17:00 WIB

Ketika Nabi Musa Meminta Lisannya Sembuh Seperlunya Saja

Ketika Nabi Musa Meminta Lisannya Sembuh Seperlunya Saja. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Nabi adalah manusia yang bisa mengalami kejadian tidak mengenakkan meskipun memiliki derajat yang mulia. Banyak hikmah yang bisa dipetik dengan gangguan kesehatan yang pernah dialami oleh para Nabi. Tidak lain, pelajaran hidup Nabi saat tidak sehat sangat perlu diketahui oleh umat Islam untuk menguatkan keimanannya ketika mengarungi kehidupan di dunia ini terutama ketika mengalami sakit.


Akidah Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Rasul memiliki sifat basyariyah atau sifat sebagaimana manusia yang lain. Nabi dan rasul pernah sakit seperti orang umum agar umatnya bisa meniru dan meneladaninya saat ditimpa penyakit. Namun, penyakit yang menimpa Nabi bukanlah penyakit yang membuat kehormatannya turun sehingga memiliki konsekuensi dijauhi oleh umatnya. Hal ini tentu masuk akal karena Rasul bertugas dakwah untuk menarik manusia ke jalan Allah.


Salah satu modal dakwah yang penting adalah kekuatan lisan. Namun, ada nabi dan rasul yang pernah mengalami kekakuan lisan, yaitu nabi Musa as. Bila Nabi Musa pernah mengalaminya, bagaimana menyelaraskan pemahaman akidah tentang sifat Rasul agar keimanan umat Islam terhadap Nabi Musa tetap terjaga? Bagaimana kisah lengkap tentang kekakuan lisan Nabi Musa berdasarkan kitab sejarah Islam? Apa hikmah yang dapat diambil dari kisah itu?


Ibnu Katsir menceritakan sebuah kisah tentang masalah kesehatan yang dialami oleh Nabi Musa dalam kitab Qashashul Anbiya (Ibnu Katsir, Qashashul Anbiya, [Makkah, Maktabah Ath-Thalib Al-Jama’i: 1988 M]).


Dalam surat Thaha, Allah berfirman: “Pergilah kepada Fir’aun. Dia benar-benar telah melampaui batas. Dia (Musa) berkata, Ya Rabbku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti  perkataanku.” (Al-Qur’an Surat Thaha: 24-28)


Ada yang menyebutkan bahwa lidah Nabi Musa cedal karena bara api yang dulu pernah Musa letakkan di lidahnya saat Fir’aun hendak menguji akalnya. Hal itu terjadi setelah nabi Musa  kecil menarik jenggot Fir’aun hingga Fir’aun bermaksud membunuhnya. Istri Fir’aun yang bernama Asiah mengkhawatirkan Musa lalu berkata kepada suaminya bahwa “dia masih kecil.”


Fir’aun kemudian menguji Musa kecil dengan meletakkan buah dan bara api di hadapannya. Musa kecil bermaksud untuk meraih buah-buahan, tapi tangannya dialihkan oleh malaikat, lalu Musa mengambil bara api dan ia letakkan di lidahnya. Akibat terkena bara api ini, lidahnya cedal. Setelah menjadi nabi, Musa meminta kepada Allah agar kekakuan di lidahnya dihilangkan sebagian, sebatas agar kata-katanya bisa dipahami dan tidak meminta untuk dihilangkan secara total.


