Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 166-167: Jangan Tiru, Begini Ini Perilaku Pemimpin yang Tak Bertanggung Jawab

Rab, 4 Januari 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 166-167: Jangan Tiru, Begini Ini Perilaku Pemimpin yang Tak Bertanggung Jawab

Tafsir surat Al-Baqarah ayat 166-167

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 166-167:
 


اِذْ تَبَرَّاَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا وَرَاَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْاَسْبَابُ (166) وَقَالَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا لَوْ اَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّاَ مِنْهُمْۗ كَمَا تَبَرَّءُوْا مِنَّاۗ كَذٰلِكَ يُرِيْهِمُ اللّٰهُ اَعْمَالَهُمْ حَسَرٰتٍ عَلَيْهِمْۗ وَمَا هُمْ بِخٰرِجِيْنَ مِنَ النَّارِࣖ (167)


 

(166) Idz tabarra'alladzīnattubi‘ū minalladzīnattaba‘ū wa ra'awul-‘adzāba wa taqaththa‘at bihimul-asbāb. (167) Wa qālalladzīnattaba‘ū lau anna lanā karratan fa natabarra'a min-hum, kamā tabarra'ū minnā, kadzālika yurīhimullāhu a‘mālahum ḫasarātin ‘alaihim, wa mā hum bikhārijīna minan-nār.
 


Artinya: “(166) Yaitu ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti saat mereka (orang-orang yang diikuti) melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus. (167) Orang-orang yang mengikuti berkata, “Andaikan saja kami mendapat kesempatan kembali (ke dunia), tentu kami akan berlepas tangan dari mereka sebagaimana mereka berlepas tangan dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka sebagai penyesalan bagi mereka. Mereka sungguh tidak akan keluar dari neraka.”
 

 


Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 166-167

Secara garis besar ayat 166-167, kelanjutan ayat 165, berisi penjelasan orang-orang yang menjadikan sekutu bagi Allah dan akibat buruknya ketika mereka melihat siksa Allah di depan mata.

 

Ayat 166-167 menjabarkan bagaimana keadaan orang-orang yang melakukan kezaliman tersebut dengan mengabarkan bagaimana percakapan yang terjadi di antara mereka, para pemimpin di antara mereka (yang diikuti) dengan yang mengikutinya. Pemimpin dari mereka berlepas diri dari apa yang telah diperbuat oleh pengikutnya.
 


Abu Hayyan (wafat 1344 M) dalam tafsirnya menjelaskannya sebagai berikut:
 


لما ذكر متخذي الأنداد ذكر أن عبادتهم لهم وإفناء أعمارهم فى طاعتهم معتقدين أنهم سبب نجاتهم لم تغن شيئا وأنهم حين صاروا أحوج إليهم تبرؤا منهم

 

Artinya: “Setelah menjelaskan orang-orang yang menjadikan sekutu bagi-Nya, Allah menjelaskan bahwa penghambaan mereka, mereka yang menghabiskan umur menaati pemimpin mereka dengan meyakini mereka adalah juru selamat, tidak berguna sama sekali. Ketika para pengikut itu membutuhkan bantuan para pemimpin, mereka (para pemimpin itu) berlepas diri. (Abu Hayyan, Al-Bahrul Muhith fit Tafsir, [Beirut, Darul Fikr: 1431 H/2010 M], juz II, halaman 91).
 


Syekh Nawawi Banten (1897 M) dalam tafsirnya menjelaskan, maksud penggalan ayat “idz tabarra'alladzīnattubi‘ū minalladzīnattaba‘ū” ialah ketika para pemimpin dari kaum musyrikin melepas diri dari para pengikutnya. Adapun makna “wa ra'awul-‘adzāba” ialah mereka, baik pemimpin maupun pengikutnya, melihat siksa di akhirat. 
 


Mengenai makna dari lafal “wa taqaththa‘at bihimul-asbāb”, maksudnya ialah pada saat itu terputus di antara mereka hubungan kekerabatan, silaturahmi, amal, perjanjian dan juga rasa asih. Pemimpin mereka mengingkari telah menyesatkan para pengikutnya di hari Kiamat ketika dikumpulkan oleh Allah”.
 

 

“Wa qālalladzīnattaba‘ū lau anna lanā karratan fa natabarra'a min-hum, kamā tabarra'ū minnā”, maksudnya ialah kemudian terjadi percakapan di antara mereka, para pengikut di antara mereka berandai-andai kembali ke dunia dengan berkata: “Seandainya kami bisa kembali ke dunia, kami akan berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka melakukannya pada hari ini”.”  


 

Sedangkan terkait makna lafal “kadzālika yurīhimullāhu a‘mālahum ḫasarātin ‘alaihim”, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa sebagaimana Allah memperlihatkan beratnya siksa kepada mereka, Allah memperlihatkan amal mereka yang berujung penyesalan.  
 

 

“Wa mā hum bikhārijīna minan-nār”, dan bagi keduanya, pemimpin dan pengikut, tidak akan bisa keluar dari neraka setelah memasukinya. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil, juz I, halaman 38).
 


Dalam ayat 167, dari mereka ada yang memohon untuk dikembalikan ke dunia dan pada saat itu mereka berjanji untuk menyembah dan taat kepada Allah. Namun, apa yang dikatakan oleh mereka pada hakikatnya hanya seperti api yang jauh dari panggang dan tidak akan pernah terjadi.

 

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebagai berikut:
 


وقوله: وَقَالَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا لَوْ اَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّاَ مِنْهُمْۗ كَمَا تَبَرَّءُوْا مِنَّاۗ. أي لو أن لنا عودة إلى الدار الدنيا حتى نتبرأ من هؤلاء ومن عبادتهم فلا نلتفت إليهم بل نوحد الله وحده بالعبادة. وهم كاذبون فى هذا بل لو ردوا لعادوا لما نهوا عنه. كما أخبر الله تعالى عنهم بذلك

 

Artinya: “Firman Allah: “Wa qālalladzīnattaba‘ū lau anna lanā karratan fa natabarra'a min-hum”, kamā tabarra'ū minnā), maksudnya ialah seandainya kami bisa kembali ke dunia sehingga kami bisa berlepas diri dari mereka dan dari menghamba kepada mereka, maka kami tidak akan menoleh ke arah mereka. Kami akan mengesakan beribadah kepada Allah.
 

 

Mereka berbohong dalam hal ini, jika mereka dikembalikan ke dunia, maka mereka akan kembali mengulangi kesalahan yang sama, sebagaimana yang telah Allah kabarkan tentang mereka. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, [Riyadh, Dar Thayyibah linnasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H] juz I, halaman 478).

 

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.