Tafsir Surat Ali Imran Ayat 130: Perintah Allah untuk Menjauhi Riba
Jumat, 25 Oktober 2024 | 15:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
"Ayat ini mengajak orang-orang beriman agar tidak memakan riba sebagaimana yang sering terjadi dalam masyarakat Jahiliah ketika itu, yakni yang berlipatganda keuntungan," begitu kata Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Ayat yang dimaksud tersebut adalah surat Ali Imran ayat 130.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةًۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ ١٣٠
yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ ta'kulur-ribâ adl‘âfam mudlâ‘afataw wattaqullâha la‘allakum tufliḫûn
Baca Juga
Tiga Jenis Praktik Riba dalam Jual Beli
Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."
Di dalam Tafsir Al-Misbah, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa orang-orang beriman dianjurkan untuk menjauhi riba dan segala bentuk maksiat. Hal ini agar mereka terlindungi dari azab Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Allah memerintahkan untuk bertakwa, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah, sehingga mereka dapat meraih keberuntungan di dunia dan akhirat.
Salah satu cara untuk menjaga diri dari api neraka adalah dengan menumbuhkan rasa cinta dan syukur kepada Allah. Neraka diperuntukkan bagi orang-orang kafir, termasuk mereka yang menghalalkan riba, serta orang-orang yang durhaka dan tidak bersyukur atas nikmat Allah. Keterangan tersebut sebagaimana dikutip dari Tafsir Al-Misbah Jilid II (Ciputat, Penerbit Lentera Hati, 2002: 213).
Lebih jauh lagi, ayat 130 surat Ali Imran ini dimulai dengan seruan kepada orang-orang beriman [يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا], diikuti dengan larangan memakan riba. Seruan ini menegaskan bahwa memakan riba bukanlah sifat orang yang benar-benar beriman.
Mereka yang mencari dan menggunakan uang melalui praktik riba menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai iman. Larangan tersebut memperingatkan bahwa riba bukan cara yang dibenarkan bagi seorang mukmin dalam bermuamalah.
Riba yang dilarang oleh ayat ini merujuk pada praktik kelebihan atau tambahan yang disebut dengan istilah "adh‘afan mudha'afah" (اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً), yang berarti berlipat ganda. Kata "adh'afan" adalah bentuk jamak dari "dhif" (ضعف), yang berarti sesuatu yang serupa atau berlipat, sehingga sesuatu yang awalnya satu menjadi dua, dan "dhi'fain" adalah bentuk ganda yang menunjukkan bahwa jika sesuatu berjumlah dua, maka menjadi empat.
Praktik semacam ini merupakan kebiasaan yang terjadi di masyarakat Jahiliah. Jika seseorang tidak mampu membayar utangnya, mereka diberi kesempatan untuk menunda pembayaran. Namun, sebagai imbalannya, jumlah utang yang harus dibayarkan akan menjadi berlipat ganda.
Meskipun kata "adh'afan mudha'afah" digunakan, hal ini bukan berarti penambahan hanya dilarang jika berlipat ganda. Larangan riba tetap berlaku meskipun penambahannya sedikit. Istilah ini hanya menggambarkan situasi yang terjadi saat itu. Pada akhirnya, aturan dalam transaksi utang piutang adalah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 279:
فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ
Artinya; "Bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."
Tak kalah penting, meskipun mungkin ada anggapan bahwa menghentikan praktik riba dapat menyebabkan kerugian, anggapan tersebut keliru. Menghindari riba justru akan menciptakan hubungan yang harmonis antar anggota masyarakat, mendorong kerjasama, dan saling menolong. Pada akhirnya, hal ini akan mengantarkan masyarakat kepada kebahagiaan yang lebih besar (hlm. 217).
Terkait sababun Nuzul, ayat 130 ini, menurut Quraish Shihab, dengan mengutip Al-Qaffal, ketika kaum musyrikin, musuh-musuh Islam, membiayai peperangan mereka, termasuk dalam Perang Uhud, sebagian besar harta yang mereka gunakan berasal dari riba. Mereka mengandalkan bunga yang diambil dari pinjaman, mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tidak adil untuk menghancurkan kaum muslimin.
Dalam suasana perang dan tekanan yang begitu besar, mungkin terbersit dalam hati sebagian kaum muslimin: bagaimana jika mereka juga mengumpulkan dana dengan cara yang sama, melalui riba, untuk mendanai perlawanan mereka? Seolah ada godaan untuk menggunakan jalan pintas yang pernah ditempuh oleh musuh.
Namun, di saat itulah Allah menurunkan ayat surat Ali Imran ayat 130, mengingatkan umat Islam untuk tidak tergelincir dalam perangkap yang sama. Ayat tersebut hadir sebagai peringatan, agar kaum muslimin tidak mengikuti jejak langkah kaum musyrikin dalam menggunakan riba untuk kepentingan apa pun, termasuk dalam peperangan. (hlm. 231)
Tafsir al- Wajiz
Sementara itu, Imam Al-Wahidi dalam Tafsir Al-Wajiz (Beirut: Darul Qalam, 1415:231) menerangkan ayat ini berupa peringatan kepada umat Islam tentang praktik riba, yakni mengambil keuntungan yang tidak adil dari transaksi pinjaman dengan menaikkan jumlah utang ketika pembayaran ditunda.
Dalam tafsir Al-Wajiz dikatakan bahwa riba dalam konteks ini adalah kebiasaan menambah jumlah harta atau bunga yang harus dibayar oleh peminjam setiap kali terjadi penundaan pembayaran. Setiap kali tenggat waktu pembayaran diperpanjang, jumlah pinjaman juga meningkat, memperberat beban peminjam.
Dalam sejarah Arab pra-Islam, praktik riba bagian dari sistem ekonomi masyarakat saat itu. Orang-orang yang membutuhkan dana akan meminjam dari pemberi pinjaman, namun jika mereka gagal melunasi utang pada waktu yang ditentukan, jumlah utang akan ditingkatkan sebagai kompensasi atas perpanjangan waktu.
Praktik ini menjadi beban berat bagi masyarakat yang membutuhkan, karena mereka tidak hanya membayar pokok utang, tetapi juga bunga yang terus bertambah. Praktik ini dianggap menindas dan tidak adil, terutama bagi mereka yang kurang mampu.
Allah kemudian melarang dengan tegas praktik tersebut melalui ayat ini, karena riba tidak hanya membawa kerusakan ekonomi tetapi juga moral. Riba mendorong ketidakadilan, memperkaya segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang lain, terutama yang berada dalam kesulitan ekonomi.
Selain itu, riba menimbulkan ketidakstabilan sosial karena menumpuk kekayaan pada segelintir orang dan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.
Lebih jauh lagi, kata Al-Wahidi, ayat diakhiri larangan dengan janji tentang keberuntungan dan kebahagiaan di akhirat: "Agar kalian beruntung." Keberuntungan ini bukan hanya berupa kebahagiaan di dunia tetapi juga kehidupan kekal di surga. Menjauhi riba termasuk jalan untuk mencapai kebahagiaan abadi tersebut.
{يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا} الآية هو أنَّهم كانوا يزيدون على المال ويؤخِّرون الأجل كلَّما أُخرِّ أجلٌ إلى غيره زِيد في المال زيادةٌ {لعلكم تفلحون} لكي تسعدوا وتبقوا في الجنة
Artinya; 'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba," (ayat ini) menjelaskan bahwa mereka biasa menambah jumlah harta dan menunda waktu pembayaran setiap kali waktu pembayaran diundur, jumlah harta yang dipinjam ditambah dengan tambahan (riba). "Agar kalian beruntung" maksudnya adalah agar kalian bahagia dan tetap berada di surga,'. (hlm. 231).
Tafsir At-Thabari
Dalam Tafsir At-Thabari, Imam Abu Ja'far menjelaskan ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah. Mereka diingatkan untuk tidak memakan riba setelah masuk Islam, terutama setelah Allah memberikan petunjuk kepada mereka. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat masa Jahiliyah,--riba sering dimakan secara berlipat ganda.
Imam Thabari menjelaskan bahwa ayat ini mengingatkan umat Islam untuk menjauhi praktik riba yang pernah mereka lakukan sebelum menerima hidayah dari Allah. Ketika mereka masih berada dalam masa Jahiliyah, riba dianggap wajar dan dilakukan dengan cara berlipat ganda.
Namun, setelah menerima Islam, perbuatan tersebut harus ditinggalkan, dan umat diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah agar mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat.
Simak penjelasan Imam Thabari berikut;
القول في تأويل قوله: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠) } قال أبو جعفر: يعني بذلك جل ثناؤه: يا أيها الذين آمنوا بالله ورسوله، لا تأكلوا الربا في إسلامكم بعد إذ هداكم له، كما كنتم تأكلونه في جاهليتكم
Artinya; Firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung" (QS. Ali Imran: 130). Abu Ja'far berkata: Yang dimaksud dengan ayat ini adalah: Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian memakan riba setelah kalian memeluk Islam, setelah Allah memberi kalian petunjuk kepadanya, sebagaimana kalian dulu memakannya di masa jahiliyah. Keterangan ini sebagaimana dikutip dari Tafsir Thabari Jilid VII (Mekkah: Darul Tarbiyah wa Turats, hlm. 204).
Dengan demikian, ayat 130 ini, menjelaskan bahwa prinsip dasar Islam sangat peduli terhadap keadilan sosial. Riba, dalam segala bentuknya, sering kali menyebabkan ketimpangan ekonomi dan sosial yang merusak tatanan masyarakat.
Sejatinya, riba cenderung memperkaya segelintir orang yang sudah kaya dan menambah beban bagi mereka yang miskin atau membutuhkan. Lewat pelarangan riba, Islam mendorong terciptanya sistem ekonomi yang berlandaskan pada kerja sama, tolong-menolong, dan keadilan. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Keislaman, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua