Syariah

Viral Caleg Menarik Kembali Uang Suap Politik, Begini Aturan Fiqihnya

Rabu, 28 Februari 2024 | 13:15 WIB

Viral Caleg Menarik Kembali Uang Suap Politik, Begini Aturan Fiqihnya

Ilustrasi Caleg Menarik Kembali Uang Suap Politik.

Belakangan ini viral Caleg menarik uang suap politik yang sudah terlanjur diberikan kepada pemilih. Lalu bagaimana sebenarnya ketentuan alokasi uang suap politik itu dalam kajian fiqih?


 

Uang suap politik atau money politik merupakan tindakan yang dilarang baik secara agama maupun undang-undang. Uang politik yang diberikan oleh Caleg kepada pemilih agar dia dipilih tergolong praktik risywah (suap). Dalam Islam, praktik risywah merupakan perbuatan dosa baik yang memberi maupun yang menerima. 
 

 

Syekh Nawawi Banten menjelaskan:
 

 

وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطائها كذلك لأنه إعانة على معصية

 

Artinya, “Menerima suap haram hukumnya. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada qadhi agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar. Memberi suap juga diharamkan sebab termasuk membantu terjadinya maksiat.” (Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, halaman 370)


 

Praktik suap politik yang dilakukan Caleg juga tergolong perkara terlarang sebagaimana tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 280 ayat (1) huruf j menyebutkan, “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”.


 

Selain itu, Pasal 286 ayat (1) menyebutkan:

 

“Pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih”.


 

Uang yang diterima melalui suap politik merupakan uang haram dan tergolong risywah (suap). Dalam fiqih, uang yang diperoleh dari suap tidak boleh dibelanjakan oleh penerima. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat terkait alokasi uang hasil suap.


 

Pendapat pertama, dikembalikan kepada pemiliknya. Uang yang diterima dari suap politik harus dikembalikan kepada pemiliknya sebab uang yang diterima dengan cara haram maka kepemilikannya tidak berpindah. Sehingga penerima suap memiliki kewajiban untuk mengembalikan kepada pemiliknya.

 

Imam As-Subki memfatwakan:
 

 

أَمَّا الرِّشْوَةُ فَحَرَامٌ بِالْإِجْمَاعِ عَلَى مَنْ يَأْخُذُهَا وَعَلَى مَنْ يُعْطِيهَا وَسَوَاءٌ كَانَ الْأَخْذُ لِنَفْسِهِ أَوْ وَكِيلًا وَكَذَا الْمُعْطِي سَوَاءٌ أَكَانَ عَنْ نَفْسِهِ أَوْ وَكِيلًا ، وَيَجِبُ رَدُّهَا عَلَى صَاحِبِهَا وَلَا تُجْعَلُ فِي بَيْتِ الْمَالِ إلَّا إذَا جُهِلَ مَالِكُهَا فَتَكُونُ كَالْمَالِ الضَّائِعِ 


 

Artinya, “Adapun risywah maka haram secara ijma’ bagi penerima dan pemberinya baik untuk diri sendiri maupun sebagai wakil, dan wajib mengembalikannya kepada pemiliknya dan tidak diberikan kepada baitul mal kecuali jika pemiliknya tidak diketahui, maka statusnya seperti mal dha’i’ (harta yang tersia-siakan).” (Taqiyuddin As-Subki, Fatawas Subki, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2015] , juz I, halaman 221)


 

Melihat pendapat Imam As-Subki, penerima suap politik harus mengembalikan uang yang diterima kepada pemiliknya atau pemberi suap. Jika tidak diketahui pemiliknya atau kesulitan dalam mengembalikan kepada pemilik asal maka baru diserahkan ke baitul mal.


 

Pendapat kedua, diserahkan langsung kepada pemerintah.
Pendapat kedua ini secara fiqih lebih lemah daripada pendapat pertama. Menurut pendapat kedua dari mazhab Syafi’i ini, uang suap politik yang diterima, dikembalikan ke baitul mal. Dalam konteks Indonesia bisa dikembalikan kepada pemerintah.
 

 

وَكُلُّ مَوْضِعٍ قُلْنَا لَا يَجُوْزُ لَهُ قَبُوْلُ الْهَدِيَّةِ فَقَبِلَهَا فَإِنَّهُ لَا يَمْلِكُهَا لِأَنَّا قَدْ حَكَمْنَا بِتَحْرِيْمِهَا عَلَيْهِ وَإِلَى مَنْ يَرُدُّهَا؟ فِيْهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا يَرُدُّهَا إِلَى الْمُهْدِي لِأَنَّ مِلْكَهُ لَمْ يَزَلْ عَنْهَا وَالثَّانِي يَرُدُّهَا إِلَى بَيْتِ الْمَالِ وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ 


 

Artinya, “Setiap keadaan yang kita katakan tidak boleh menerima hadiah, namun seseorang tetap menerimanya, maka ia tidak dapat memilikinya, karena kita telah menghukumi keharamannya bagi orang tersebut.

 

Lantas kepada siapa hadiah itu harus dikembalikan? Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama dikembalikan kepada pihak yang memberikan, karena kepemilikannya dari barang tersebut tidak pernah hilang. Pendapat kedua diserahkan ke baitul mal dan ini dhahirul madzhab”. (Abul Husain Yahya al-Umroni, Al-Bayan, [Beirut, Darul Fikr: 2019], juz V, halaman 242)


 

Uang suap politik yang diberikan seorang Caleg sejatinya harus dikembalikan kepada pemilik asalnya karena termasuk uang haram yang tidak boleh dibelanjakan. Namun apabila kesulitan dalam mengembalikan kepada pemilik asalnya, maka lebih efektif diserahkan kepada pihak pemerintahan.


 

Dalam hukum positif belum ada  kejelasan terkait harus dikembalikan kepada siapa uang suap politik tersebut. Karenanya, hendaknya ke depan pemerintah mengaturnya secara lebih jelas sebagai bagian dari upaya membangun aturan main pemilu secara lebih komprehensif. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan