Rif'an Haqiqi
Kolomnis
Pertanyaan:
Assalamualaikum, Ustadz. Saya adalah hamba Allah yang berada di Jawa Tengah.
Bagaimana hukum seorang pedagang makanan yang menjual makanan yang tidak habis hari ini, lalu dijual kembali besok atau di hari lain tanpa memberitahu pembeli? Apakah ini termasuk menipu?
Baca Juga
Hukum Jual Beli Online
Catatan:
A. Yang dimaksud dengan makanan sisa adalah makanan yang dijual kembali masih dalam kondisi baik dan bukan makanan basi.
B. Yang dimaksud dengan tidak memberitahu pembeli adalah dalam keadaan di mana pembeli tidak bertanya.
Wassalamu'alaikum Ustadz.
Jawaban:
Wa'alaikum Salam Wr Wb. Terimakasih saudara/i atas pertanyaan yang telah disampaikan, semoga saudara/i selalu diberi kesehatan dan dimudahkan jalannya dalam mencari rezeki yang halal.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa syariat Islam bukan hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan, namun mencakup seluruh aspek dalam kehidupan manusia, mulai dari sosial hingga politik. Sebagai seorang Muslim sudah seharusnya mengikuti segala rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh syariat.
Dalam masalah jual-beli (muamalah) terdapat beberapa prinsip yang paten dalam syariat, salah satunya adalah kejujuran dan transparansi. Prinsip ini disyariatkan demi menghindari kerugian dan kekecewaan bagi kedua pihak yang bertransaksi. Berikut ini beberapa sabda Rasulullah SAW tentang larangan melakukan kecurangan dalam jual beli:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، ولَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ، إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
Artinya, "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak halal baginya menjual sesuatu yang terdapat cacat pada saudaranya kecuali ia menjelaskannya." (HR. Ibn Majah dalam Sunan Ibni Majah [Beirut: Darur Risalah Al-'Alamiyyah, 2009], juz III, halaman 356).
Kemudian, hadits lain yang menekankan pentingnya kejujuran dalam jual beli adalah sebagai berikut:
مَنْ بَاعَ عَيْبًا لَمْ يُبَيِّنْهُ، لَمْ يَزَلْ فِي مَقْتِ اللَّهِ، وَلَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تَلْعَنُهُ
Artinya, "Barangsiapa menjual sesuatu yang mengandung cacat dan tidak menjelaskannya, ia senantiasa dalam murka Allah, dan malaikat senantiasa melaknatnya" (Sunan Ibn Majah, juz III, halaman 356).
Selain itu, Rasulullah juga bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya, "Barangsiapa menipu kami (umat islam) maka ia bukan golongan kami." (HR Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim [Beirut: Dar Ihya'it Turatsil 'Arabi, 1955], juz I, halaman 99).
Dengan melihat redaksi hadits-hadits di atas, tampak bahwa Rasulullah SAW melarang keras adanya penipuan dalam transaksi jual-beli, oleh karena itu Ibnu Hajar al-Haitami mengategorikan penipuan dalam jual beli sebagai dosa besar (Az-Zawajir [Beirut: Darul Fikr, 1987], juz I, halaman 393).
Untuk mengetahui masalah ini secara lebih spesifik, kita perlu mencari penjelasan para ulama ahli fiqih tentang apa yang dimaksud penipuan tersebut. para ulama, salah satunya 'Ali Syabramallisi menjelaskan kriteria penipuan dalam jual beli sebagai berikut:
وَضَابِطُ الْغِشِّ الْمُحَرَّمِ أَنْ يَعْلَمَ ذُو السِّلْعَةِ مِنْ نَحْوِ بَائِعٍ أَوْ مُشْتَرٍ فِيهَا شَيْئًا لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْهِ مَرِيدُ أَخْذهَا مَا أَخَذَهَا بِذَلِكَ الْمُقَابِلِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْلِمَهُ بِهِ لَيَدْخُلَ فِي أَخْذِهِ عَلَى بَصِيرَةٍ
Artinya, "Batasan penipuan yang diharamkan adalah ketika penjual atau siapa pun mengetahui bahwa dalam barang dagangan terdapat sesuatu yang andaikan calon pembeli mengetahuinya, ia tidak akan membelinya dengan harga yang tersebut, maka penjual atau siapa pun yang mengetahui harus memberitahu calon pembeli tersebut, agar ia membeli barang yang benar-benar ia ketahui segala informasinya." (Hasyiyah 'Ali Syabramallisi 'alan Nihayah [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz IV, halaman 71).
Berdasarkan penjelasan di atas, penjual memiliki kewajiban untuk memberi informasi tentang cacat yang ada pada barang dagangannya kepada pembeli meskipun tanpa ditanya.
Misalnya seseorang menjual almari dengan harga 300.000. Sekilas almari terlihat mulus, namun terdapat beberapa lecet yang dapat mengurangi harga jual. Maka penjual harus menjelaskan kekurangan tersebut, sehingga calon pembeli benar-benar mengetahui sepenuhnya tentang barang yang akan ia beli.
Penerapan kaidah ini dapat menghasilkan keputusan yang berbeda, tergantung pada jenis barang yang dijual dan kebiasaan pembeli di suatu daerah. Misalnya, di sebuah daerah, sudah menjadi hal yang lumrah bagi warung makan untuk menyimpan beberapa jenis lauk yang tidak habis dan menghangatkannya kembali tanpa mengurangi kualitasnya.
Dalam kondisi seperti ini, pemilik warung tidak wajib menjelaskan bahwa lauk tersebut dimasak sehari sebelumnya, karena praktik tersebut sudah umum terjadi dan tidak memengaruhi kualitas makanan. Akibatnya, besar kemungkinan pembeli tidak akan mempermasalahkannya.
Terkait kasus saudara/i, silakan bandingkan dengan contoh di atas dan tentukan mana yang lebih sesuai dengan kondisi yang saudara/i alami. Saudara/i tentu lebih memahami kualitas barang dagangan serta kebiasaan pembeli di daerah masing-masing.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat dan mudah dipahami. Dalam berdagang, kejujuran dan pemahaman terhadap kebiasaan pembeli sangatlah penting agar transaksi tetap berjalan dengan baik dan penuh keberkahan. Wallahu a‘lam.
Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
4
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
5
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
6
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Peduli Lingkungan dan Sosial
Terkini
Lihat Semua