Lembut dan Tegas: Kisah Unik Abu Bakar dan Umar bin Khattab saling Bertukar Karakter
NU Online · Senin, 5 Mei 2025 | 14:00 WIB
Muhammad Izharuddin
Kolomnis
Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya dikelilingi para sahabat dengan beragam karakter. Dua sahabat Nabi, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, adalah contohnya. Keduanya memiliki sifat yang saling bertolak belakang.
Sudah dikenal luas, Abu Bakar, yang memiliki nama asli Abdullah bin Abi Quhafah, adalah sosok yang lembut, penuh rahmat, dan kasih sayang. Ia sangat dekat dengan kehidupan Nabi, menemani langkah-langkah dakwah beliau. Bahkan, namanya diabadikan dalam Al-Qur’an meskipun tidak disebutkan secara eksplisit:
اِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّٰهُ اِذْ اَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْ هُمَا فِى الْغَارِ اِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهٖ لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَا فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلى وَكَلِمَةُ اللّٰهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, ‘Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 40)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘ketika keduanya berada dalam gua’ adalah Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Peristiwa ini terjadi saat hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah, ketika keduanya bersembunyi dari kejaran orang-orang kafir Quraisy selama tiga hari di Gua Tsur.
Perangai lemah lembut Abu Bakar juga ditegaskan oleh putrinya sendiri, Aisyah. Ketika Rasulullah SAW menderita sakit berat, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat berjamaah di masjid. Perintah ini disampaikan melalui Aisyah. Namun, Aisyah awalnya ragu, menyebutkan bahwa ayahnya adalah sosok yang mudah menangis:
لَمَّا ثَقُلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ بِلَالٌ يُؤْذِنُهُ بِالصَّلَاةِ فَقَالَ: مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ
Artinya: “Ketika penyakit Rasulullah SAW terasa berat, Bilal datang mengumandangkan azan shalat. Rasul berkata: ‘Suruhlah Abu Bakar mengimami shalat.’ Aisyah berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh Abu Bakar adalah seorang yang cepat menangis.’” (HR. Al-Bukhari, Shahih Bukhari, [Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1993], Juz I, hal. 251)
Kata ‘asif’ berarti sangat mudah bersedih atau gampang menangis. Alasan inilah yang membuat Aisyah awalnya enggan menyetujui perintah Rasulullah tersebut. (Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, [Riyadh: 2003], Juz II, hal. 290)
Sikap ini berbanding terbalik dengan Umar bin Khattab, yang dikenal tegas dibandingkan sahabat lainnya. Masa muda Umar yang gemar bertarung dan bergulat membentuknya menjadi pribadi tegas tanpa ampun terhadap lawan. Saat hijrah ke Madinah, Umar adalah sahabat yang paling terang-terangan berhijrah, berbeda dengan sahabat lain yang memilih sembunyi karena khawatir dihadang orang Quraisy. Umar menantang siapa pun di depan Ka’bah yang berani menghentikan langkahnya untuk berduel. Begitulah Umar, dikenal dan disegani banyak orang.
Namun, ada kisah menarik ketika keduanya seolah bertukar karakter. Abu Bakar bersikap seperti Umar, dan Umar menjadi seperti Abu Bakar. Peristiwa ini terjadi saat Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pascawafatnya Rasulullah SAW, pada masa Perang Riddah, yang memerangi kaum murtad dan mereka yang enggan membayar zakat.
Sebelumnya, keduanya bermusyawarah mengenai tindakan terhadap kaum murtad dan penolak zakat. Umar menolak memerangi mereka karena mereka mengucapkan kalimat tauhid. Hal ini dicatat oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah. (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah,[Turki: 1998], Juz IX, hal. 438)
Umar berkata, “Wahai Abu Bakar, bagaimana mungkin engkau memerangi orang-orang itu, padahal Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah, dan siapa yang mengucapkannya, maka harta dan jiwanya terlindungi kecuali menurut haknya.’”
Namun, Abu Bakar tidak setuju. Ia justru berkata, “Demi Allah, andaikan mereka tidak mau menyerahkan seutas tali yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah, aku benar-benar akan memerangi mereka. Sungguh, zakat adalah hak harta. Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang memisahkan shalat dan zakat.”
Setelah mendengar argumen tersebut, Umar menerima dan menyetujuinya. Ia berkata, “Demi Allah, menurutku, ini terjadi karena Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, sehingga aku tahu bahwa dia memang benar.”
Akhirnya, Perang Riddah dilaksanakan. Pasukan Islam meraih kemenangan, menjadikan Islam semakin kuat di seluruh Jazirah Arab. Kabilah-kabilah yang menolak zakat akhirnya tunduk.
Dalam kasus ini, Abu Bakar dan Umar seolah bertukar karakter, berbeda dari sifat biasanya. Syeikh Mutawali Asy-Sya’rawi menguraikan hikmah dari peristiwa ini. Baginya, ini adalah pelajaran bahwa seorang mukmin harus pandai bersikap sesuai kondisi dan situasi.
