Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 191-193: Ujian Diusir dari Tanah Air

Rab, 5 April 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 191-193: Ujian Diusir dari Tanah Air

Ilustrasi: Cinta tanah air (NU Online).


Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat al-Baqarah ayat 191-193:
 

وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِۚ وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِۚ فَاِنْ قٰتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْۗ كَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ (191) فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (192) وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ لِلّٰهِۗ فَاِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ اِلَّا عَلَى الظّٰلِمِيْنَ (193)
 

(191) Waqtulūhum ḫaitsu tsaqiftumūhum wa akhrijūhum min ḫaitsu akhrajūkum wal-fitnatu asyaddu minal-qatl, wa lā tuqātilūhum ‘indal-masjidil-ḫarāmi ḫattā yuqātilūkum fīh, fa ing qātalūkum faqtulūhum, kadzālika jazā'ul-kāfirīn. (192) Fa inintahau fa innallāha ghafūrur raḫīm. (193) Qa qātilūhum ḫattā lā takūna fitnatuw wa yakūnad-dīnu lillāh, fa inintahau fa lā ‘udwāna illā ‘aladh-dhālimīn.
 

Artinya: “(191) Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (192) Namun, jika mereka berhenti (memusuhimu), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (193) Perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama (ketaatan) hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (melakukan fitnah), tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.”
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 191-193

Ayat 191-193 Surat Al-Baqarah merupakan kelanjutan sekaligus yang menaskh hukum dari ayat sebelumnya, yang membahas perintah untuk melakukan jihad di jalan Allah, namun tidak diperkenankan jika dilakukan di bulan Haram ataupun di tanah Haram. Ayat ini turun untuk memberi rahmat kepada umat Islam dalam memerangi orang-orang kafir yang datang mengancam kedaulatan dengan menghilangkan batasan baik tempat maupun waktu.
 

Imam As-Suyuthi dalam Tafsirul Jalalain menjelaskan maksud ayat 191 di atas ialah perintah untuk memerangi orang-orang kafir yang memerangi (kafir harbi) dan mengusir umat Islam dari tanah airnya di manapun dan kapanpun berada. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain pada Hasyiah As-Shawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013 M], juz I, halaman 117).
 

Sebagaimana Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya memaknai kata ‘fitnah’ pada ayat wal-fitnatu asyaddu minal-qatl dengan memberi contoh diusir dari tanah air. Ia menjelaskan maksud dari ‘fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan’ salah satunya ialah bahwa ujian diusir dari tanah air lebih berat dan menyakitkan dibandingkan dengan pembunuhan. 
 

وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِۚ أي والمحنة التي يفتتن بها الإنسان كالإخراج من الوطن أصعب من القتل لدوام تعبها وبقاء تألم النفس بها
 

Artinya: “Wal-fitnatu asyaddu minal-qatl, maksudnya ujian yang menjadi sumber fitnah manusia seperti terusir dari tanah air lebih berat dibandingkan dengan pembunuhan, sebab langgengnya rasa payah dan menetapnya rasa sakit karenanya.” (Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, juz I, halaman 45).
 

Ini menegaskan pentingnya umat Islam untuk mempertahankan diri dan mempertahan​​​​​​​kan​​​​​​​ tanah air dengan cara memerangi orang-orang yang memerangi mereka. 
 

Adapun makna kedua yang dijelaskan oleh Syekh Nawawi dalam menjelaskan maksud dari ‘fitnah’ ialah kemusyrikan. Bahwa kemusrikan, penyembahan terhadap berhala, serta menghalang-halangi yang dilakukan oleh orang-orang musyrik saat itu lebih berat dibandingkan pembunuhan. (Al-Bantani, I/45).
 

Lebih lanjut, Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa diperbolehkan untuk memerangi kaum musyrikin di tanah Haram dengan catatan bukan umat Islam yang memulai peperangan. 
Senada dengan Imam As-Suyuthi, Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa peperangan yang dilakukan tujuannya tak lain ialah mempertahankan diri.
 

لا تقاتلوهم عند المسجد الحرام إلا أن يبدؤوكم بالقتال فيه, فلكم حينئذ قتالهم وقتلهم دفعا للصيال

 

Artinya: “Jangan kalian memerangi mereka di Masjidil Haram kecuali mereka memulai peperangan di dalamnya. Maka kalian saat itu berperang dengan bertujuan untuk menghalau musuh.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wat Tauzi’: 1999 M/ 1420 H], juz I, halaman 525). 
 

Sementara pada ayat 192, meruntut dari penjelasan As-Shabuni dijelaskan, Allah memberi keringanan dengan memberi jaminan akan mengampuni siapa saja yang berhenti dari kekufuran dan kemusyrikan, serta kembali pada Islam. Allah akan mengampuni dan menerima taubatnya. (As-Shabuni, Shafwatut Tafasir, [Beirut, Darul Qur’anil Karim: 1981 M], juz I, halaman 126).
 

Adapun pada ayat 193, As-Shabuni menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi umat Islam, sehingga tidak tersisa kemusyrikan di atas muka bumi dan agama Allah tampak dan luhur dibandingkan agama lainnya. Jika orang-orang yang memerangi telah berhenti, maka hendaknya umat Islam juga berhenti untuk memerangi mereka. Sebab tujuan umat Islam tak lain hanyalah mempertahankan diri.
 

فَاِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ اِلَّا عَلَى الظّٰلِمِيْنَ أي فإن انتهوا عن قتالكم فكفوا عن قتلهم فمن قاتلهم بعد ذلك فهو ظالم ولا عدوان إلا على الظالمين
 

Artinya: “Fa inintahau fa lā ‘udwāna illā ‘aladh-dhālimīn, maksudnya ialah jika mereka berhenti memerangi kalian, maka hentikanlah dari memerangi mereka. Barangsiapa memerangi mereka setelah ini, maka ia telah berbuat zalim dan tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang zalim”. (As-Shabuni, I/126).
 

Kesimpulannya, orang-orang yang mengatakan agama Islam adalah agama perang atau agama pedang adalah salah, karena sejatinya Islam adalah agama kasih sayang dan tidak mengajarkan pemeluknya untuk berperang melainkan hanya untuk mempertahankan diri. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah