Nikah/Keluarga

Merayakan Penceraian di Media Sosial, Memangnya Boleh?

NU Online  ·  Rabu, 25 Juni 2025 | 15:00 WIB

Merayakan Penceraian di Media Sosial, Memangnya Boleh?

Ilustrasi pamer perceraian di media sosial. Sumber: Canva/NU Online.

Penceraian sering kali memunculkan respons yang beragam. Sebagian orang merasakan kesedihan mendalam, penyesalan atas kelalaian, dan rasa malu jika peristiwa ini diketahui orang lain, sehingga menganggap penceraian sebagai musibah. Namun, ada pula yang justru merasa bahagia dan lega setelah resmi bercerai. Mereka dengan gembira membagikan status baru mereka kepada orang lain, bahkan terkadang merayakannya di media sosial. Bagaimana Islam memandang fenomena ini?


Merayakan penceraian di media sosial tidak dibenarkan dalam Islam karena beberapa alasan. Pertama, penceraian adalah perbuatan yang dibenci Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu Dawud).

 

Penceraian dapat memutuskan ikatan keluarga dan menghambat kelahiran keturunan yang sejatinya bisa hadir. Kedua, mempublikasikan kegembiraan atas perceraian dapat menunjukkan kurangnya kesopanan dan menghormati privasi, yang bertentangan dengan akhlak mulia dalam Islam.


Islam mendorong umatnya untuk menjaga lisan dan perilaku, terutama dalam hal yang sensitif seperti penceraian. Sebaiknya, seseorang yang mengalami perceraian merenung, memohon ampunan, dan berusaha memperbaiki diri, bukan memamerkan peristiwa tersebut secara terbuka. Simak penjelasan berikut:


والطلاق أشد بغضاً إلى الله من غيره لما فيه قطع النسل الذي هو المقصود الأعظم من النكاح


Artinya, “Perceraian adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Allah dibandingkan lainnya, karena di dalamnya terdapat pemutusan keturunan yang merupakan tujuan utama dari pernikahan.” (Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Hasyiah I’anatuth Thalibin, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], jilid IV, halaman 6).


Maka, orang yang bercerai seharusnya merahasiakan identitasnya karena sudah melakukan sesuatu yang Allah SWT benci, bukan justru merayakannya yang notabene merupakan ekspresi dari rasa senang dan bahagia.


Selanjutnya, mempublikasikan penceraian dapat menyakiti mantan pasangan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti mantan suami belum siap berpisah karena mempertimbangkan masa depan anak, namun mantan istri memaksakan kehendaknya untuk segera bercerai. Begitu juga sebaliknya.


Mempublikasikan perceraian di media sosial juga dapat menyakiti keluarga, baik dari suami maupun istri. Hal ini sangat lazim terjadi, karena sebagai keluarga lebih-lebih orang tua sangat ingin melihat anaknya hidup harmonis dan romantis dengan pasangan tercintanya, sehingga penceraian akan melukai hati mereka.


Merayakan perceraian di media sosial, apalagi secara berlebihan, akan menyakitkan hati anak-anaknya, bahkan kemungkinan besar mereka lebih merasakan penederitaannya daripada yang lain. Berbagai macam problem hidup pun harus dihadapi oleh mereka pasca-penceraian orang tuanya. Larangan ini senada dengan nasihat syekh Muhammad Syatha Ad-Dimyathi yang menganjurkan perceraian tidak dipublikasikan oleh si suami secara berlebihan:


ولما فيه من إيذاء الزوجة وأهلها وأولادها


Artinya, “Karena perbuatan tersebut merupakan tindakan yang berpotensi menyakiti istri, keluarganya, dan anak-anaknya." (Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Hasyiah I’anah Ath-Thalibin, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], Jilid IV, halaman 6).


Orang yang merayakan penceraian sering kali tampak bahagia di tengah penderitaan pasangan, keluarga, atau anak-anak mereka. Sejatinya kegembiraan ini dapat menyakiti orang lain, padahal Islam melarang perbuatan yang menyebabkan luka di hati orang. Musa Syahin Lasin menegaskan: 


ولا شك أن إيذاء المسلم حرام فما أدى إلى الحرام حرام


Artinya, “Tidak diragukan lagi bahwa menyakiti seorang muslim adalah haram, maka segala sesuatu yang mengantarkan kepada hal yang haram juga hukumnya haram.” (Musa Syahin Lasin, Fathul Mun'im Syarh Shahih Muslim, [Kairo: Darusy Syuruq, 2002], jilid III, halaman 198).


Merayakan penceraian di media sosial dapat memperbesar luka hati karena aksesnya yang luas memicu penilaian negatif dan komentar merugikan, sementara penceraian sering menyisakan cerita sensitif seperti konflik berkepanjangan atau kelalaian tanggung jawab yang tidak pantas diumbar. Mempublikasikan status penceraian dapat memancing pertanyaan atau pembicaraan yang tidak diinginkan, sehingga sebaiknya dirahasiakan, bahkan dalam beberapa situasi dianggap wajib oleh ulama, sebagaimana dijelaskan berikut:


وقد تكون مما يجب ستره حفظاً لسمعة المرأة ومنعاً من التشهير بها


Artinya, “Bisa jadi penceraian itu di antara yang wajib ditutupi, demi menjaga reputasi wanita dan mencegah tersebarnya aibnya.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami, [Suriah, Darul Fikr: 1985],  jilid VI, halaman 401).


Maka, perlunya menjaga adab berumah tangga dan adab perceraian. Ada hal-hal privasi di antara keduanya yang tidak ada hajat bagi publik untuk mengetahuinya, bahkan banyak hal privasi yang haram dibocorkan kepada orang lain. Imam Nawawi menegaskan:


تحريم إفشاء الرجل ما يجرى بينه و بين امرأته من أمور الاستمتاع ووصف تفاصيل ذلك وما يجرى من المرأة فيه من قول أو فعل ونحوه


Artinya, "Diharamkannya seorang laki-laki membocorkan apa yang terjadi antara dirinya dan istrinya terkait urusan hubungan suami istri, serta menggambarkan secara rinci hal-hal tersebut. Juga membocorkan hal-hal yang terjadi pada wanita, baik berupa perkataan atau perbuatan dan semisalnya." (Imam Nawawi, Shahih Muslim Bisyarhi An-Nawawi, [Mesir, Mathba'ah Al-Mishriyah Bil Azhar: 1929], jilid X, halaman 8).


Sebagai penutup, Islam melarang merayakan penceraian di media sosial karena tindakan ini tidak hanya membuka ruang bagi penilaian negatif dan penyebaran aib pasangan, tetapi juga mencerminkan kegembiraan di atas penderitaan keluarga, termasuk anak-anak. Mempublikasikan kegembiraan atas perceraian dapat memunculkan stigma buruk terhadap pasangan, bahkan mengesankan perayaan kebebasan dari ikatan pernikahan sebagai sesuatu yang dibenci Allah SWT. Oleh karena itu, menjaga privasi dan introspeksi diri jauh lebih mulia ketimbang memamerkan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Wallahu a'lam


Ustadz Muqoffi, Guru Pon-Pes Gedangan & Dosen IAI NATA Sampang Madura.