Abu Bakar, yang dikenal mudah menangis karena takut kepada Allah dan penuh rahmat terhadap kaum mukmin, justru mengambil sikap tegas untuk memerangi mereka yang keluar dari agama dan menolak zakat. Jika sikap ini diambil oleh Umar, orang-orang mungkin akan menganggapnya sebagai ketegasan biasa. Namun, sikap ini muncul dari sosok yang lemah lembut dan penuh kasih. Menurut Asy-Sya’rawi, inilah bukti bahwa seorang mukmin harus tegas menghadapi kekufuran.
فَهُوَ أَمْرٌ يُبَيِّنُ لَنَا شِدَّةَ الْمُؤْمِنِ فِي مُوَاجَهَةِ الْكُفْرِ. المُؤْمِنُ – إِذَنْ – لَا هُوَ مَطْبُوْعٌ عَلىَ الشِّدَّةِ الْمُطْلَقَةِ وَلَا هُوَ مَطْبُوْعٌ عَلىَ الرَّحْمَةِ الْمُطْلَقَةِ وَلَكِنَّهُ شَدِيدٌ حِيْنَ تَكُوْنُ الشِّدَّةُ مَطْلُوبَةً للدِّيْنِ وَرَحِيْمٌ حِيْنَمَا تَكُوْنُ الرَّحْمَةُ مَطْلُوبَةً للدِّيْنِ وَعَزِيْزٌ حِيْنَ تَكُوْنُ العِزَّةُ للِدِّيْنِ وَذَلِيلٌ حِيْنَ تَكُوْنُ الذِّلَّةُ مَطْلُوبَةً للدِّيْنِ.
Artinya: “Peristiwa ini menunjukkan kepada kita kerasnya seorang mukmin dalam menghadapi kekufuran. Seorang mukmin tidak selamanya tegas secara mutlak, juga tidak selamanya penuh kasih secara mutlak. Ia tegas ketika ketegasan dibutuhkan untuk agama, berkasih sayang ketika kasih sayang dibutuhkan untuk agama, perkasa ketika keperkasaan dibutuhkan untuk agama, dan rendah hati ketika kerendahan hati dibutuhkan untuk agama.” (Mutawali Asy-Sya’rawi, Qishasus Shahabah was Shalihin [Kairo, Maktabah Taufiqiyyah, t.t.], hal. 16)
Pernyataan Asy-Sya’rawi ini juga mengajarkan etika kontekstual, di mana tindakan atau karakter seseorang tidak ditentukan oleh pola tetap, melainkan oleh kebutuhan dan kemaslahatan situasi. Seorang mukmin tidak boleh kaku dalam karakternya. Hanya tegas atau hanya lembut dalam segala situasi menunjukkan ketidakseimbangan dan ketidaksiapan menghadapi realitas yang kompleks. Kehidupan menuntut sikap proporsional dan kontekstual:
- Tegas ketika dibutuhkan untuk kebenaran. Dalam situasi di mana kebenaran, keadilan, atau prinsip agama terancam, sikap tegas diperlukan untuk membela dan mempertahankan nilai tersebut, seperti yang dicontohkan Abu Bakar. Sikap lembut dalam konteks ini bisa menjadi kelemahan moral.
- Lembut ketika dibutuhkan untuk kasih dan hikmah. Dalam banyak situasi sosial atau dakwah, pendekatan penuh kasih lebih efektif dan sesuai. Ketegasan berlebihan dalam konteks ini justru bisa menimbulkan penolakan dan konflik yang tidak perlu.
- Perkasa atau rendah hati sebagai bentuk pengabdian. Menjadi perkasa bukan berarti sombong, dan menjadi rendah hati bukan berarti lemah. Seorang mukmin bisa bersikap rendah hati di hadapan Allah atau saat melayani orang lain, jika itu membawa kemaslahatan lebih besar.
Pada akhirnya, hikmah dari pertukaran karakter dua sahabat mulia Nabi ini mengajarkan bahwa karakter seorang mukmin harus adaptif dan terarah pada tujuan yang benar, bukan kaku atau ekstrem pada satu sisi (tegas atau lembut). Rasionalitasnya terletak pada kemampuan membaca konteks, menimbang maslahat, dan memilih sikap yang tepat demi nilai-nilai agama, bukan demi keinginan pribadi.
Ustadz Muhammad Izharuddin, Mahasiswa STKQ Al-Hikam.
Terpopuler
1
Beasiswa PBNU ke Maroko 2025 Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya
2
Gubernur Jabar Tuai Kritik: Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer Abaikan Akar Masalah dan Hak Anak
3
Pengasuh Pesantren Al-Fadllu KH Alamudin Dimyati Rois Alami Kecelakaan di Tol Pemalang
4
Psikolog: Pembinaan Karakter Berbasis Militer ala Gubernur Jabar Bukan Solusi Tepat Atasi Anak Nakal
5
Khutbah Jumat: Menjaga Pangan, Menjaga Negeri
6
Bahtsul Masail NU: Haram Hukumnya Mengeluarkan Isu Tuduhan Perusahaan Terafiliasi Israel Tanpa Bukti Konkret
Terkini
Lihat Semua