Syariah

Hukum Memakai Bulu Mata Palsu Temporal

Rab, 1 November 2023 | 22:00 WIB

Hukum Memakai Bulu Mata Palsu Temporal

Ilustrasi: perempuan ( freepik)1

Dalam pelaksaan resepsi pernikahan, seringkali si pengantin perempuan memakai bulu mata palsu atau fake lashes. Bulu mata palsu ini dipakai oleh si pengantin dengan tujuan memperindah tampilannya. 

 

Sejauh informasi yang didapat penulis, bulu mata palsu terbuat dari beragam macam bahan, di antaranya ada yang menggunakan sisa rambut manusia, ada yang terbuat dari sutera dan mengandung serat sintetis, biasa disebut dengan silk lash. Bahkan, bulu mata palsu ada yang terbuat dari dasar limbah sabut kelapa.

 

Bulu mata palsu dapat dibeli dengan mudah di toko kosmetik. Cara memasangnya pun mudah, tidak perlu bantuan khusus dari seorang ahli. Pemasangannya menggunakan lem yang direkatkan pada mata. Ia mudah dipasang dan juga mudah dilepas, biasanya penggunaannya hanya temporal dalam waktu yang tidak lama.

 

Fake lashes berbeda dengan eyelash extension yang pemasangannya dengan menyambungnya ke bulu mata asli langsung perhelainya dengan menggunakan perekat. Fake lashes atau bulu mata palsu hanya ditempelkan ke kelopak mata saja.
 

Fake lashes juga berbeda dengan eyelash extension dari segi ketahanan. Fake lashes hanya bertahan dalam waktu yang tidak lama, sehingga pemakaiannya cenderung paling lama setengah hari, sedangkan eyelash extention bisa bertahan hingga sebulan.

 

Lantas bagaimana sebenarnya hukum menggunakan bulu mata palsu temporal atau fake lashes yang tidak bertahan lama sebagaimana eyelash extention?

 

Sebelum menuju kepada penjelasan hukumya, kita perlu tahu bahwa tidak ada kekhususan dalil yang menyebut keharaman menyambung bulu mata. Hukumnya disandingkan dengan hukum menyambung rambut, sebagaimana hadits dalam riwayat Al-Bukhari:

 

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ 

 

Artinya, “Allah melaknat orang yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya.” (HR Al-Bukhari).

 

Sebagai analogi, hukum menyambung bulu mata diselaraskan dengan hukum menyambung rambut yang disebutkan dalam hadits di atas. Al-Munawi menjelaskan hadits di atas dari sisi kebahasaan, bahwa al-Washilah ialah orang yang berupaya menyambung rambut dengan tangannya sendiri, sedang al-Mustawshilah adalah orang yang memintanya. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Mesir, al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra: 1356], jilid V, halaman 273).

 

Kemudian kata ‘la’nah’ atau laknat pada hadits di atas menunjukkan keharaman aktivitas​menyambung, baik rambut maupun alis. Mengutip Imam Ar-Rafi’i dalam Fathul ‘Aziz bi Syarh al-Wajiz, sebab yang menjadikannya aktivitas menyambung ini haram adalah beberapa faktor sebagai berikut:

 
  1. Bulu sambungannya merupakan benda najis
  2. Bulu sambungannya berasal dari orang asing (ajnabi) yang tidak boleh dipandang
  3. Apabila bulu tersebut berasal dari hewan yang halal dimakan, namun si perempuan belum bersuami dan bermaksud mengundang hal-hal yang tidak baik.
 

Rincian di atas disebutkan Imam Ar-Rafi’i:

 

وعلة تحريم الوصل ان الشعر أما ان يكون نجسا أو شعر اجنبي لا يحل النظر إليه وان كان مبانا علي احد الوجهين فان كان شعر بهيمة ولم تكن المرأة ذات زوج فهى متعرضة للتهمة

 

Artinya, "Alasan diharamkannya praktik menyambung adalah karena bulu yang dipakai boleh jadi bulu yang najis, atau bulu dari orang asing yang tidak boleh dilihat, meskipun pendapat ini berdasarkan salah satu dari dua pendapat. Kemudian, andai ia berasal dari bulu hewan, sedang si pemakainya adalah perempuan yang belum bersuami, maka boleh jadi mengundang tuduhan tidak baik." (Ar-Rafi’i dalam Fathul ‘Aziz bi Syarh al-Wajiz, jilid IV, halaman 30).

 

Penjelasan di atas merupakan detail faktor keharaman dari praktik menyambung, baik rambut atau bulu mata. Ditambah menyambung bulu mata secara langsung pada bulu mata asli akan menutupi bagian yang wajib dibasuh dari anggota wudhu dan mandi wajib.

 

Mengalirnya air ke bagian tubuh yang wajib dibasuh menjadi penting karena berimplikasi pada sahnya wudhu atau mandi. Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menjelaskan syarat sahnya wudhu di antaranya adalah:

 

إزالة ما يمنع وصول الماء إلى العضو: أي ألا يكون على العضو الواجب غسله حائل يمنع وصول الماء إلى البشرة، كشمع وشحم ودهن ودهان، ومنه عماص العين، والحبر الصيني المتجسم، وطلاء الأظافر للنساء

 

Artinya, “Menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi air mencapai anggota tubuh. Maksudnya, tidak boleh ada penghalang pada anggota tubuh yang harus dibasuh seperti lilin, lemak, minyak, pernis, cat, eyeliner atau celak, tinta holografik Cina, dan cat kuku wanita.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz I, halaman 341).

 

Melihat penjelasan-penjelasan di atas, maka memakai fake lashes di sini harus diperinci secara detail dari mulai bahan yang digunakan hingga memeriksa apakah penggunaannya menghalangi air ke tubuh ketika wudhu dan mandi wajib.

 

Artinya ketika fake lashes tidak menghalangi air, atau penggunaannya temporal sehingga ketika waktu wudhu dapat dilepas, maka sah-sah saja. Di sisi lain, apabila fake lashes terbuat dari benda sintetis yang terjamin suci, bukan najis, maka tidak apa-apa.
 

Selain itu, yang menjadi landasan kebolehan penggunaan fake lashes atau bulu mata palsu adalah tidak adanya proses menyambung pada bulu mata aslinya. Al-Qadhi ‘Iyadh pernah menyatakan: 
 

قال القاضي فأما ربط خيوط الحرير الملونة ونحوها مما لايشبه الشعر  فليس بمنهى عنه لأنه ليس بوصل ولاهو في معنى مقصود الوصل وانما هو للتجمل والتحسين

 

Artinya, “Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, ‘Adapun mengikatkan benang sutera berwarna dan sejenisnya yang tidak menyerupai rambut, maka tidak haram karena bukan bagian dari menyambung bulu dan beda makna dengan ‘al-washlu’. Hanya saja praktik seperti itu untuk mempercantik dan memperindah’.” (Imam an-Nawawi, al-Minhaj syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, [Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1392], jilid 14, hal. 104).

 

Kesimpulannya, praktik memakai bulu mata palsu temporal seperti fake lashes yang hanya bertahan kurang lebih beberapa jam pemakaiannya dibolehkan, sebab ia bukan termasuk praktik menyambung bulu mata, ia juga bukan merupakan praktik mengubah ciptaan Allah.

 

Pengguna juga harus berhati-hati dalam penggunaan bulu mata palsu, jangan sampai kebolehannya malah menyebabkan keteledoran sehingga ketika wudhu dan mandi wajib, masih ada lem yang menempel di kelopak mata. Pengguna juga harus memperhatikan efek samping bagi kesehatan ketika menggunakannya. 

 

Pada dasarnya memakai bulu mata palsu hukumnya boleh selama dia tidak menghalangi mengalirnya air ke kulit, tidak mengubah ciptaan tuhan, tidak berasal dari barang yang najis, tidak berniat membuat gaduh dengan memakainya dan juga tidak menganggu kesehatan. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Ustad Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Ilmu Hadits Darus-Sunnah