Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 32

Sab, 21 November 2020 | 22:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 32

Syekh Jalaluddin dalam Tafsir Jalalain mengatakan bahwa ucapan tasbih malaikat pada Surat Al-Baqarah ayat 32 merupakan bentuk penyucian Allah dari penentangan.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat Al-Baqarah ayat 32:


قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ


Qālū, “Subhānaka lā ‘ilma lanā illā mā ‘allamtanā. Innaka antal ‘alīmul hakīmu.”


Artinya, “Mereka berkata, ‘Mahasuci Engkau, tiada ilmu pada kami kecuali yang Kauajarkan kepada kami. Sungguh, Kau maha tahu lagi maha bijaksana,’” (Surat Al-Baqarah ayat 32).


Ragam Tafsir

Syekh Jalaluddin dalam Tafsir Jalalain mengatakan bahwa ucapan tasbih malaikat pada Surat Al-Baqarah ayat 32 merupakan bentuk penyucian Allah dari penentangan. Sedangkan “Anta” merupakan penguat yang maknanya, Zat yang tiada satu pun keluar dari pengetahuan dan kebijaksanaan-Nya.


Imam Al-Baghowi dalam tafsirnya, Ma’alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, mengatakan, Surat Al-Baqarah ayat 32 merupakan pengakuan malaikat, “Engkau lebih besar daripada cakupan pengetahuan kami atas ilmu-Mu kecuali apa yang Kau ajarkan kepada kami.”


“Kau maha tahu lagi maha bijaksana” dalam perintah-Mu. Sedangkan kata “al-hakīm” atau bijaksana memiliki dua pengertian, kata Imam Al-Baghowi. Pertama, “al-hakīm” adalah “al-hākim,” yaitu hakim yang adil dalam memutuskan perkara atau sengketa. Kedua, mengerjakan sesuatu dengan sempurna agar tidak ada jalan kerusakan padanya.


Adapun kata “al-hakīm” atau “al-hikmah,” kata Imam Al-Baghowi, secara bahasa berarti mencegah karena mencegah orang yang bijak tersebut dari tindakan batil atau sia-sia. Setelah menyadari kekurangan pengetahuan, malaikat lalu mengucapkan tasbih sebagaimana Surat Al-Baqarah ayat 32.


Al-Baidhawi dalam tafsirnya Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, Surat Al-Baqarah ayat 32 merupakan pengakuan atas kelemahan dan kekurangan malaikat. Surat Al-Baqarah ayat 30 menunjukkan bahwa pertanyaan malaikat bermakna permohonan penjelasan lebih lanjut dari Allah terkait rencana penciptaan manusia di bumi, bukan penentangan malaikat atas-Nya.


Dengan Surat Al-Baqarah ayat 31, kelebihan manusia dan hikmah di balik penciptaannya menjadi jelas bagi malaikat. Surat Al-Baqarah ayat 32 merupakan pernyataan syukur malaikat atas nikmat Allah berupa pengajaran dan penyingkapan jawaban terhadap pertanyaan malaikat di samping menjaga adab dengan menyerahkan sepenuhnya pengetahuan segalanya kepada Allah.


Ucapan tasbih pada Surat Al-Baqarah ayat 32, kata Imam Al-Baidhawi, merupakan ungkapan permohonan maaf atas permintaan penjelasan kepada Allah (sebagaimana pada Surat Al-Baqarah ayat 30) dan atas kebodohan terhadap hakikat sesuatu. Oleh karenanya, tasbih menjadi kunci tobat sebagaimana ucapan Nabi Musa AS, “Subhānaka tubtu ilaik,” dan Nabi Yunus AS, “Subhānaka innī kuntu minaz zhālimīna.”


“Sungguh, Kau maha tahu,” Zat yang tiada satupun tersamar oleh-Nya. “Lagi maha bijaksana” Zat yang menyempurnakan ciptaan-Nya, yaitu Zat yang tidak melakukan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat hikmah yang berharga.


Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, Surat Al-Baqarah ayat 32 adalah pengakuan malaikat atas kesucian Allah yang hanya memberikan daya jangkau pengetahuan seseorang atas ilmu-Nya sesuai yang dikehendaki oleh-Nya. Surat Al-Baqarah ayat 32 ini merupakan pengakuan malaikat atas keterbatasan pengetahuan terhadap sesuatu yang hanya mengetahui apa yang diajarkan oleh Allah.


“Sungguh, Kau maha tahu,” atas segala sesuatu. “Lagi maha bijaksana” pada ciptaan dan perintah-Mu; pada pengajaran-Mu terhadap orang yang Kaukehendaki; pada penahanan pengajaran-Mu terhadap orang yang tidak Kaukehendaki. Sungguh, Kau sangat bijak dalam hal ini dan bersikap adil yang sempurna.


Imam Ibnu Katsir mengutip pandangan sahabat Ibnu Abbas RA tentang tasbih. Sayyidina Ibnu Abbas RA mengatakan, “Tasbih adalah penyucian Allah atas diri-Nya dari segala keburukan.”


Sayyidina Umar bin Khattab RA, kata Imam Ibnu Katsir, pernah bertanya kepada Sayyidina Ali RA di hadapan sahabat rasul lainnya, “’Lā ilāha illallāh,’ kami sudah mengerti. Tetapi apa arti, ‘Subhānallāh?’” “Itu adalah kata yang Allah sukai untuk (penyebutan) diri-Nya. Allah meridhai kata tersebut dan menyukai kata itu disebut,” jawab Sayyidina Ali RA.


Ketika ditanya tentang makna “subhānallāh,” Maimun bin Mihran menjawab, “Itu adalah sebutan untuk mengagungkan dan menyucikan Allah dari segala keburukan (dan hal yang tidak layak bagi-Nya),” kata Ibnu Katsir. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)