Hasan Al-Basri mengatakan, “Para rasul hanya meminta sebatas yang diperlukan. Karena itulah lidah Musa masih kaku”. Oleh karena itu, Fir’aun menghina tutur kata Nabi Musa. Kejadian ini pun diabadikan di dalam Al-Qur’an sebagai berikut: “Dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataanya)?” (Al-Qur’an Surat Az-Zukhruf: 52)


Yang dimaksud bahwa tidak bisa mengutarakan maksudnya yaitu tidak bisa mengungkapkan isi hatinya. Oleh karena itu kemudian Nabi Musa berkata seperti yang difirmankan Allah dalam lanjutan Surat Thaha: “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya) dia, dan jadikanlah dia teman dalam urusanku, agar kami banyak bertasbih kepada-Mu, dan banyak mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Melihat (keadaan) kami. Dia (Allah) berfirman, sungguh telah diperkenankan permintaanmu wahai Musa.” (Al-Qur’an Surat Thaha: 29-36)


Berdasarkan uraian kisah ini, Nabi Musa pernah mengalami cedal sehingga agak kaku ketika berkata-kata. Namun, perkataan Beliau secara umum bisa dipahami dengan baik oleh orang yang mendengarnya, termasuk Fir’aun. Hanya saja karena kesombongannya, Fir’aun menghina Nabi Musa sehingga Nabi Musa merasa perlu untuk menampilkan Nabi Harun sebagai orang yang lebih fasih saat menghadapi Fir’aun.


Kondisi cedal bukanlah keadaan yang membuat nabi dijauhi oleh umatnya. Oleh karena itu, kehormatan Nabi Musa tetap terjaga meskipun mengalami gangguan kefasihan bicara. Bahkan, sebagai ikhtiar khusus Nabi Musa berdoa memohon kepada Allah untuk dilepaskan kekakuan dari lidahnya. Allah pun mengabulkan permintaan Beliau sehingga dapat menyampaikan maksud perkataannya kepada Fir’aun.


Uniknya, Nabi Musa tidak meminta agar kekakuan lidahnya disembuhkan secara total. Beliau hanya meminta seperlunya saja agar orang yang mendengar perkataannya menjadi paham. Rupanya hal ini menjadi bukti rendah hatinya Nabi Musa karena Beliau sudah diberi anugerah lain berupa diangkatnya Nabi Harun sebagai Nabi yang fasih dan siap membersamai ketika berdakwah.


Ada hikmah lain di balik permintaan nabi Musa yang unik itu. Dengan keberadaan Nabi Harun sebagai teman setia, kita dapat memahami arti pentingnya orang lain untuk berinteraksi di sekitar kita. Seseorang yang mengalami gangguan bicara memerlukan sosok teman dekat yang fasih sehingga dapat diajak untuk belajar bersama. Apabila gangguan bicara dialami oleh seorang anak, maka teman bermain dan bersosialisasi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan berbicaranya.


Ketika umat Islam mendapati ada anaknya atau keluarganya yang mengalami gangguan bicara, Nabi Musa dapat menjadi contoh teladan sepanjang masa. Mulai dari pantang berputus asa dalam ikhtiar mengatasi masalah hingga berdoa secara khusus agar gangguan bicara disembuhkan dapat dicontoh dan diterapkan oleh siapapun.


Bahkan, doa di dalam Surat Thaha di atas tidak hanya patut dipanjatkan oleh orang yang mengalami gangguan bicara secara langsung. Orang yang normal kemampuan bicaranya pun dapat menerapkan doa tersebut. Ketika dalam kondisi yang tidak kondusif, adakalanya orang yang biasanya fasih dapat mengalami kemacetan berbicara. Di sinilah pentingnya berdoa ketika akan berbicara kebaikan agar dituntun oleh Allah saat mengungkapkan maksud tersebut dalam bahasa lisan dengan lancar.


Faktor-faktor seperti kecemasan atau lupa sering menghinggapi seseorang yang sedang berbicara di depan orang lain sehingga maksud pembicaraannya tidak tersampaikan dengan baik. Dalam konteks inilah doa tersebut dapat dipanjatkan, baik sebelum berbicara maupun ketika mengalami masalah saat berbicara. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah memberi suasana yang rileks dan nyaman kepada seseorang yang mengalami gangguan bicara, termasuk dengan keberadaan teman untuk bersosialisasi. Wallahu a’lam bis shawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap